Sejarah Advokat di Indonesia
Pada Masa Pra Kemerdekaan
Profesi advokat sesungguhnya
sarat dengan idealisme. Sejak profesi ini dikenal secara universal sekitar 2000
tahun lalu, ia sudah dijuluki sebagai “officium nobile” artinya profesi
yang mulia dan terhormat. Profesi advokat itu mulia, karena ia mengabdikan
dirinya kepada kepentingan masyarakat dan bukan kepada dirinya sendiri, serta
ia berkewajiban untuk turut menegakkan hak-hak asasi manusia.
Namun, seringkali dalam
kenyataan, orang-orang yang menggeluti profesi advokat tidak dapat menjunjung
tinggi idealisme dari profesi itu sendiri. Hal itu bisa karena faktor diluar
dirinya yang begitu kuat, tetapi terkadang juga karena kurangnya penghayatan
advokat yang bersangkutan terhadap esensi profesinya.
Sejarah keadvokatan di
Indonesia tumbuh dan berkembang tidak sebagaimana yang terjadi di Eropa.
Sebagaimana di tanah jajahan lainnya, keadvokatan Indonesia memperoleh bentuk
pada masa kolonial Belanda. Maka konsekuensi logis apabila model advokat
Indonesia dengan sendirinya adalah seperti advokat Belanda.
Besarnya pengaruh kolonial
terhadap perkembangan profesi advokat terkait erat dengan perbedaan tradisi hukum
anglo-saxon (common law) dan tradisi hukum eropa kontinental (civil
law). Misalnya bagi Inggris dan Amerika dengan tradisi hukum common
law memandang besarnya jumlah advokat di tanah jajahan sebagai suatu
kebaikan, sedangkan bagi Perancis, Belanda, dan Belgia yang bertradisi hukum
Eropa Kontinental (civil law) justru sebaliknya, (Daniel S. Lev, 1990).
Di Hindia Belanda
(Indonesia) sampai pertengahan tahun 1920-an, semua advokat dan notaris adalah
orang Belanda. Hal ini pula yang mempengaruhi mengapa perkembangan advokat
pasca kemerdekaan Indonesia masih berjalan lambat. Mengenai hal ini, Daniel S.
Lev berpendapat bahwa besar kecilnya jumlah advokat pribumi tergantung kepada
kombinasi ideologi pemerintahan dan kebijaksanaan ekonomi kolonialnya, (Daniel
S. Lev, 1990).
Pada saat Belanda merampas
daerah pedalaman Jawa yang disusul pecahnya perang Napoleon, Belanda mendirikan
pemerintahan tidak langsung di Indonesia dengan memanfaatkan persekutuan dengan
elite priyayi Jawa. Persekutuan ini meletakkan kaum elit Jawa seolah-olah masih
tetap berkuasa, sedangkan Belanda dapat mengeksploitasi kekayaan ini seperti
perkebunan hingga seperempat abad kesembilan belas.
Namun terjadi perubahan
pada pertengahan abad kesembilan belas, Belanda mengubah kebijaksaan
kolonialnya dengan lebih legalitas. Dimulai pada akhir tahun 1840-an, beberapa
kitab undang-undang baru diundangkan, organisasi dan kebijaksanaan kehakiman
dikembangkan dan dibenahi, serta pemerintahan dirasionalisasi dengan hukum dan
peraturan yang cocok. Dengan demikianrechtsstaat diperkenalkan di
tanah jajahan, meskipun hanya berorientasi pada kepentingan kolonial, (Daniel
S. Lev, 1990).
Pada permulaan abad
keduapuluh pemerintah kolonial menganut kebijaksanaan etis, yang bertujuan
menciptakan kesejahteraan dan kemajuan sosial golongan pribumi. Kebijakan ini
gagal karena pemerintah kolonial lebih mendorong terciptanya ketertiban
daripada membangun kepercayaan kemampuan sendiri bagi golongan pribumi.
Sistem peradilan Hindia
Belanda terbagi dalam empat jenis peradilan yang berlainan. Pertama,
pengadilan pemerintah untuk orang Eropa meliputi pengadilan tingkat pertama residentiegerechtyang
menjadi wewenang residen Belanda; pengadilan banding raad van justitie di
ibukota dan pengadilan tertinggi, hoogerechtshof. Kedua, pengadilan
pemerintah untuk orang bukan berupa, pengadilan agama Islam, dan pengadilan
adat.
Pengadilan pemerintah bagi
orang Indonesia juga memiliki tiga tingkatan yakni districtsgerecht,
regentschapsgerecht, dan landraad. Landraad inilah
yang menjadi cikal bakal pengadilan negeri Indonesia. Pada tahun 1938, putusan landraad dapat
dibanding pada raad van justitie Sebagian besar hakim landraad adalah
orang Belanda, namun sejak 1920-an dan 1930-an beberapa orang ahli hukum
Indonesia berpendidikan hukum diangkat sebagai hakim. Pengadilan Indonesia
menggunakan KUH Pidana dengan hukum acara yang dikenal HerzieneInlandse
Reglement (HIR), (Daniel S. Lev, 1990).
Pemerintah kolonial tidak
mendorong orang-orang Indonesia untuk bekerja sebagai advokat. Pada 1909
pemerintah kolonial mendirikan Rechtsschool di Batavia dan
membuka kesempatan pendidikan hukum bagi orang pribumi hingga tahun 1922, namun
kesempatan hanya dimanfaatkan kaum priyayi. Pada tahun 1928, Rechtsschool meluluskan
hampir 150 orang rechtskundigen(sarjana hukum). Namun mereka ini
hanya menjadi panitera, jaksa dan hakim tidak sebagai notaris dan
advokat.
Hingga pada tahun 1940
terdapat hampir tiga ratus orang Indonesia asli menjadi ahli hukum sampai pada
pendudukan Jepang. Para advokat Indonesia angkatan pertama menetap di Belanda
sebagai advokat. Diantara empat puluh orang Indonesia yang meraih gelar sarjana
hukum di Leiden, tidak kurang dari enam belas orang menjadi advokat sepulang ke
Indonesia.[1]
Salah seorang tokoh yang
mendorong perkembangan advokat Indonesia adalah Mr. Besar Martokusumo. Pada
saat itu tidak satupun kantor advokat yang besar kecuali kantor Mr. Besar di
Tegal dan Semarang, dan kantor advokat Mr. Iskak di Batavia. Bagi
advokat Indonesia asli memulai praktik adalah langkah yang sulit. Hal ini
terjadi karena advokat Belanda mengganggap mereka sebagai ancaman dalam
persaingan.
Perkembangan sistem hukum
pemerintahan kolonial telah memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan
advokat pribumi pada masa itu. Seiring dengan itu semangat nasionalisme para
advokat Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan menjadikan para advokat
Indonesia terlibat aktif pada berbagai organisasi pergerakan.
Dapat dikemukan berbagai
pengaturan profesi advokat pada masa pra kemerdekaan tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Staatblad Tahun 1847 Nomor 23 dan Staatblad Tahun
1848 Nomor 57 tentang Reglement op de rechtelijk organisatie en het
beleid de justitie in Indonesie atau dikenal dengan RO, pada Pasal 185
s/d 192 mengatur tentang “advocatenen procureurs” yaitu penasehat hukum
yang bergelar sarjana hukum.
b. Staatblad Tahun 1847 Nomor 40 tentang Reglement
op de Rechtsvordering (RV), dalam peradilan khusus golongan Eropa (Raad
van Justitie) ditentukan bahwa para pihak harus diwakili oleh seorang advokat
atau procureur.
c. Penetapan Raja tanggal 4 Mei
1926 Nomor 251 jo. 486 tentang Peraturan Cara Melakukan Menjalankan Hukuman
Bersyarat, pada Bab I Bagian II Pasal 3 ayat 3 ditentukan bahwa orang yang
dihukum dan orang yang wajib memberikan bantuan hukum kepadanya sebelum
permulaan pemeriksaan.
d. Staatblad Tahun 1926 nomor 487 tentang
Pengawasan Orang yang Memberikan Bantuan Hukum, ditentukan bahwa pengawasan
terhadap orang-orang yang memberikan bantuan hukum atau orang yang dikuasakan
untuk menunjuk lembaga dan orang yang boleh diperintah memberi bantuan.
e. Staatblad Tahun 1927 Nomor 496 tentang Regeling
van de bijstaan en vertegenwoordiging van partijen in burgerlijke zaken voor de
landraden, mengatur tentang penasehat hukum yang disebut “zaakwaarnemers’
atau pada masa tersebut dikenal dengan “pokrol”.
f. Staatblad Tahun 1941 Nomor 44 tentang Herziene
Inlandsch Reglement (HIR), dalam Pasal 83 h ayat 6 ditentukan bahwa
jika seseorang dituduh bersalah melakukan sesuatu kejahatan yang dapat dihukum
dengan hukuman mati, maka magistraat hendak menanyakan kepadanya, maukah ia
dibantu di pengadilanoleh seorang penasehat hukum. Dan Pasal 254 menentukan
bahwa dalam persidangan tiap-tiap orang yang dituduh berhak dibantu oleh
pembela untuk mempertahankan dirinya.
g. Staatblad Tahun 1944 Nomor 44 tentang Het
Herziene Inlandsch Reglement atau RIB (Reglemen Indonesia yang
diperbaharui), menurut Pasal 123 dimungkinkan kepada pihak yang berperkara
untuk diwakili oleh orang lain.
Berbagai ketentuan hukum
diatas mendasari profesi advokat pada masa pra kemerdekaan, meski masih
mengutamakan advokat Belanda. Akan tetapi berbagai pengaturan itu sedikitnya
telah mendasari perkembangan advokat Indonesia pada masa selanjutnya.
Advokat Sejak Masa Kemerdekaan
Perkembangan pengaturan
profesi advokat di Indonesia dilanjutkan pada masa pendudukan Jepang.
Pemerintah kolonial Jepang tidak melakukan perubahan yang berarti mengenai
profesi ini. Hal ini terbukti pada UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Wetboek
van strafrecht voor Nederlands Indie tetapi digunakan istilah KUH
Pidana. UU ini memuat pengaturan tentang kedudukan advokat dan procureur dan
orang-orang yang memberikan bantuan hukum.
Pengaturan profesi advokat
secara sporadis tersebar dalam berbagai ketentuan perundang-undangan termasuk
didalamnya ketentuan pada masa kolonial Belanda. Bahkan pengaturan profesi
advokat sejak proklamasi 17 Agustus 1945 justru kurang mendapat perhatian. Hal
ini ditunjukkan dengan tidak ditemukannya istilah advokat atau istilah lain
yang sepadan dimasukkan dalam UUD 1945. Demikian pula pada UUD RIS 1949 yang
digantikan dengan UUDS 1950.[2]
Sehingga ironi dalam
pembangunan hukum di Indonesia, tidak mengatur secara khusus profesi advokat
sebagaimana profesi hukum lainnya, padahal profesi ini sebagai salah satu unsur
penegak hukum. Akibatnya menimbulkan berbagai keprihatinan dan kesimpangsiuran
menyangkut profesi tersebut. Seirama dengan merosotnya wibawa hukum (authority
of law) dan supremasi hukum (supremacy of law), maka profesi hukum
ini juga terbawa arus kemerosotan.
Meskipun demikian secara
implisit, terdapat beberapa ketentuan yang mengisyaratkan pengakuan terhadap
profesi ini, antara lain sebagai berikut :
a. UU Nomor 20 Tahun 1947 tentang
Peradilan Ulangan untuk Jawa dan Madura, dalam Pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa peminta
atau wakil dalam arti orang yang diberi kuasa untuk itu yaitu pembela atau
penasehat hukum.
b. UU Nomor 1 Tahun 1950 tentang
Mahkamah Agung dalam Pasal 42 memberikan istilah pemberi bantuan hukum dengan
kata PEMBELA.
c. UU Drt. Nomor 1 Tahun 1951
tentang Tindakan Sementara Penyelenggaraan Kekuasaan dan Acara Pengadilan
sipil, memuat ketentuan tentang bantuan hukum bagi tersangka atapun terdakwa.
d. UU Nomor 19 Tahun 1964 tentang
Pokok Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diganti dengan UU Nomor 14 Tahun 1970,
menyatakan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh
bantuan hukum.
e. UU Nomor 13 Tahun 1965 tentang
Mahkamah Agung, diganti dengan UU Nomor 14 Tahun 1985, pada Pasal 54 bahwa penasehat
hukum adalah mereka yang melakukan kegiatan memberikan nasehat hukum yang
berhubungan suatu proses di muka pengadilan.
f. UU Nomor 1 Tahun 1981
tentang KUHAP, dalam Pasal 54 s/d 57 dan 69 s/d 74 mengatur hak-hak tersangka
atau terdakwa untuk mendapatkan penasehat hukum dan tata cara penasehat hukum
berhubungan dengan tersangka dan terdakwa.
g. UU Nomor 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum, mengakui keberadaan penasehat hukum dalam memberi
bantuan hukum kepada tersangka atau terdakwa.
h. Surat Edaran dan Surat Keputusan
Bersama Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman, dan sebagainya.
Bahkan sebenarnya Pasal 38
UU Nomor 14 Tahun 1970[3],
telah mengisyaratkan perlunya pengaturan profesi advokat dalam UU tersendiri.
Namun hal itupun tidak menjadi perhatian pemerintah hingga akhirnya tuntutan
pengaturan tersebut semakin besar di kalangan organisasi advokat. Setelah
33tahun, barulah perjuangan itu berhasil melalui UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat.
Berbagai argumentasi yang
melatarbelakangi lambatnya respon pemerintah terhadap pengaturan profesi
advokat ini. Diantaranya terkait dengan tipe kepemimpinan pemerintahan pada
masa itu. Misalnya pemerintahan Bung Karno pada masa orde lama, pernah berkata
kepada Mr. Sartono yang menjadi pembelanya di landraad Bandung
1930, berikut petikannya :
“Mr. Sartono, aku
pujikan segala usaha-usaha kamu, para advokat selalu berpegang teguh kepada UU.
Mereka lebih kuat menganut cara menembus UU, suatu revolusi menolak UU yang
berlaku hari ini dan maju diatas basis meninggalkan UU itu. Karena sulit untuk
melancarkan suatu revolusi beserta kaum advokat dan pengacara. Adalah juga
sulit untuk membangun pertahanan suatu revolusi dengan para advokat dan
pengacara. Yang kami harapkan adalah luapan semangat peri kemanusiaan. Inilah
yang akan kukerjakan”.
Demikian pula pada
pemerintahan orde baru, campur tangan pemerintah dalam pembentukan dan
perpecahan organisasi advokat telah menyebabkan tingkah laku, praktek dan sepak
terjang pada advokat menjadi tidak terkontrol lagi oleh organisasi profesi yang
seharusnya ketat memberlakukan Kode Etik Profesi Advokat dan mengawasi praktek
profesi advokat.
Sejak lahirnya UU Advokat,
profesi advokat mendapat pengakuan sehingga setara dengan penegak hukum lainnya
dalam prakteknya. Pengaturan ini juga berimplikasi pada rekturtmen advokat
secara sistematis sehingga diharapkan para advokat nantinya dapat melaksanakan
amanat profesi ini sebagai profesi yang mulia (officium nobile).