Best Blogger Tips

Monday, 14 October 2013

“Jurnalis Asing di Papua”kawan atau musuh dalam selimut ?


Kamis, 10 Oktober 2013, salah satu hari bersejarah di tanah Papua. Gubernur Papua, Lukas Enembe, memberi pernyataan bahwa jurnalis asing diberi izin untuk masuk Papua. Memang sebelumnya tidak mudah bagi  para jurnalis asing untuk masuk ke Papua. Hal ini dikarenakan perizinan yang sulit, setelah mendapat izin pun belum tentu dapat meliput dengan bebas karena selalu diawasi oleh Pemerintah Indonesia. Ada beberapa hal yang patut diwaspadai pemerintah Indonesia ketika memberi izin para jurnalis asing masuk untuk meliput berita di Papua. Salah satunya adalah perihal pelanggaran HAM di Papua yang senantiasa mendapat perhatian dari dunia Internasional. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hingga saat ini masih saja terjadi pelanggaran HAM di bumi Papua. Hal ini tidak lepas dari adanya konflik separatisme berkepanjangan di Papua itu sendiri. Ketika dunia Internasional diberikan kebebasan untuk melihat langsung bagaimana masalah-masalah tersebut, kemungkinan besar Indonesia akan mendapat kecaman keras dari dunia Internasional dan intervensi Asing akan semakin dalam konflik ini. Hal ini tentu akan menguntungkan OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang akan mendapat dukungan penuh oleh dunia Internasional. Kita semua tahu, Papua dengan sumber daya alamnya yang melimpah adalah incaran utama negara-negara barat, tak terkecuali tetangga kita Australia. Negara-negara asing akan memberikan bantuan kepada kelompok separatis dengan harapan kelak akan mendapat imbalan berupa alam Papua. Seperti yang terjadi dasawarsa ini, bila ditelaah lebih dalam darimanakah orang-orang OPM memperoleh senjata ? adakah aliran dana asing yang mengalir untuk mereka ?
Menurut saya pribadi mulai saat ini konflik di Papua ini harus dikelola sehalus mungkin oleh Pemerintah Indonesia. Jalur politik dan diplomasi adalah jalan terbaik dalam penyelesaian konflik. Memang akhir-akhir ini sering terjadi penembakan misterius terhadap prajurit-prajurit TNI yang sedang bertugas disana, tetapi ini bukan alasan bagi TNI untuk membalas menembaki warganya sendiri. TNI tidak boleh terprovokasi oleh tindakan-tindakan yang dilancarkan oleh OPM. Karena menurut saya tindakan yang dilakukan oleh OPM ini hanyalah pancingan untuk menciptakan kondisi yang chaos dan polarisasi antara TNI dengan OPM, yang dicap sebagai organisasi kemerdekaan bagi rakyat Papua.  Konflik ini semakin meruncing, dan dunia Internasional mulai dekat. Yang sering menjadi pertanyaan saya adalah selama ini yang sering disorot oleh dunia Internasional ialah serangan balasan dari TNI ke OPM dan dikecam habis-habisan sebagai tindakan melanggar HAM. Jangan sampai dengan adanya kemudahan bagi jurnalis asing di Papua akan masuk Intervensi Asing yang memiliki maksud tertentu.
Kebijakan ini apabila dikelola dengan baik sebenarnya juga membawa dampak positif bagi bangsa ini.  Beberapa hal positif yang bisa saya lihat adalah perekonomian rakyat Papua akan membaik karena sektor pariwisatanya semakin terekspose oleh dunia Internasional, pemerintah akan terdesak untuk mempercepat pembangunan di Papua, serta pengentasan kemiskinan dan kebodohan disana. Sekarang kendali ada di tangan pemimpin kita, bagaimana pemerintah melakukan manajemen terhadap kebijakan yang telah diambil ini. Pebri
Read More..
Bagikan Artikel Ini :

Wednesday, 9 October 2013

ASA INTERNASIONALISASI BAHASA INDONESIA


Bukan hal yang mustahil menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional, dimana berdasarkan data, penutur Bahasa Indonesia berjumlah lebih dari 220 juta orang, atau bisa disebut sebagai yang terbesar di Asia tenggara. Hal ini tentu akan mempermudah Bahasa Indonesia untuk lebih berkembang dan menjadi bahasa internasional.
Akhir tahun 2010, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia secara terbuka mengusulkan agar Bahasa Indonesia menjadi salah satu bahasa resmi ASEAN. Setahun sebelumnya, delegasi DPR RI juga telah mengutarakan usul serupa. Indonesia pun secara resmi telah mengusulkan amandemen statuta ASEAN Inter Parliamentary Assembly (AIPA) agar Bahasa Indonesia masuk dalam bahasa kerja AIPA, tentu saja selain Bahasa Inggris. Namun, sebelum mengambil kesimpulan ada baiknya kita bahas hal ini lebih lanjut dari berbagai sisi.
KEKUATAN
1.    Jumlah penutur  yang banyak (dalam hal ini penduduk Indonesia) yang berjumlah lebih dari 220 juta orang, yang telah tersebar ke berbagai penjuru dunia, baik sebagai TKI, pengusaha, pelajar, atau dari banyaknya penduduk Indonesia yang menikah dengan orang asing, serta mulai maraknya orang asing yang belajar bahasa dan budaya Indonesia dapat menjadi faktor pendukung Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional.
2.    Budaya serta destinasi wisata yang beragam di Indonesia. Indonesia adalah surganya wisata bahari, tidak bisa dipungkiri Indonesia memiliki lautan yang sangat luas, yang di kelilingi oleh dua samudra yaitu Pasifik dan Hindia sehingga tidak heran memiliki jutaan spesies ikan yang tidak dimiliki negara lain. Kebudayaan Indonesia juga tidak dapat disepelekan begitu saja, karena delapan dari ratusan budaya Indonesia sudah diakui sebagai warisan dunia termasuk diantaranya Candi Borobudur, Candi Prambanan, angklung, batik, wayang, museum purbakala sangiran, keris, dan tari saman.
3.    Faktor kemudahan dalam mempelajari Bahasa Indonesia juga menjadi kekuatan tersendiri, karena kalau dibandingkan dengan bahasa lain seperti bahasa Jerman, Inggris atau bahasa Latin yang punya banyak aturan di soal Grammar memang bahasa Indonesia bisa dianggap lebih mudah.
KELEMAHAN
1.    Penggunaan Bahasa Indonesia yang belum menyeluruh
Hal ini dilihat dari berbagai daerah di Indonesia, khususnya di daerah pedalaman seperti pada daerah timur Indonesia, masih banyak penduduk yang tidak lancar atau malah tidak dapat berbahasa Indonesia.
2.    Kurangnya kecintaan terhadap Bahasa Indonesia
Di kandang sendiri, bahasa Indonesia masih kalah menarik dibandingkan dengan bahasa Inggris, bahkan bahasa Arab. Mahir berbahasa Inggris atau berbahasa Arab bagi orang Indonesia lebih mendatangkan kebanggaan daripada mahir berbahasa Indonesia. Kemahiran berbahasa Indonesia dianggap sesuatu yang lumrah, dan umum. Bahkan pada beberapa daerah di Indonesia bahasa daerah lebih dihargai dan dicintai dalam kehidupan sehari-hari. Inilah problem penghargaan kita terhadap Bahasa Indonesia.
3.    Kurangnya faktor sejarah pendukung
Dibanding dengan negara lain, seperti Belanda, Inggris, Jepang, dan negara lainnya, Indonesia masih kalah dalam hal sejarah, terutama dalam hal kependudukan. Kita tidak dapat memungkiri adanya pengaruh kependudukan suatu negara terhadap negara lainnya berpengaruh pada perkembangan, dan penggunaan bahasa pada negara tersebut.
4.    Sedikitnya tokoh Indonesia yang mendunia
Minimnyaa tokoh Indonesia yang dijadikan rujukan suatu referensi atau teori. Seringkali, buku referensi suatu teori memakai bahasa “si empunya” teori. Seperti Rudolf Kranenburg dengan bahasa Belandanya, hal ini dapat juga dilihat dari tokoh-tokoh lainnya. Tokoh Indonesia yang mendunia juga terbilang sedikit, sebut saja Soekarno dan Habibie, itupun tidak berpengaruh banyak terhadap perkembangan Bahasa Indonesia. Kurangnya ikon berbau Indonesia yang mendunia di dunia remaja juga memberi efek negatif, seperti  saat ini korea dikenal dengan k-pop, dan jepang dengan manga-nya, yang membuat penduduk dari berbagai penjuru dunia mempelajari budaya negara tersebut termasuk bahasanya.


5.    Perbandingan peminat Bahasa Indonesia lebih kecil, apabila dibandingkan dengan bahasa asing lainnya.
Meski penutur Bahasa Indonesia terbilang besar, hal itu dipengaruhi oleh jumlah penduduk Indonesia yang besar pula. Dengan kata lain, peminat Bahasa Indonesia dari negara lain tidak terlalu besar.
PELUANG
Berdasarkan kekuatan dan kelemahan yang telah dijabarkan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa  peluang Bahasa Indonesia menjadi bahasa Internasional  memang terbuka, tetapi untuk saat ini atau dalam waktu dekat peluang tersebut sangat tipis, apalagi bila berkaca pada faktor kelemahan yang dimiliki Bahasa Indonesia cenderung lebih besar pengaruhnya dibanding faktor penguatnya. Kita masih harus lebih menggalakkan lagi penggunaan bahasa indonesia bagi masyarakat Indonesia, serta pemerintah juga harus memberi perhatian yang serius untuk memperkenalkan Bahasa Indonesia di kancah internasional.
ANCAMAN
Salah satu ancaman terbesar di era modern ini adalah globalisasi, serta kita rakyat Indonesia sendiri. Dimana budaya asing lebih cepat dikenal dan menanamkan pengaruhnya, termasuk diantaranya bahasa. Hal ini bukan hanya menghambat proses Internasionalisasi Bahasa Indonesia tetapi juga dapat memudarkan semangat nasionalisme dalam diri generasi muda. Contoh yang paling terlihat adalah antusiasme yang tinggi dari para geneasi muda bangsa untuk untuk belajar budaya dan bahasa asing, sebut saja Korea, Jepang, Mandarin, Amerika, dan Inggris yang sedang menjadi tren saat ini. Citra atau image  Indonesia akhir-akhir ini juga tergambar sebagai negara atau wilayah yang tidak aman, fluktuasi politik yang tidak pasti, serta citra kisruh sosial yang berujung pada anarkisme seperti pada demonstrasi untuk pengecaman film “The Innocent of Moeslims”.


KESIMPULAN
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya Bahasa Indonesia memang memiliki peluang untuk menjadi bahasa internasional meskipun itu sangat tipis. Sehingga dalam waktu dekat ini bahasa indonesia tidak dapat menjadi bahasa internasional. Masih banyak hal yang harus dibenahi agar bahasa Indonesia dapat berkembang menjadi bahasa Internasional. , dan kita sebagai rakyat Indonesia sudah seharusnya mendukung program internasionalisasi Bahasa Indonesia.

Read More..
Bagikan Artikel Ini :

Hukum dalam Kemanusiaan yang Adil dan Beradab


Malam ini angin semilir menelisik diantara daun-daun telinga, kurasakan heningnya malam sendiri diatas motor warisan keluargaku “honda gl650”. Kupacu motorku pelan dalam gerimis, seraya masih kurasakan sakit hati luar biasa yang kurasakan. Kulihat satu dua motor muda-mudi menyalip dengan berboncengan erat dalam heningnya malam ini, makin menjatuhkanku dalam jurangnya rasa sakit ini. Teringat saat pertama kali bertemu hingga harus terpisah dengan begitu menyakitkan. Masih terngiang dengan jelas janji yang kau utarakan saat itu, namun apalah artinya bila engkau akan menikah dengan orang lain. Harusnya, 2 minggu lagi prosesi lamaran kita, tapi mengapa orangtuamu lebih memilih duda tua itu ?? kenapa ???
70 km/jam, motorku berpacu menyusuri jalan arteri yang mulai renggang. Apalah arti 5 tahun kita bersama, bila kita hanya menikah pada jejaring sosial facebook saja. Ditemani rintik hujan, masih kulihat bayangan saat kau peluk aku untuk meyakinkanku untuk segera melamarmu. Sekarang bagaimana aku ngomong sama bapak-ibuku tolol !!!
110 km/jam, kupacu motorku lebih kencang sebagai pelampiasan , meski terasa berat dan goyang.Kulihat keramaian anak muda dengan motor besar yang berkumpul dalam keramaian, satu dua membawa botol minuman entah apalah itu namanya. Kukurangi kecepatan  laju motorku, seorang perempuan menatapku dari sisi kiri motorku, kubalas tatapannya, kami saling tatap untuk beberapa saat, dan . . . . . . JEDUAAARRR!!!! stang motorku oleng disenggol motor lain dari belakang, aku tak bisa mengendalikannya, kucoba menjaga keseimbangan motorku sambil mengerem  sekuat mungkin, kulihat depan ada sebuah lapak kecil, motorku masih tak bisa dikendalikan, remnya blong, batinku. “GUBRAK!!!!” aku menabrak sebuah bangku persegi panjang didepan lapak itu, spontan membuat beberapa orang terkaget, dan kulihat beberapa wanita menjerit histeris ketakutan karena kepalaku berdarah-darah. Beberapa saat kemudian kudengar sirine ambulance kencang, aku ada didalamnya.
Pagi itu beberapa polisi mengintrogasiku,dalam keadaan masih shock dan bingung, polisi-polisi itu menanyakanku tentang balapan liar, minuman keras, narkoba, dan lelaki yang menyenggol motorku sudah dinyatakan meninggal karena terjadi beturan keras dengan kepalanya. Parahnya lelaki yang bersenggolan motor denganku adalah anak semata wayang pak kapolsek. Kudengar samar seorang polisi berbisik dengan temannya kalau hukuman buatku pasti akan berat.
Seminggu setelah dirawat di rumah sakit, aku harus memenuhi panggilan di kantor polisi untuk kembali dimintai keterangan bermacam-macam. Beberapa polisi terlihat ragu dengan jawabanku, lalu kuceritakan mulai dari saat aku berkenalan dengan mantanku, berpacaran lalu putus karena orang tuanya teah menjodohkannya, kulirik seorang polisi mengusap air matanya.
Diruang tunggu kepolisian, kulihat wanita yang kemarin sempat bertatapan muka denganku masuk ke ruang introgasi, nampak jelas matanya sembab. Kulihat lambang garuda panasila di ruang ini, sembari berdoa dan percaya bahwa kepolisian berasaskan kemanusiaan yang adil dan beradab, serta menjunjung tinggi prinsip “Equality before The Law”.
Selang beberapa jam setelah wanita itu diintrogasi, seorang polisi berkumis tebal mendekatiku, dan menyampaikan pesan bahwa berdasarkan keterangan saksi, dan bukti yang diperoleh semua mengindikasikan kalau aku tidak bersalah, polisi itu mendoakanku semoga cepat mendapat jodoh, aku pun memeluknya erat-erat tak peduli diruang itu ada banyak orang, disertai dengan air mata yang entah karena sedih atau bahagia, semua bercampur seraya aku mengucap syukur Alhamdulillah.
-The End-
Read More..
Bagikan Artikel Ini :

Prestasi dalam Perspektif Pemburu Beasiswa

Tolok Ukur Prestasi


Sudah menjadi desakan universal bagi setiap negara untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas sebagai pijakan dalam pembangunan. Tak terkecuali di Indonesia, beragam hal diupayakan setiap elemen bangsa untuk mewujudkan hal tersebut.  Beasiswa adalah satu dari sekian upaya dalam mendorong keberlangsungan pendidikan yang tengah ditempuh.
Namun kini, yang senantiasa menimbulkan polemik di masyarakat adalah sudah tepat sasarankah beasiswa tersebut. Derap langkah pemberian beasiswa yang diharapkan mampu menjangkau golongan masyarakat yang benar-benar membutuhkan, seringkali berbelok arah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak sedikit penerima beasiswa dari golongan finansial menengah keatas.
Apabila kita coba tarik sedikit kebelakang, perihal kriteria penerima beasiswa. Apabila memang beasiswa tersebut diperuntukan untuk mahasiswa dengan nilai akademik tinggi, maka sah-sah saja mereka yang notabene berasal dari golongan mampu untuk mendapatkannya.
Beasiswa bisa dijadikan sebagai motivasi dan tolok ukur dalam berprestasi. Melalui beasiswa ini, akan mendorong para mahasiswa dari bergbagai golongan untuk bersaing secara sportif, serta mempertahankan semangat belajarnya sehingga mampu tetap berprestasi dan bergairah dalam menyelesaikan pendidikan.
Read More..
Bagikan Artikel Ini :

Paradoks UKT

Pradoks UKT



Sudah menjadi desakan universal bagi setiap negara untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas sebagai pijakan dalam pembangunan. Tak terkecuali di Indonesia, beragam hal diupayakan setiap elemen bangsa untuk mewujudkan hal tersebut. Kali ini pemerintah melalui Kemendikbud megeluarkan sebuah kebijakan yang terkesan abnormal. Apa yang dilakukan kemendikbud ini adalah blunder bagi dirinya sendiri. Sistem pembayaran yang sebenarnya sudah baik, teracak-acak oleh kebijakan baru yang terkesan abal-abal dan minim sosialisasi.
Uang Kuliah Tunggal (UKT) adalah Sistem pembayaran kuliah dengan penghapusan uang pangkal bagi mahasiswa angkatan 2013/2014, tetapi mahasiswa diharuskan membayar sejumlah uang yang besarnya sama tiap semesternya hingga mereka lulus. Apabila ada PTN yang mengindahkan kebijakan ini, maka pemerintah tidak akan segan-segan untuk memberikan sanksi.
Dalam UKT ini besarnya biaya per-semester bergantung dari besar kecilnya pendapatan orangtua mahasiswa, untuk selanjutnya dikelompokan dalam golongan tertentu. Pengelompokan ini ditujukan untuk pemberian subsidi silang antara mahasiswa dari golongan tinggi ke rendah. Yang senantiasa menimbulkan polemik di masyarakat adalah perumusan parameter untuk mengklasifikasikan kemampuan orangtua dalam membayar  UKT. Mampukah merepresentasikan sebuah keadilan? karena mekanisme penggolongannya yang acap kali menuai kontroversi.
Kebijakan ini juga sangat bergantung kepada BOPTN. Dengan diberlakukannya UKT, dana pemasukan universitas dari masyarakat akan berkurang drastis, sehingga universitas akan bergantung pada BOPTN, meskipun itu tidak menutupi seluruh kekurangan. Padahal BOPTN sendiri senantiasa terjebak dalam prosedural administratif yang birokratis dipemerintah pusat. Faktanya, banyak BOPTN di PTN yang tidak cair tepat waktu. Hal ini bukan hanya berdampak pada mahasiswa baru, tetapi juga berdampak pada pelayanan-pelayanan akademik, kegiatan penelitian serta pengabdian yang dilakukan universitas.
Paradoks.UKT yang diharapkan mampu meringankan beban mahasiswa yang kurang mampu, justru kini lebih memberatkan mahasiswa. Minimnya persiapan serta kurangnya sosialisasi yang intens akan kebijakan ini menjadi bumerang bagi pemerintah. Kita sebagai masyarakat tentu berharap semoga tujuan utama UKT benar-benar terealisasi sebagaimana mestinya.
Read More..
Bagikan Artikel Ini :

Antiklimaks Vonis Sang Jendral

Antiklimaks Vonis Sang Jendral


Good governance atau pemerintahan yang bersih, penegakan hukum, khususnya dibidang korupsi, adalah agenda demokratisasi yang dasar untuk mencegah terjadinya triple crisis of governance (diamond, 2005)
Triple crisis of governance adalah kemandekan penegakan hukum, ketidakmampuan pemerintah menjaga perdamaian rakyat atau daerah, serta pertumbuhan ekonomi yang stagnan atau krisis, sebagai akibat dari kegagalan kebijakan perekonomian dan rendahnya kapasitas birokrasi pemerintahan.
Sumber dari tiga krisis pemerintahan tidak lain adalah korupsi, the root of all evils. Tertangkapnya mantan Gubernur Akademi Kepolisian, Djoko Susilo, oleh KPK semakin memperkokoh stigma yang terbentuk oleh publik bahwasanya tidak ada lembaga di negri ini yang tidak terlibat korupsi. Adagium “Power tends to be corrupt, and absolut power corrupts absolutely” dari Lord Action benar-benar menggambarkan betapa bobroknya moral pemegang kekuasaan bangsa saat ini.
Rasa keadilan rakyat pun kembali terkoyak. Proses hukum yang panjang tidak menghasilkan vonis yang setimpal bagi para pencuri uang rakyat. Apabila kita tarik kembali kebelakang selama proses penyelidikan hingga persidangan ada beberapa hal yang mebuat geram masyarakat. Pertama, DS sempat menolak beberapa kali panggilan dari KPK, hingga menyebabkan konflik antara KPK dan POLRI. Kedua, upaya kriminalisasi yang dilakukan POLRI terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan. Ketiga, penasihat hukum DS sempat berupaya merontokkan kewenangan penyitaan sekaligus penuntutan TPPU yang dilakukan KPK terhadap aset-aset sang jenderal, karena beranggapan KPK tidak berhak menggunakan UU TPPU sebelum 2010. Jika upaya ini berhasil, dapat dipastikan aset-aset DS akan kembali ke genggamannya, meskipun nantinya ia divonis bersalah dalam kasus tersebut. Keempat, Pengacara DS diduga sempat mengintervensi saksi setelah penyidik KPK kantongi bukti pertemuan antara keduanya. Kelima, ditemukannya selipan uang 100 USD  oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK di buku pledoi DS. Insiden ini tentu benar-benar mencoreng citra lembaga peradilan khusunya kejaksaan dan menyakiti hati para pencari keadilan.
Vonis 10 tahun penjara dan denda 500 juta subsider 6 bulan kurungan tentu menimbulkan ketidakpuasan dan mencederai rasa keadilan bagi masyarakat. Vonis ini jauh lebih ringan dibanding tututan jaksa yang menuntut 18 tahun penjara dan denda 1 miliar. Apabila kita buka lembaran lama, Jaksa Untung Tri Gunawan divonis 20 tahun penjara padahal kala itu tuntutan jaksa hanya 15 tahun. Hakim memberi vonis lebih berat dengan alasan bahwa Jaksa Untung Tri Gunawan adalah seorang penegak Hukum. Bukankah Djoko Susilo juga seorang penegak hukum ?
Peniadaan uang pengganti sebesar 32 miliar juga patut dipertanyakan. Anggota Majelis Hakim Anwar mengatakan tidak adil jika Djoko diharuskan tetap membayar uang pengganti sebanyak Rp32 miliar. Sebab sejumlah aset dan harta Djoko telah disita negara. Hal ini patut disayangkan karena sejatinya koruptor itu lebih takut apabila disuruh membayar uang pengganti dan dimiskinkan daripada dipenjara. Mereka sadar apabila mereka masih memliki harta, mereka masih bisa hidup bak seorang raja meski di dalam bui sekalipun. Sebaliknya jika kehilangan semua hartanya, mereka akan kehilangan semua objek dan tujuan mereka selama ini.
Mengenai pencabutan hak politik yang dibatalkan, Hakim Anwar menilai tuntutan itu terlalu berlebihan. ‘’Akibat perkara secara otomatis terdakwa akan tersaring peraturan dan persyaratan partai politik,’’ ujarnya. KPK menuntut penghapusan hak politik, didasari pengalaman bahwa ada terpidana korupsi di Papua yang dapat mengikuti pemilihan kepala daerah, dan bahkan menang.
Perbuatan Djoko Susilo ini tidak bisa lagi ditoleransi. Untuk segala sesuatu yang haram dan telah melukai hati rakyat tidak ada lagi pemakluman. Uang pajak yang sejatinya dibayarkan oleh rakyat demi terwujudnya pelayanan publik yang baik justru dimasukan ke rekening pribadi.  Terhadap para penghianat hukum dan penghianat bangsa yang demikian, hukum biasa tidaklah cukup. Harus diberikan sanksi yang luar biasa. Para penegak hukum seharusnya tidak perlu ragu-ragu lagi untuk mendobrak belantara harta kekayaan para koruptor dan memangkasnya hingga habis. Rakyat pun kini menanti akan terwujudnya rasa keadilan dari tempat berpijak yang kian hari makin rapuh. Quo vadis ?
Pebri Tuwanto
Read More..
Bagikan Artikel Ini :

Tuesday, 14 May 2013

hukum dalam bayangan status sosial

Hukum dalam Bayangan Status Sosial

Sepertihalnya yang terjadi pada negara berkembang lainnya, penerapan hukum di Indonesia masih sring menyimpang dari asas Equality of Justice, terutama etika berhadapan dengan Stratifikasi Sosial. Asas Equality of Justice seperti tidak berkutik ketika dihadapkan dengan status sosial yang lebih tinggi, sehingga muncul istilah hukum berlaku bak pisau yang mengarah ke bawah. Semakin kebawah, maka pisau tersebut akan semakin tajam, yakni ketika berhadapan dengan kalangan “bottom class”, dan semakin keatas akan semakin tumpul, yakni ketika berhadapan dengan kalang “upper Class”. Fenomena ini semakin membuat hukum terasa pincang dan tidak mampu memenuhi nilai-nilai keadilan yang ada di masyarakat.
Berkaca pada kasus yang menimpa pada mbok Minah dan Susno Duadji sungguh miris melihat hukum memperlakukan keduanya. Hukum begitu sulit mengupas dan mengekseskusi seorang Susno, namun dengan mudahnya mengupas kasus yang menimpa Mbok Minah. Seringkali pemeriksaan terhadap seorang tersangka dari golongan rendah jauh dari nilai kemanusiaan. Pemeriksaan terhadap mereka dapat dilakukan kapan pun, tidak perduli saat sedang sakit atau jam istirahat sekalipun. Jangankan memperoleh penangguhan penahanan, terkadang mereka tetap ditahan walaupun masa penahanan telah berakhir. Asas Praduga tak bersalah seolah tidak mengenal mereka, karena bagi para aparat penegak hukum, mereka hanyalah masyarakat rendah dan buta hukum.
Paradoks. Hukum yang diharapkan tidak pandang bulu, justru memberi pelukan hangat bagi mereka yang memiliki status sosial yang tinggi. Mereka yang memiliki uang bisa membeli hukum. Didalanm tahanan pun mereka masih bisa menikmati fasilitas layaknya di hotel berbintang.Bahkan, ketua KPK, Abraham Samad, menuding banyak koruptor yang keluyuran ketika ditahan di lapas. Untuk mengatasi hal ini diperlukan suatu penerapan hukum yang progressif. Sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, Hukum Progressif adalah serangkaian tindakan radikal dengan mengubah sistem hukum (termasuk peraturannya bila perlu) agar hukum lebih berguna terutama dalam mengangkat harga diri serta menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Jadi tidak ada rekayasa atau keberpihakan dalam penegakan hukum, karena menurutnya hukum bertujuan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat.Ada 3 elemen hukum yang mesti diperkuat, diperbaiki, atau diubah bila perlu, yakni struktur hukum substansi hukum, dan budaya hukum. Struktur hukum hanya akan berjalan baik bila didukung oleh substansi hukum, dan keduanya hanya akan berjalan apabila diikuti oleh budaya hukum yang baik dari masyarakat. Kesimpulannya adalah diperlukan suatu gerakan yang progressif untuk mereformasi hukum dalam struktur, substansi, dan budaya hukum yang ada di masyarakat. Sehingga muncul keadilan, dan kesejahteraan bagi masyarakat tanpa memandang status sosial. (pebri)
Read More..
Bagikan Artikel Ini :

Sunday, 12 May 2013

Terlambat (bukan) budaya Indonesia

TERLAMBAT ITU KORUPSI

Bila kita memperhatikan apa yang telah menjadi kebiasaan di negri ini, datang terlambat seperti sebuah aktivitas yang telah menjadi budaya.  Aktivitas manusia tentu menuntut kita untuk melakukan suatu pemaknaan atau interpretasi terhadapnya. Terlambat bisa diinterpretasikan sebagai korupsi. Apa yang dikorupsi ? korupsi waktu, dan analoginya terlambat tentunya merugikan masyarakat dan diri sendiri.

Jika kebiasaan terlambat hanya dilakukan sekali dua kali saja tidak bisa disebut budaya. Tetapi dalam praktiknya di lapangan, terlambat seperti sudah menjadi karakter masyarakat Indonesia baik itu mahasiswa, dosen, karyawan atau PNS pun masih sering terlambat dalam menjalankan aktivitasnya. Ada banyak sebab  yang melatarbelakangi keterlambatan itu sendiri, seperti kebiasaan suka menunda, anggapan bahwa jam karet sudah biasa, penerapan sanksi yang tidak tegas, serta kebiasaan untuk memaklumi keadaan.

Mereka yang datang terlambat seperti tidak menghargai waktu dan terlalu menganggap remeh keadaan. Padahal waktu mereka yang terbuang percuma tidak akan mampu datang kembali. Budaya terlambat ini benar-benar merusak jatidiri seseorang, karena memupuk mental tidak disiplin dan tidak bertanggung jawab.

Budaya jam karet sendiri telah membawa dampak negatif  bagi bangsa Indonesia, yakni rendahnya etos kerja dan etos belajar yang dimiliki masyarakat kita, serta pandangan terhadap pribadi masyarakat Indonesia yang tidak menghargai waktu. Kasus terakhir dari budaya terlambat ini adalah bagaimana beban psikologis para pelajar ketika adanya keterlambatan pengiriman naskah soal UN 2013.

Ada beberapa solusi untuk mengatasi budaya yang telah menjalar ini. Terlambat berkaitan erat dengan disiplin. Oleh karena itu sudah sepatutnya kita mulai berbenah dengan menerapkan disiplin waktu bagi diri sendiri, orangtua mengajarkan kedisiplinan kepada anak-anaknya, dosen juga mengajarkan kedisiplinan kepada mahasiswanya. Selain itu, orangtua, dosen, pejabat harus memberikan teladan, jika ingin orang terdekatnya memiliki sikap disiplin, tentu mereka harus memiliki sikap disiplin terlebih dahulu. Penerapan kedisiplinan harus berjalan beriringan dengan ketegasan masyarakat untuk menerapkan sanksi sosial. Karena kita semua tahu sanksi sosial sendiri bersifat menjerakan, dan sangat tepat untuk diterapkan dalam mengatasi masalah jam karet ini.
Read More..
Bagikan Artikel Ini :

Alasan Beragama

Tugas mata kuliah Pancasila, FH Undip

Mengapa kita beragama ?
 
Sebelum kita melangkah lebih jauh, silahkan renungkan dahulu alasan mengapa kita berada di dunia ini, alasan mengapa manusia itu diciptakan, lalu alasan mengapa manusia kelak juga akan meninggal. Beragam bacaan filosofis akan makna kehidupan ini tentu sudah banyak beredar di toko-toko buku. Namun, ada baiknya carilah jawabanmu sendiri, jawaban yang mencerminkan pemikiraan serta berasal dari telaah logika serta pengalaman hidup sendiri. saya sendiri percaya bahwa keberadaan kita di dunia bukanlah kebetulan semata, semua sudah digariskan layaknya takdir yang tidak bisa diubah. Tengoklah sejenak ke rumah bersalin, hari demi hari di dunia selalu ada kelahiran manusia di dunia ini, lalu tengoklah ke berbagai rumah sakit, hari demi hari pula selalu ada orang meninggal. Disinilah letak garis tersebut, hari ini si A ditakdirkan untuk lahir melihat dunia untuk pertama kalinya, si B meskipun orangtuanya menikah terlebih dahulu tetapi karena garis takdir berkata lain maka dia dilahirkan setelah A. Sehingga keberadaan kita di dunia ini tidak bisa dielakkan, bukan suatu kebetulan tetapi ada garis takdir.
Lalu untuk apa kita diciptakan di dunia ini? lebih dari itu mengapa si A di lahirkan ke dunia lebih dulu dari B, dan si C meninggal saat dilahirkan? Pastinya setiap manusia dengan berbagai perangainya kelak akan memiliki peran di dunia ini. Layaknya naskah drama, hidup itu adalah permainan peran, ada yang menjadi antagonis dan protagonis. Lalu peran apa yang dimainkan oleh seorang manusia bergantung dari keputusannya. Si A yang dilahirkan lebih dulu sesuai garis takdir tadi, kelak akan mengambil keputusan peran apa yang dia ambil. Nah, momen-momen saat pengambilan keputusan tersebutlah nilai-nilai agama akan berperan. Agama dapat membimbing manusia dalam menentukan perannya dalam kehidupan ini, dari saat dilahirkan hingga meninggal.  


Apapun agama yang dianut, pengertian agama kurang lebih adalah sama, yakni petunjuk dari Tuhan kepada umat manusia untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan untuk memperoleh kebahagiaan. Apabila seseorangtidak beragama, bukan berati ia tidak dapat memiliki petunjuk untuk memperoleh kebahagiaan. (karena pada dasarnya ada banyak faktor yang mempengaruhi kebahagiaan mulai dari diri sendiri hingga lingkungan sekitar). Namun, ketika kita beragama maka kita memiliki lebih banyak petunjuk untuk membimbing hidup kita di dunia ini. Misalnya agama tentu akan membimbing umatnya agar dalam berinteraksi dengan sesama manusia perlu memperhatikan dampaknya bagi orang lain, jangan menyakiti hati sesama manusia, dan jadilah pribadi yang senantiasa tolong menolong demi memberi manfaat satu sama lain.


Dalam bahasa Arab sendiri agama berarti “Addin” yang bila diterjemahkan berarti jalan. Sehingga mengapa kita harus beragama, berarti sama dengan pertanyaan mengapa kita harus berjalan. Dalam kehidupan ini kitaharus berjalan (beragama) karena agama mengatur bagaimana cara kita berjalan di muka bumi ini, sehinga kita bisa hidup di dunia dengan baik dan benar.Agama adalah aturan hidup manusia, dan diajarkan agar manusia bisa hidup dengan harmonis di dunia dan di akhirat.

Agama memainkan peranan sosial yang kuat dalam kehidupan manusia, karena semua agama mengajarkan manusia dalam kebaikan. Dalam ajaran agama sendiri sebenarnya telah menggariskan kode etik yang wajib diikuti penganutnya. Kode etik inilah yang menjaga kehidupan umatnya agar selalu berada dalam koridor etika kebaikan. Sehingga ketika seseorang manusia tidak beragama, maka dia pun akan kesulitan mencari kode etik dalam berprilaku di masyarakat. Dia yang beragama tanpa perlu mencari-cari lagi, sudah memiliki kode etik sendiri yang bisa diilhami dan diterjemahkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Kita juga peru beragama karen aagama menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak bis adijawab oleh akal manusia sendiri. Misalnya pertanyaan kehidupan setelah mati, tujuan hidup, takdir serta nasib, dan sebagainya. Selain itu kita harus beragama agar dapat mewujudkan dunia yang harmonis, karena pada umumya agama memiliki nilai yang sama. Nilai-nilai tersebut memberi  penerangan kepada manusia agar hidup rukun sesama umat manusia, sehingga mampu menghindari peperangan, dan menciptakan dunia yang harmonis.
kesimpulan utama dari tulisan ini adalah bukan berarti semua orang yang beragama itu memiliki moral atau kehidupan yang lebih baik dari yang tidak beragama. Pada kenyataannya banyak orang yang beragama tetapi justru berbuat kekerasan, kerusakan, jahat, dan suka berbohong terhadap temannya. Berbagai manfaat dari beragama hanya bisa dipetik ketika kita sadar dan mau mengikuti titah agama tersebut, bukan memaknainya secara setengah-setengah atau hanya ikut-ikutan. (pebri)
Read More..
Bagikan Artikel Ini :

Agama Tuhan


Apa Agama Tuhan ?

Tuhan tidaklah beragama, tidak berstatus agama apapun. Bukan berarti Tuhan itu Atheis, tapi Tuhan adalah inti dari semua agama. Agama hanyalah suatu jalan, petunjuk, atau pilihan yang Tuhan kepada umat manusia sebagai khalifah di bumi. Agama diperuntukkan bagi seluruh umat manusia sebagai suatu anugrah dan nikmat dariNya, sehingga harus diresapi, dipahami, dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari agar dapat menjadi penyelamat dalam hidupnya.  Oleh karena itu, Tuhan tidaklah beragama Islam, Kristen, Khatolik, Hindu maupun Budha. Tuhan adalah Tuhan, Maha Esa dan tidak membutuhkan siapapun di dunia untuk menyuruhnya memeluk agama yang diciptakannya. Justru manusialah yang membutuhkan agama yang berasal dari Tuhan, sebagai penuntun untuk dapat merasakan Tuhan yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Besar, dan Maha Segala-galanya. Agar dapat mencapai kebahagiaan yang sesungguhnya, maka manusia dengan segala kekurangannya dan ketidakmampuannya, tidak perlu memusingkan agama yang disandangnya, karena pada intinya mereka menyembah Tuhan yang sama.


Tuhan tidak akan pernah memihak pada satu agama pun yang telah diciptakannya pada umat manusia. Tuhan juga tidak ingin menusia melakukan penghancuran dan memandang rendah agama lain yang diciptakannya, dipelihara, dan di jagaNya. Tuhan ingin agar umat manusia tidak mementingkan agama yang dianutnya, tetapi yang terpenting adalah mejalankan ajaran dan tuntunan agama yang telah dianutnya. Karena akan percuma apabila seorang manusia mengaku beragama tetapi tidak pernah mengamalkan perintah agamanya. Sehingga dapat ditarik kesimpulan, Tuhan tidak beragama, tidak berstatus agama apapun, karena Tuhan adalah inti dari semua agama. (pebri)
Read More..
Bagikan Artikel Ini :

Saturday, 27 April 2013

desa binaan


Desa Binaan/Comunity Development

(comdev)

Comunity Development atau yang biasa dikenal dengan nama Desa Binaan adalah salah satu bentuk pengabdian kepada masyarakat yang berorientasi pada penyelesaian masalah dan pemberdayaan masyarakat pada suatu daerah. Upaya pemberdayaan serta pengembangan suatu desa tidak pernah lepas dari perhatian kita semua. Secara umum desa adalah kesatuan organisasi kehidupan sosial di dalam daerah terbatas. Dimana kondisi di daerah tersebut tidak tersentuh pembangunan secara utuh, infrastruktur dasar tidak terpenuhi, aktivitas ekonomi rendah, serta sarana dan prasarana pendidikan yang terbatas. Berkaitan dengan kemiskinan, sebagian besar masyarakat miskin berada di desa, sehingga sudah seyogyanya pembangunan lebih diarahkan ke desa. Desa Binaan sendiri juga bisa dijadikan sarana untuk merubah paradigma yang ada di masyarakat bahwa pengabdian masyarakat bukan sekedar sarana untuk selalu memberi melainkan juga berusaha memberdayakan sumber daya alam dan potensi warga sehingga akan tercipta masyarakat mandiri dengan potensinya sendiri.


Berikut adalah hal-hal yang mesti dikaji dan di obeservasi sebelum menentukan desa binaan,

1.       Potensi Daerah

Potensi daerah disini meliputi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki desa setempat. Sumber daya diusahakan yang mudah tersedia, murah, serta dapat dikembangkan untuk kelak bisa berguna bagi masyarakat setempat.

2.       Permasalahan

Permasalahan yang ada dan kemungkinan terjadi dimasyarakat, seperti halnya tingkat pendidikan yang rendah, angka kawin muda yang tinggi, kesulitan pemasaran produk, dll

3.       Antusiasme Penduduk Setempat

Hal ini diperlukan selain untuk mendukung kelancaran program, juga untuk mencegah terjadinya efek domino yang biasanya terjadi seperti keengganan masyarakat setempat untuk melanjutkan program-program yang telah dikerjakan.

4.       Kearifan Lokal

Sebelum mengambil keputusan mengenai lokasi desa binaan, sudah sepatutnya untuk menggali nilai-nilai yang ada di masyarakat, hal ini perlu dilakukan karena untuk mendapatkan partisipasi dari masyarakat kita mesti mengenal kepribadian mereka. Comunity Development. Comdev boleh membawa kemajuan tetapi tidak boleh mengubah atau meninggalkan kearifan lokal yang ada.

5.       Kebutuhan Desa

Sebelum menyusun program, ada baiknya disesuaikan dengan kebutuhan desa. Desa tidak selalu membutuhkan bantuan fisik semata, tapi bantuan seperti penyuluhan-penyuluhan atau pendidikan karakter bagi remaja juga tak kalah pentingnya.

6.       Kesesuaian Program dengan Permasalahan dan Potensi Desa

Apa yang diberikan kelak, harus relevan dengan permasalahan yang ada dan kemampuan yang dimiliki. Jangan sampai menciptakan program yang kiranya tidak masuk akal, karena hal itu hanya akan membuang-buang tenaga, dan partisipasi dari masyarakat bisa saja berkurang.

7.       Motivasi

Dasar berjalannya semua program yang direncanakan adalah motivasi. Karena kelak ketika menjalankan program, akan ada banyak rintangan yang terjadi, semua itu dapat dilalui apabila anda memiliki tim yang saling mendukung dan tak kenal menyerah. (pebri)

Read More..
Bagikan Artikel Ini :

Thursday, 18 April 2013

kontroversi dana pensiun tukang stempel

DANA PENSIUN TUKANG STEMPEL

Masih hangat di telinga kita bagaimana badan legislasi ini membangun gedung baru, kini muncul lagi polemik mengenai dana pensiun. Pernahkah anda bayangkan memperoleh pendapatan hingga 60 juta perbulan, fasilitas lengkap, bekerja selama 5 tahun, lalu memperoleh dana pensiun sekitar 6-75% dari gaji? Hal inilah yang didapat para legislator di DPR RI. Uang seperti telah menjadi segala-galanya di bangsa ini. Pernyataan ini seakan menyiratkan betapa bobroknya moral bangsa ini. Karena uang, hukum kembali diinjak-injak, bahkan oleh para legislator yang notabene lebih mengerti hukum. Hal inilah yang secara tidak langsung menuntun bangsa ini ke dalam labirin kuldesak yang mematikan.
DPR sendiri merupakan jabatan politis, sehingga sarat akan muatan politis dan kepentingan-kepentingan tertentu yang manipulatif dalam usulan dana pensiun ini. Apalagi bila ditengok kembali kebelakang kinerja anggota dewan belum ada yang memenuhi ekspektasi rakyat. Peran DPR sendiri lebih menonjol di fungsi pengawasan terhadap eksekutif, sementara di bidang legislatif serta budget belum terlalu menonjol dan justru lebih dekat dengan kontroversi. Dari segi kedisiplinan juga memprihantinkan karena banyak oknum anggota dewan yang bolos sidang dan tidur saat sidang berlangsung.

Pendapat salah satu fraksi di DPR yang menyatakan bahwa pemberian dana pensiun akan diberikan sesuai dengan kinerjanya juga sangat aneh, karena di UU No. 12 tahun 1980 tidak atur secara tegas dan rinci kinerja yang bagaimana. Pendapat dari masyarakat yang mengusulkan mengenai revisi undang-undang juga agak mustahil, mengingat yang berhak merevisi adalah DPR, sehingga apakah mungkin anggota dewan membuat peraturan yang merugikan diri sendiri?
Keadilan bagi masyarakat kembali tercoreng dengan dana pensiun ini. Negara selalu mengeluarkan miliaran rupiah tiap tahunnya untuk pensiunan para anggota DPR, ditengah penderitaan rakyat akan kemiskinan yang semakin merajalela.Dana pensiun ini jelas akan semakin memperburuk citra DPR serta menambah berat beban anggaran. Mestinya para anggota dewan sadar diri bahwa mereka adalah wakil rakyat, bekerja berdasarkan pengorbanan dan pengabdian, sehingga sudah sepantasnya tidak mendapat dana pensiun. Apabila kinerja mereka optimal, kelak yang didapat adalah lebih dari sekedar dana pensiun, namun jasa dan nama mereka akan dikenang sebagai anggota dewan yang prorakyat.

Read More..
Bagikan Artikel Ini :

Monday, 18 February 2013

SIAPA ADVOKAT PERTAMA DI INDONESIA ????


SIAPA ADVOKAT PERTAMA DI INDONESIA ?
Siapa advokat pertama di Indonesia? Ketika pertanyaan itu muncul, mungkin sederet nama seperti Lukman WiriadinataYap Thiam Hien dan Suardi Tasrif. Mereka memang dikenal sebagai pengacara pembela kepentingan rakyat. Nama mereka juga sering menjadi rujukan ketika orang berbicara tentang hak azasi manusia dalam proses hukum.
Sebenarnya advokat pertama di Indonesia adalah Besar Mertokusumo. Nama Besar memang tak besar seperti namanya. Tak ada nama jalan yang mengutip namanya. Hingga kini belum ada gelar pahlawan yang ditambatkan padanya. Dalam literatur sejarah advokat, Besar Mertokusumo kerap disebut sebagai generasi advokat pertama.

Besar Mertokusumo atau dikenal juga dengan Mas Besar Martokoesoemo adalah seorang pengacara atau advokat pertama Indonesia dan wali kota Tegal yang lahir di Brebes8 Juli 1894. Ia menikah dengan Raden Ajoe Marjatoen dan dikaruniai empat orang anak yaitu Mas Roro Marjatni, Mas Roro Indraningsih, Mas Soeksmono dan Mas Wisnoentoro merupakan wali kota bangsa Indonesia Pertama serta tercatat sebagai anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Mantan Sekjen Departemen Kehakiman itu mulai mengenyam pendidikan di Sekolah Rendah Belanda (Europeesche Lagere School-ELS) di Pekalongan dan lulus pada 1909. Enam tahun kemudian, lulus dari Rechtschool di Jakarta, kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Leiden, Belanda dan lulus pada 1922
Besar Mertokusumo yang biasa dikenal oleh masyarakat Tegal dengan nama Mr.Mas Besar Martokoesoemo diangkat sebagai wali kota (Shi-co)April 1942 Tegal saat pendudukan Jepang dan menjadi salah seorang anggota BPUPKI. Kemudian pada Juni 1944 diangkat sebagai Bupati (Ken-Co) Tegal, dan menjadi Wakil Residen Pekalongan (Fuku Syuu-cokan) pada Juni 1945.
Adnan Buyung Nasution juga mengakui sosok Besar. Dia sempat jadi advokat tetapi tidak lama. Beliau memang lebih banyak di pemerintah, ketimbang praktik advokat, sosok Besar juga sebagai penyusun konsep sistem peradilan Indonesia.
Besar    adalah  advokat yang sering membela terdakwa miskin dalam persidangan di Landraad (Pengadilan Negeri). Besar menggeluti dunia advokat sekitar tahun 1923. Firma hukumnya didirikan di TegalJawa Tengah, dekat kota kelahirannya, Brebes. Daniel S. Lev menyatakan kemungkinan Tegal dipilih karena disitulah keluarga dan teman-temannya berada. Beberapa kantor advokat Belanda juga sudah berdiri ketika itu di Tegal. Ketika berpraktik di Landraad (Pengadilan Negeri), Besar tak senang dengan perlakuan pengadilan terhadap terdakwa asal Indonesia. Dalam persidangan, terdakwa orang Indonesia harus duduk di lantai, membungkuk dalam-dalam dan sangat ketakutan. Besar menilai perlakuan itu sebagai bentuk penghinaan pengadilan terhadap orang Indonesia. Ketika itu, hakim dan jaksa menggunakan bahasa Belanda saat bersidang. Besar sendiri tak suka dengan kondisi demikian. Persidangan itu membuat orang Indonesia sulit menerima pengadilan itu seperti pengadilannya sendiri. Meski demikian, para hakim Belanda tetap menghormati Besar.
Setelah firma hukum di Tegal berkembang, Besar membuka kantor cabang di Semarang. Di kantor barunya, ia lebih banyak merekrut sarjana hukum Indonesia, antara lain Sastromulyono, Suyudi, dan lain-lain. Pernah, suatu waktu, gaji advokat dikantor itu 600 golden per bulan, ditambah dengan bagian keuntungan. Ketika zaman malaise (krisis) dua kantor yang didirikan oleh Besar itu berdiri sendiri.
Sebelum terjun ke dunia advokat, Besar bekerja sebagai panitera pada Landraad di Pekalongan. Pekerjaan itu diperoleh setelah lulus dari Rechtschool. Setelah bekerja beberapa tahun, kemudian hijrah ke Belanda untuk memperoleh gelar sarjana hukum, bersama dengan sebelas pelajar lainnya dengan kuliah di Universitas Leiden. Kaum pribumi yang belajar hukum umumnya berasal dari komunitas Jawa, Sumatera dan keturunan Cina. Mereka belajar di Rechtschool dengan materi ilmu hukum dan hukum acara pidana. Mereka yang lulus dengan ketat bergelar rechtskundingen sebagai sarjana muda hukum. Sedang mereka yang cerdas dapat meraih penuh gelar sarjana hukumnya di negeri Belanda, yang statusnya disamakan dengan kelompok yang langsung sekolah di Belanda.
Pada umumnya sarjana hukum dari Belanda diberi dua pilihan, yaitu untuk menerapkan ilmu yang mereka miliki dengan bekerja di Belanda atau pulang ke Indonesia. Mereka yang pulang ke Indonesia sebagian besar bekerja di pengadilan dan dalam jumlah yang lebih kecil mencoba membuka kantor advokatnya. Salah satunya ada Besar Mertokusumo yang membuka kantor di Tegal. Minimnya jumlah advokat ketika itu dipengaruhi meningkatnya suhu politik di Indonesia. Mahasiswa hukum yang kembali ke Indonesia kebanyakan langsung terjun ke dunia politik. Tidak mudah untuk menjadi advokat ketika itu, kesulitan itu bukan kesulitan finansial sebab advokat baru kebanyakan berasal dari keluarga dan keturunan kaya. Meski demikian, dari sisi profesionalitas, advokat Indonesia harus bersaing dengan pengacara Belanda yang notabene dekat dengan lembaga hukum yang dikuasai pejabat Belanda.
Profesi advokat tak jarang juga mendapat kecaman dari keluarga. Profesi advokat tak dipandang mentereng layaknya jabatan di pemerintahan. Begitupula dengan keluarga Besar, awalnya keluarga tak menyetujui pilihan Besar menjadi advokat. Bekerja sebagai pamong praja dinilai lebih baik dibandingkan advokat. Padahal ayah Besar adalah jaksa. Namun, Besar tak gentar dengan rintangan tersebut, ia tetap memilih menjadi pengacara. Keluarganya pun akhirnya menerima keputusan Besar hingga ia mengakhiri karirnya sebagai advokat pada 1942.
Berdasarkan Kepres No.048/ TK/ 1992 tanggal 17 Agustus 1992 (secara anumerta) mendapatkan Bintang Mahaputra Utama atas jasa-jasa beliau kepada bangsa dan negara. Meninggal dalam usia 86 tahun dan dimakamkan di Makam Giritama, Tonjong Parung Bogor


Read More..
Bagikan Artikel Ini :

ISLAM DAN ADVOKAT


Islam dan Advokat
Secara kelembagaan, advokat belum dikenal di kalangan orang-orang arab pra Islam. Hanya saja, terdapat praktek yang berlaku saat itu ketika terjadi sengketa antara mereka yaitu mewakilkan atau menguasakan seorang pembicara atau juru debat yang disebut حجيجا (hajij) atau حجاجا (hijaj) untuk membela kepentingan yang memberikan kuasa atau perwakilan (al- Muwakkil). Hal tersebut berlanjut hingga datangnya Islam, advokat belum eksis dan melembaga. Akan tetapi cikal bakal advokat dalam Islam bisa ditelusuri lewat praktek al- Wakalah yang sudah berkembang seiring dengan datangnya Islam. 


Rasulullah saw sendiri pernah mewakilkan kepada sahabat penyerahan seekor unta yang menjadi kewajiban beliau kepada seorang, orang tersebut datang menemui beliau memperkarakan untanya, maka Nabi saw. pun memerintahkan para sahabatnya mencarikan unta yang seusia dengan unta yang dituntut orang tersebut untuk diberikan kepadanya, namun mereka tak mendapatkan kecuali unta yang lebih tua. Nabi saw. pun memerintahkan menyerahkan unta yang lebih tua tersebut kepadanya, maka ia pun berkata kepada Nabi saw., “engkau telah menunaikan kewajibanmu kepadaku, maka Allah akan menunaikan pula kewajiban untukmu”.

Demikian di antara praktek al-Wakalah di zaman rasulullah saw yang berdiri di atas prinsip tolong menolong yang diperintahkan oleh Islam. Al-wakalah inilah yang menjadi bidzr (cikal bakal) profesi advokat. Pada era Khulafa al-Rasyidun, praktek al-Wakalah semakin berkembang. Di masa inilah advokat mulai mengambil bentuknya. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib pernah meminta ‘Uqail mewakilinya sebagai pengacara dalam suatu perkara, begitu pula yang dilakukan Abu Bakar, Umar bin Khaththab dan UÅŸman bin Affan. Ini berarti, perwakilan melalui seorang advokat dalam masalah- masalah yang disengketakan sudah diakui dan dipraktekkan di zamanKhulafa al- Rasyidun.

Barulah di zaman Dinasti Umayyah, profesi advokat benar-benar melembaga. Hal ini terlihat pada profesi beracara di muka pengadilan Wilayah al-Mazhalim, saat itu yang selalu melibatkan atau menghadirkan al-Humah dan al-A’wan (para pembela dan pengacara). Kehadiran para pengacara ini diharapkan dapat meredam kekerasan dan keangkuhan hati para pejabat pemerintah yang diajukan ke persidangan atas pelangggaran yang dibuatnya terhadap anggota masyarakat.

Di masa Dinasti Abbasiyah, seiring dengan pesatnya perkembangan fiqh dan kajian hukum Islam yang ditandai dengan munculnya mazhab-mazhab hukum Islam, konsep al-Wakalah (perwakilan) khususnya dalam perkara Khushumah (sengketa perselisihan antar anggota masyarakat) baik perdata maupun pidana mulai disempurnakan dan dibakukan. Ulama- ulama masa ini sepakat menetapkan kebolehan menunjuk seorang pengacara dalam pekara-perkara yang dipersengketakan, baik oleh penggugat (al- mudda’iy) terlebih lagi oleh pihak tergugat (mudda’a ‘alaih).

Di masa ini, lembaga tahkim (badan arbitrase) mendapat legalisasi dari pemerintahan Abbasiyah di samping lembaga- lembaga peradilan yang ada. Orang-orang yang berperkara dibenarkan menyerahkan perkaranya kepada seorang hakam yang mereka setujui, tentunya atas dasar kerelaan kedua belah pihak yang berperkara sebelumnya.

Lembaga advokat memasuki babak baru pada era akhir pemerintahan Dinasti Utsmaniyah. Pada Tahun 1846 M, untuk pertama kalinya didirikan sebuah universitas di Astanah yang membawahi sebuah akademi hukum yang nantinya melahirkan advokat. Akademi ini bernama Maktab al-Huquq al-Syhaniy. Pemerintah Utsmaniyah menyaratkan bahwa seorang advokat adalah yang dinyatakan lulus dan menyandang ijazah dari akademi tersebut, di samping harus menguasai bahasa resmi Daulah Utsmaniyah yang sedikit berbeda dengan bahasa Turki.

Sebelumnya, di mesir pada Tahun 1845 M, penguasa mesir menetapkan keputusan resmi yang mengatur tentang keberadaan seorang advokat di muka pengadilan, bahwasanya pihak penggugat maupun tergugat tidak boleh diwakili oleh seorang pengacara kecuali keduanya atau salah satu dari keduanya tidak dapat hadir di persidangan karena alasan syar’i (alasan yang dapat diterima).

Pada Tahun 1861, penguasa Mesir mengadakan kesepakatan dengan para konsulat Negara asing untuk membentuk lembaga peradilan yang memperkarakan orang-orang asing yang menetap di Mesir saat itu. Lembaga ini dinamai Majlis Qawmiyyun Mish. Di lembaga peradilan ini peran advokatsemakin tampak dengan dikeluarkannya aturan bahwa pihak tergugat dapat mengajukan wakilnya untuk beracara di muka persidangan.

Referensi Makalah®

Read More..
Bagikan Artikel Ini :

SEJARAH ADVOKAT DI INDONESIA


Sejarah Advokat di Indonesia
Pada Masa Pra Kemerdekaan
Profesi advokat sesungguhnya sarat dengan idealisme. Sejak profesi ini dikenal secara universal sekitar 2000 tahun lalu, ia sudah dijuluki sebagai “officium nobile” artinya profesi yang mulia dan terhormat. Profesi advokat itu mulia, karena ia mengabdikan dirinya kepada kepentingan masyarakat dan bukan kepada dirinya sendiri, serta ia berkewajiban untuk turut menegakkan hak-hak asasi manusia.
Namun, seringkali dalam kenyataan, orang-orang yang menggeluti profesi advokat tidak dapat menjunjung tinggi idealisme dari profesi itu sendiri. Hal itu bisa karena faktor diluar dirinya yang begitu kuat, tetapi terkadang juga karena kurangnya penghayatan advokat yang bersangkutan terhadap esensi profesinya.
Sejarah keadvokatan di Indonesia tumbuh dan berkembang tidak sebagaimana yang terjadi di Eropa. Sebagaimana di tanah jajahan lainnya, keadvokatan Indonesia memperoleh bentuk pada masa kolonial Belanda. Maka konsekuensi logis apabila model advokat Indonesia dengan sendirinya adalah seperti advokat Belanda.
Besarnya pengaruh kolonial terhadap perkembangan profesi advokat terkait erat dengan perbedaan tradisi hukum anglo-saxon (common law) dan tradisi hukum eropa kontinental (civil law). Misalnya bagi Inggris dan Amerika dengan tradisi hukum common law memandang besarnya jumlah advokat di tanah jajahan sebagai suatu kebaikan, sedangkan bagi Perancis, Belanda, dan Belgia yang bertradisi hukum Eropa Kontinental (civil law) justru sebaliknya, (Daniel S. Lev, 1990).
Di Hindia Belanda (Indonesia) sampai pertengahan tahun 1920-an, semua advokat dan notaris adalah orang Belanda. Hal ini pula yang mempengaruhi mengapa perkembangan advokat pasca kemerdekaan Indonesia masih berjalan lambat. Mengenai hal ini, Daniel S. Lev berpendapat bahwa besar kecilnya jumlah advokat pribumi tergantung kepada kombinasi ideologi pemerintahan dan kebijaksanaan ekonomi kolonialnya, (Daniel S. Lev, 1990).
Pada saat Belanda merampas daerah pedalaman Jawa yang disusul pecahnya perang Napoleon, Belanda mendirikan pemerintahan tidak langsung di Indonesia dengan memanfaatkan persekutuan dengan elite priyayi Jawa. Persekutuan ini meletakkan kaum elit Jawa seolah-olah masih tetap berkuasa, sedangkan Belanda dapat mengeksploitasi kekayaan ini seperti perkebunan hingga seperempat abad kesembilan belas.
Namun terjadi perubahan pada pertengahan abad kesembilan belas, Belanda mengubah kebijaksaan kolonialnya dengan lebih legalitas. Dimulai pada akhir tahun 1840-an, beberapa kitab undang-undang baru diundangkan, organisasi dan kebijaksanaan kehakiman dikembangkan dan dibenahi, serta pemerintahan dirasionalisasi dengan hukum dan peraturan yang cocok. Dengan demikianrechtsstaat diperkenalkan di tanah jajahan, meskipun hanya berorientasi pada kepentingan kolonial, (Daniel S. Lev, 1990).
Pada permulaan abad keduapuluh pemerintah kolonial menganut kebijaksanaan etis, yang bertujuan menciptakan kesejahteraan dan kemajuan sosial golongan pribumi. Kebijakan ini gagal karena pemerintah kolonial lebih mendorong terciptanya ketertiban daripada membangun kepercayaan kemampuan sendiri bagi golongan pribumi.
Sistem peradilan Hindia Belanda terbagi dalam empat jenis peradilan yang berlainan. Pertama, pengadilan pemerintah untuk orang Eropa meliputi pengadilan tingkat pertama residentiegerechtyang menjadi wewenang residen Belanda; pengadilan banding raad van justitie di ibukota dan pengadilan tertinggi, hoogerechtshofKedua,  pengadilan pemerintah untuk orang bukan berupa, pengadilan agama Islam, dan pengadilan adat.
Pengadilan pemerintah bagi orang Indonesia juga memiliki tiga tingkatan yakni districtsgerecht, regentschapsgerecht, dan landraadLandraad inilah yang menjadi cikal bakal pengadilan negeri Indonesia. Pada tahun 1938, putusan landraad dapat dibanding pada raad van justitie Sebagian besar hakim landraad adalah orang Belanda, namun sejak 1920-an dan 1930-an beberapa orang ahli hukum Indonesia berpendidikan hukum diangkat sebagai hakim. Pengadilan Indonesia menggunakan KUH Pidana dengan hukum acara yang dikenal HerzieneInlandse Reglement (HIR), (Daniel S. Lev, 1990).
Pemerintah kolonial tidak mendorong orang-orang Indonesia untuk bekerja sebagai advokat. Pada 1909 pemerintah kolonial mendirikan Rechtsschool di Batavia dan membuka kesempatan pendidikan hukum bagi orang pribumi hingga tahun 1922, namun kesempatan hanya dimanfaatkan kaum priyayi. Pada tahun 1928, Rechtsschool meluluskan hampir 150 orang rechtskundigen(sarjana hukum). Namun mereka ini hanya menjadi panitera, jaksa dan hakim tidak sebagai notaris dan advokat.                                                                                           
Hingga pada tahun 1940 terdapat hampir tiga ratus orang Indonesia asli menjadi ahli hukum sampai pada pendudukan Jepang. Para advokat Indonesia angkatan pertama menetap di Belanda sebagai advokat. Diantara empat puluh orang Indonesia yang meraih gelar sarjana hukum di Leiden, tidak kurang dari enam belas orang menjadi advokat sepulang ke Indonesia.[1]
Salah seorang tokoh yang mendorong perkembangan advokat Indonesia adalah Mr. Besar Martokusumo. Pada saat itu tidak satupun kantor advokat yang besar kecuali kantor Mr. Besar di Tegal dan Semarang, dan kantor advokat  Mr. Iskak di Batavia. Bagi advokat Indonesia asli memulai praktik adalah langkah yang sulit. Hal ini terjadi karena advokat Belanda mengganggap mereka sebagai ancaman dalam persaingan.
Perkembangan sistem hukum pemerintahan kolonial telah memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan advokat pribumi pada masa itu. Seiring dengan itu semangat nasionalisme para advokat Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan menjadikan para advokat Indonesia terlibat aktif pada berbagai organisasi pergerakan.
Dapat dikemukan berbagai pengaturan profesi advokat pada masa pra kemerdekaan tersebut adalah sebagai berikut:
a.      Staatblad Tahun 1847 Nomor 23 dan Staatblad Tahun 1848 Nomor 57 tentang Reglement op de rechtelijk organisatie en het beleid de justitie in Indonesie atau dikenal dengan RO, pada Pasal 185 s/d 192 mengatur tentang “advocatenen procureurs” yaitu penasehat hukum yang bergelar sarjana hukum.
b.      Staatblad Tahun 1847 Nomor 40 tentang Reglement op de Rechtsvordering (RV), dalam peradilan khusus golongan Eropa (Raad van Justitie) ditentukan bahwa para pihak harus diwakili oleh seorang advokat atau procureur.
c.      Penetapan Raja tanggal 4 Mei 1926 Nomor 251 jo. 486 tentang Peraturan Cara Melakukan Menjalankan Hukuman Bersyarat, pada Bab I Bagian II Pasal 3 ayat 3 ditentukan bahwa orang yang dihukum dan orang yang wajib memberikan bantuan hukum kepadanya sebelum permulaan pemeriksaan.
d.      Staatblad Tahun 1926 nomor 487 tentang Pengawasan Orang yang Memberikan Bantuan Hukum, ditentukan bahwa pengawasan terhadap orang-orang yang memberikan bantuan hukum atau orang yang dikuasakan untuk menunjuk lembaga dan orang yang boleh diperintah memberi bantuan.
e.      Staatblad Tahun 1927 Nomor 496 tentang Regeling van de bijstaan en vertegenwoordiging van partijen in burgerlijke zaken voor de landraden, mengatur tentang penasehat hukum yang disebut “zaakwaarnemers’ atau pada masa tersebut dikenal dengan “pokrol”.
f.        Staatblad Tahun 1941 Nomor 44 tentang Herziene Inlandsch Reglement (HIR), dalam Pasal 83 h ayat 6 ditentukan bahwa jika seseorang dituduh bersalah melakukan sesuatu kejahatan yang dapat dihukum dengan hukuman mati, maka magistraat hendak menanyakan kepadanya, maukah ia dibantu di pengadilanoleh seorang penasehat hukum. Dan Pasal 254 menentukan bahwa dalam persidangan tiap-tiap orang yang dituduh berhak dibantu oleh pembela untuk mempertahankan dirinya.
g.      Staatblad Tahun 1944 Nomor 44 tentang Het Herziene Inlandsch Reglement atau RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaharui), menurut Pasal 123 dimungkinkan kepada pihak yang berperkara untuk diwakili oleh orang lain.
Berbagai ketentuan hukum diatas mendasari profesi advokat pada masa pra kemerdekaan, meski masih mengutamakan advokat Belanda. Akan tetapi berbagai pengaturan itu sedikitnya telah mendasari perkembangan advokat Indonesia pada masa selanjutnya.                                             
Advokat Sejak Masa Kemerdekaan
Perkembangan pengaturan profesi advokat di Indonesia dilanjutkan pada masa pendudukan Jepang. Pemerintah kolonial Jepang tidak melakukan perubahan yang berarti mengenai profesi ini. Hal ini terbukti pada UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Wetboek van strafrecht voor Nederlands Indie tetapi digunakan istilah KUH Pidana. UU ini memuat pengaturan tentang kedudukan advokat dan procureur dan orang-orang yang memberikan bantuan hukum.
Pengaturan profesi advokat secara sporadis tersebar dalam berbagai ketentuan perundang-undangan termasuk didalamnya ketentuan pada masa kolonial Belanda. Bahkan pengaturan profesi advokat sejak proklamasi 17 Agustus 1945 justru kurang mendapat perhatian. Hal ini ditunjukkan dengan tidak ditemukannya istilah advokat atau istilah lain yang sepadan dimasukkan dalam UUD 1945. Demikian pula pada UUD RIS 1949 yang digantikan dengan UUDS 1950.[2]
Sehingga ironi dalam pembangunan hukum di Indonesia, tidak mengatur secara khusus profesi advokat sebagaimana profesi hukum lainnya, padahal profesi ini sebagai salah satu unsur penegak hukum. Akibatnya menimbulkan berbagai keprihatinan dan kesimpangsiuran menyangkut profesi tersebut. Seirama dengan merosotnya wibawa hukum (authority of law) dan supremasi hukum (supremacy of law), maka profesi hukum ini juga terbawa arus kemerosotan.
Meskipun demikian secara implisit, terdapat beberapa ketentuan yang mengisyaratkan pengakuan terhadap profesi ini, antara lain sebagai berikut :
a.      UU Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan untuk Jawa dan Madura, dalam Pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa peminta atau wakil dalam arti orang yang diberi kuasa untuk itu yaitu pembela atau penasehat hukum.
b.      UU Nomor 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung dalam Pasal 42 memberikan istilah pemberi bantuan hukum dengan kata PEMBELA.
c.      UU Drt. Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara Penyelenggaraan Kekuasaan dan Acara Pengadilan sipil, memuat ketentuan tentang bantuan hukum bagi tersangka atapun terdakwa.
d.      UU Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diganti dengan UU Nomor 14 Tahun 1970, menyatakan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
e.      UU Nomor 13 Tahun 1965 tentang Mahkamah Agung, diganti dengan UU Nomor 14 Tahun 1985, pada Pasal 54 bahwa penasehat hukum adalah mereka yang melakukan kegiatan memberikan nasehat hukum yang berhubungan suatu proses di muka pengadilan.
f.        UU Nomor 1 Tahun 1981 tentang KUHAP, dalam Pasal 54 s/d 57 dan 69 s/d 74 mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan penasehat hukum dan tata cara penasehat hukum berhubungan dengan tersangka dan terdakwa.
g.      UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, mengakui keberadaan penasehat hukum dalam memberi bantuan hukum kepada tersangka atau terdakwa.
h.      Surat Edaran dan Surat Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman, dan sebagainya.
Bahkan sebenarnya Pasal 38 UU Nomor 14 Tahun 1970[3], telah mengisyaratkan perlunya pengaturan profesi advokat dalam UU tersendiri. Namun hal itupun tidak menjadi perhatian pemerintah hingga akhirnya tuntutan pengaturan tersebut semakin besar di kalangan organisasi advokat. Setelah 33tahun, barulah perjuangan itu berhasil melalui UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Berbagai argumentasi yang melatarbelakangi lambatnya respon pemerintah terhadap pengaturan profesi advokat ini. Diantaranya terkait dengan tipe kepemimpinan pemerintahan pada masa itu. Misalnya pemerintahan Bung Karno pada masa orde lama, pernah berkata kepada Mr. Sartono yang menjadi pembelanya di landraad Bandung 1930, berikut petikannya :
Mr. Sartono, aku pujikan segala usaha-usaha kamu, para advokat selalu berpegang teguh kepada UU. Mereka lebih kuat menganut cara menembus UU, suatu revolusi menolak UU yang berlaku hari ini dan maju diatas basis meninggalkan UU itu. Karena sulit untuk melancarkan suatu revolusi beserta kaum advokat dan pengacara. Adalah juga sulit untuk membangun pertahanan suatu revolusi dengan para advokat dan pengacara. Yang kami harapkan adalah luapan semangat peri kemanusiaan. Inilah yang akan kukerjakan”.
Demikian pula pada pemerintahan orde baru, campur tangan pemerintah dalam pembentukan dan perpecahan organisasi advokat telah menyebabkan tingkah laku, praktek dan sepak terjang pada advokat menjadi tidak terkontrol lagi oleh organisasi profesi yang seharusnya ketat memberlakukan Kode Etik Profesi Advokat dan mengawasi praktek profesi advokat.
Sejak lahirnya UU Advokat, profesi advokat mendapat pengakuan sehingga setara dengan penegak hukum lainnya dalam prakteknya. Pengaturan ini juga berimplikasi pada rekturtmen advokat secara sistematis sehingga diharapkan para advokat nantinya dapat melaksanakan amanat profesi ini sebagai profesi yang mulia (officium nobile).

Read More..
Bagikan Artikel Ini :