Best Blogger Tips

Wednesday 9 October 2013

Antiklimaks Vonis Sang Jendral

Antiklimaks Vonis Sang Jendral


Good governance atau pemerintahan yang bersih, penegakan hukum, khususnya dibidang korupsi, adalah agenda demokratisasi yang dasar untuk mencegah terjadinya triple crisis of governance (diamond, 2005)
Triple crisis of governance adalah kemandekan penegakan hukum, ketidakmampuan pemerintah menjaga perdamaian rakyat atau daerah, serta pertumbuhan ekonomi yang stagnan atau krisis, sebagai akibat dari kegagalan kebijakan perekonomian dan rendahnya kapasitas birokrasi pemerintahan.
Sumber dari tiga krisis pemerintahan tidak lain adalah korupsi, the root of all evils. Tertangkapnya mantan Gubernur Akademi Kepolisian, Djoko Susilo, oleh KPK semakin memperkokoh stigma yang terbentuk oleh publik bahwasanya tidak ada lembaga di negri ini yang tidak terlibat korupsi. Adagium “Power tends to be corrupt, and absolut power corrupts absolutely” dari Lord Action benar-benar menggambarkan betapa bobroknya moral pemegang kekuasaan bangsa saat ini.
Rasa keadilan rakyat pun kembali terkoyak. Proses hukum yang panjang tidak menghasilkan vonis yang setimpal bagi para pencuri uang rakyat. Apabila kita tarik kembali kebelakang selama proses penyelidikan hingga persidangan ada beberapa hal yang mebuat geram masyarakat. Pertama, DS sempat menolak beberapa kali panggilan dari KPK, hingga menyebabkan konflik antara KPK dan POLRI. Kedua, upaya kriminalisasi yang dilakukan POLRI terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan. Ketiga, penasihat hukum DS sempat berupaya merontokkan kewenangan penyitaan sekaligus penuntutan TPPU yang dilakukan KPK terhadap aset-aset sang jenderal, karena beranggapan KPK tidak berhak menggunakan UU TPPU sebelum 2010. Jika upaya ini berhasil, dapat dipastikan aset-aset DS akan kembali ke genggamannya, meskipun nantinya ia divonis bersalah dalam kasus tersebut. Keempat, Pengacara DS diduga sempat mengintervensi saksi setelah penyidik KPK kantongi bukti pertemuan antara keduanya. Kelima, ditemukannya selipan uang 100 USD  oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK di buku pledoi DS. Insiden ini tentu benar-benar mencoreng citra lembaga peradilan khusunya kejaksaan dan menyakiti hati para pencari keadilan.
Vonis 10 tahun penjara dan denda 500 juta subsider 6 bulan kurungan tentu menimbulkan ketidakpuasan dan mencederai rasa keadilan bagi masyarakat. Vonis ini jauh lebih ringan dibanding tututan jaksa yang menuntut 18 tahun penjara dan denda 1 miliar. Apabila kita buka lembaran lama, Jaksa Untung Tri Gunawan divonis 20 tahun penjara padahal kala itu tuntutan jaksa hanya 15 tahun. Hakim memberi vonis lebih berat dengan alasan bahwa Jaksa Untung Tri Gunawan adalah seorang penegak Hukum. Bukankah Djoko Susilo juga seorang penegak hukum ?
Peniadaan uang pengganti sebesar 32 miliar juga patut dipertanyakan. Anggota Majelis Hakim Anwar mengatakan tidak adil jika Djoko diharuskan tetap membayar uang pengganti sebanyak Rp32 miliar. Sebab sejumlah aset dan harta Djoko telah disita negara. Hal ini patut disayangkan karena sejatinya koruptor itu lebih takut apabila disuruh membayar uang pengganti dan dimiskinkan daripada dipenjara. Mereka sadar apabila mereka masih memliki harta, mereka masih bisa hidup bak seorang raja meski di dalam bui sekalipun. Sebaliknya jika kehilangan semua hartanya, mereka akan kehilangan semua objek dan tujuan mereka selama ini.
Mengenai pencabutan hak politik yang dibatalkan, Hakim Anwar menilai tuntutan itu terlalu berlebihan. ‘’Akibat perkara secara otomatis terdakwa akan tersaring peraturan dan persyaratan partai politik,’’ ujarnya. KPK menuntut penghapusan hak politik, didasari pengalaman bahwa ada terpidana korupsi di Papua yang dapat mengikuti pemilihan kepala daerah, dan bahkan menang.
Perbuatan Djoko Susilo ini tidak bisa lagi ditoleransi. Untuk segala sesuatu yang haram dan telah melukai hati rakyat tidak ada lagi pemakluman. Uang pajak yang sejatinya dibayarkan oleh rakyat demi terwujudnya pelayanan publik yang baik justru dimasukan ke rekening pribadi.  Terhadap para penghianat hukum dan penghianat bangsa yang demikian, hukum biasa tidaklah cukup. Harus diberikan sanksi yang luar biasa. Para penegak hukum seharusnya tidak perlu ragu-ragu lagi untuk mendobrak belantara harta kekayaan para koruptor dan memangkasnya hingga habis. Rakyat pun kini menanti akan terwujudnya rasa keadilan dari tempat berpijak yang kian hari makin rapuh. Quo vadis ?
Pebri Tuwanto
Bagikan Artikel Ini :

0 comments:

Post a Comment