SIAPA ADVOKAT PERTAMA DI INDONESIA ?
Siapa advokat
pertama di Indonesia? Ketika pertanyaan itu muncul, mungkin sederet nama
seperti Lukman Wiriadinata, Yap Thiam
Hien dan Suardi Tasrif.
Mereka memang dikenal sebagai pengacara pembela kepentingan rakyat. Nama mereka
juga sering menjadi rujukan ketika orang berbicara tentang hak azasi manusia
dalam proses hukum.
Sebenarnya advokat
pertama di Indonesia adalah Besar Mertokusumo. Nama Besar memang tak besar
seperti namanya. Tak ada nama jalan yang mengutip namanya. Hingga kini belum
ada gelar pahlawan yang ditambatkan padanya. Dalam literatur sejarah advokat,
Besar Mertokusumo kerap disebut sebagai generasi advokat pertama.
Besar Mertokusumo atau dikenal
juga dengan Mas Besar Martokoesoemo adalah seorang pengacara
atau advokat pertama Indonesia dan wali kota Tegal yang lahir di Brebes, 8 Juli 1894. Ia menikah
dengan Raden Ajoe Marjatoen dan dikaruniai empat orang anak yaitu Mas Roro
Marjatni, Mas Roro Indraningsih, Mas Soeksmono dan Mas Wisnoentoro merupakan
wali kota bangsa Indonesia Pertama serta tercatat sebagai anggota BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Mantan Sekjen Departemen Kehakiman itu mulai
mengenyam pendidikan di Sekolah Rendah Belanda (Europeesche Lagere
School-ELS) di Pekalongan dan lulus pada 1909. Enam tahun kemudian,
lulus dari Rechtschool di Jakarta,
kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Leiden, Belanda dan lulus pada 1922
Besar Mertokusumo
yang biasa dikenal oleh masyarakat Tegal dengan nama Mr.Mas Besar Martokoesoemo
diangkat sebagai wali kota (Shi-co)April 1942 Tegal saat pendudukan Jepang dan
menjadi salah seorang anggota BPUPKI. Kemudian pada Juni 1944 diangkat sebagai Bupati (Ken-Co)
Tegal, dan menjadi Wakil Residen Pekalongan (Fuku Syuu-cokan) pada Juni 1945.
Adnan Buyung Nasution juga mengakui sosok Besar. Dia sempat jadi
advokat tetapi tidak lama. Beliau memang lebih banyak di pemerintah, ketimbang
praktik advokat, sosok Besar juga sebagai penyusun konsep sistem peradilan
Indonesia.
Besar adalah
advokat yang sering membela terdakwa miskin
dalam persidangan di Landraad (Pengadilan Negeri). Besar menggeluti dunia
advokat sekitar tahun 1923. Firma hukumnya didirikan di Tegal, Jawa Tengah,
dekat kota kelahirannya, Brebes. Daniel S. Lev menyatakan kemungkinan Tegal
dipilih karena disitulah keluarga dan teman-temannya berada. Beberapa kantor
advokat Belanda juga sudah berdiri ketika itu di Tegal. Ketika berpraktik di Landraad (Pengadilan
Negeri), Besar tak senang dengan perlakuan pengadilan terhadap
terdakwa asal Indonesia. Dalam persidangan, terdakwa orang Indonesia harus
duduk di lantai, membungkuk dalam-dalam dan sangat ketakutan. Besar menilai
perlakuan itu sebagai bentuk penghinaan pengadilan terhadap orang Indonesia.
Ketika itu, hakim dan jaksa menggunakan bahasa Belanda saat bersidang. Besar
sendiri tak suka dengan kondisi demikian. Persidangan itu membuat orang
Indonesia sulit menerima pengadilan itu seperti pengadilannya sendiri. Meski
demikian, para hakim Belanda tetap
menghormati Besar.
Setelah firma
hukum di Tegal berkembang, Besar membuka kantor cabang di Semarang.
Di kantor barunya, ia lebih banyak merekrut sarjana hukum Indonesia, antara
lain Sastromulyono, Suyudi, dan
lain-lain. Pernah, suatu waktu, gaji advokat dikantor itu 600 golden per bulan,
ditambah dengan bagian keuntungan. Ketika zaman malaise (krisis) dua kantor
yang didirikan oleh Besar itu berdiri sendiri.
Sebelum terjun ke
dunia advokat, Besar bekerja sebagai panitera pada Landraad di Pekalongan.
Pekerjaan itu diperoleh setelah lulus dari Rechtschool. Setelah
bekerja beberapa tahun, kemudian hijrah ke Belanda untuk memperoleh gelar
sarjana hukum, bersama dengan sebelas pelajar lainnya dengan kuliah di Universitas Leiden. Kaum pribumi yang belajar hukum umumnya berasal dari komunitas
Jawa, Sumatera dan keturunan Cina. Mereka belajar di Rechtschool dengan
materi ilmu hukum dan
hukum acara pidana. Mereka yang lulus dengan ketat bergelar rechtskundingen sebagai
sarjana muda hukum. Sedang mereka yang cerdas dapat meraih penuh gelar sarjana
hukumnya di negeri Belanda, yang statusnya disamakan dengan kelompok yang
langsung sekolah di Belanda.
Pada umumnya
sarjana hukum dari Belanda diberi dua pilihan, yaitu untuk menerapkan ilmu yang
mereka miliki dengan bekerja di Belanda atau pulang ke Indonesia. Mereka yang
pulang ke Indonesia sebagian besar bekerja di pengadilan dan dalam jumlah yang
lebih kecil mencoba membuka kantor advokatnya. Salah satunya ada Besar
Mertokusumo yang membuka kantor di Tegal.
Minimnya
jumlah advokat ketika itu dipengaruhi meningkatnya suhu politik di Indonesia.
Mahasiswa hukum yang kembali ke Indonesia kebanyakan langsung terjun ke dunia
politik. Tidak mudah untuk menjadi advokat ketika itu, kesulitan itu bukan
kesulitan finansial sebab advokat baru kebanyakan berasal dari keluarga dan
keturunan kaya. Meski demikian, dari sisi profesionalitas, advokat Indonesia
harus bersaing dengan pengacara Belanda yang notabene dekat dengan lembaga
hukum yang dikuasai pejabat Belanda.
Profesi advokat
tak jarang juga mendapat kecaman dari keluarga. Profesi advokat tak dipandang
mentereng layaknya jabatan di pemerintahan. Begitupula dengan keluarga Besar,
awalnya keluarga tak menyetujui pilihan Besar menjadi advokat. Bekerja sebagai
pamong praja dinilai lebih baik dibandingkan advokat. Padahal ayah Besar adalah jaksa. Namun, Besar tak
gentar dengan rintangan tersebut, ia tetap memilih menjadi pengacara.
Keluarganya pun akhirnya menerima keputusan Besar hingga ia mengakhiri karirnya
sebagai advokat pada 1942.
Berdasarkan Kepres
No.048/ TK/ 1992 tanggal 17 Agustus 1992 (secara anumerta) mendapatkan Bintang Mahaputra Utama atas
jasa-jasa beliau kepada bangsa dan negara. Meninggal dalam usia 86 tahun dan
dimakamkan di Makam Giritama, Tonjong Parung Bogor
0 comments:
Post a Comment