Best Blogger Tips

Monday, 18 February 2013

SEJARAH ADVOKAT DI INDONESIA


Sejarah Advokat di Indonesia
Pada Masa Pra Kemerdekaan
Profesi advokat sesungguhnya sarat dengan idealisme. Sejak profesi ini dikenal secara universal sekitar 2000 tahun lalu, ia sudah dijuluki sebagai “officium nobile” artinya profesi yang mulia dan terhormat. Profesi advokat itu mulia, karena ia mengabdikan dirinya kepada kepentingan masyarakat dan bukan kepada dirinya sendiri, serta ia berkewajiban untuk turut menegakkan hak-hak asasi manusia.
Namun, seringkali dalam kenyataan, orang-orang yang menggeluti profesi advokat tidak dapat menjunjung tinggi idealisme dari profesi itu sendiri. Hal itu bisa karena faktor diluar dirinya yang begitu kuat, tetapi terkadang juga karena kurangnya penghayatan advokat yang bersangkutan terhadap esensi profesinya.
Sejarah keadvokatan di Indonesia tumbuh dan berkembang tidak sebagaimana yang terjadi di Eropa. Sebagaimana di tanah jajahan lainnya, keadvokatan Indonesia memperoleh bentuk pada masa kolonial Belanda. Maka konsekuensi logis apabila model advokat Indonesia dengan sendirinya adalah seperti advokat Belanda.
Besarnya pengaruh kolonial terhadap perkembangan profesi advokat terkait erat dengan perbedaan tradisi hukum anglo-saxon (common law) dan tradisi hukum eropa kontinental (civil law). Misalnya bagi Inggris dan Amerika dengan tradisi hukum common law memandang besarnya jumlah advokat di tanah jajahan sebagai suatu kebaikan, sedangkan bagi Perancis, Belanda, dan Belgia yang bertradisi hukum Eropa Kontinental (civil law) justru sebaliknya, (Daniel S. Lev, 1990).
Di Hindia Belanda (Indonesia) sampai pertengahan tahun 1920-an, semua advokat dan notaris adalah orang Belanda. Hal ini pula yang mempengaruhi mengapa perkembangan advokat pasca kemerdekaan Indonesia masih berjalan lambat. Mengenai hal ini, Daniel S. Lev berpendapat bahwa besar kecilnya jumlah advokat pribumi tergantung kepada kombinasi ideologi pemerintahan dan kebijaksanaan ekonomi kolonialnya, (Daniel S. Lev, 1990).
Pada saat Belanda merampas daerah pedalaman Jawa yang disusul pecahnya perang Napoleon, Belanda mendirikan pemerintahan tidak langsung di Indonesia dengan memanfaatkan persekutuan dengan elite priyayi Jawa. Persekutuan ini meletakkan kaum elit Jawa seolah-olah masih tetap berkuasa, sedangkan Belanda dapat mengeksploitasi kekayaan ini seperti perkebunan hingga seperempat abad kesembilan belas.
Namun terjadi perubahan pada pertengahan abad kesembilan belas, Belanda mengubah kebijaksaan kolonialnya dengan lebih legalitas. Dimulai pada akhir tahun 1840-an, beberapa kitab undang-undang baru diundangkan, organisasi dan kebijaksanaan kehakiman dikembangkan dan dibenahi, serta pemerintahan dirasionalisasi dengan hukum dan peraturan yang cocok. Dengan demikianrechtsstaat diperkenalkan di tanah jajahan, meskipun hanya berorientasi pada kepentingan kolonial, (Daniel S. Lev, 1990).
Pada permulaan abad keduapuluh pemerintah kolonial menganut kebijaksanaan etis, yang bertujuan menciptakan kesejahteraan dan kemajuan sosial golongan pribumi. Kebijakan ini gagal karena pemerintah kolonial lebih mendorong terciptanya ketertiban daripada membangun kepercayaan kemampuan sendiri bagi golongan pribumi.
Sistem peradilan Hindia Belanda terbagi dalam empat jenis peradilan yang berlainan. Pertama, pengadilan pemerintah untuk orang Eropa meliputi pengadilan tingkat pertama residentiegerechtyang menjadi wewenang residen Belanda; pengadilan banding raad van justitie di ibukota dan pengadilan tertinggi, hoogerechtshofKedua,  pengadilan pemerintah untuk orang bukan berupa, pengadilan agama Islam, dan pengadilan adat.
Pengadilan pemerintah bagi orang Indonesia juga memiliki tiga tingkatan yakni districtsgerecht, regentschapsgerecht, dan landraadLandraad inilah yang menjadi cikal bakal pengadilan negeri Indonesia. Pada tahun 1938, putusan landraad dapat dibanding pada raad van justitie Sebagian besar hakim landraad adalah orang Belanda, namun sejak 1920-an dan 1930-an beberapa orang ahli hukum Indonesia berpendidikan hukum diangkat sebagai hakim. Pengadilan Indonesia menggunakan KUH Pidana dengan hukum acara yang dikenal HerzieneInlandse Reglement (HIR), (Daniel S. Lev, 1990).
Pemerintah kolonial tidak mendorong orang-orang Indonesia untuk bekerja sebagai advokat. Pada 1909 pemerintah kolonial mendirikan Rechtsschool di Batavia dan membuka kesempatan pendidikan hukum bagi orang pribumi hingga tahun 1922, namun kesempatan hanya dimanfaatkan kaum priyayi. Pada tahun 1928, Rechtsschool meluluskan hampir 150 orang rechtskundigen(sarjana hukum). Namun mereka ini hanya menjadi panitera, jaksa dan hakim tidak sebagai notaris dan advokat.                                                                                           
Hingga pada tahun 1940 terdapat hampir tiga ratus orang Indonesia asli menjadi ahli hukum sampai pada pendudukan Jepang. Para advokat Indonesia angkatan pertama menetap di Belanda sebagai advokat. Diantara empat puluh orang Indonesia yang meraih gelar sarjana hukum di Leiden, tidak kurang dari enam belas orang menjadi advokat sepulang ke Indonesia.[1]
Salah seorang tokoh yang mendorong perkembangan advokat Indonesia adalah Mr. Besar Martokusumo. Pada saat itu tidak satupun kantor advokat yang besar kecuali kantor Mr. Besar di Tegal dan Semarang, dan kantor advokat  Mr. Iskak di Batavia. Bagi advokat Indonesia asli memulai praktik adalah langkah yang sulit. Hal ini terjadi karena advokat Belanda mengganggap mereka sebagai ancaman dalam persaingan.
Perkembangan sistem hukum pemerintahan kolonial telah memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan advokat pribumi pada masa itu. Seiring dengan itu semangat nasionalisme para advokat Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan menjadikan para advokat Indonesia terlibat aktif pada berbagai organisasi pergerakan.
Dapat dikemukan berbagai pengaturan profesi advokat pada masa pra kemerdekaan tersebut adalah sebagai berikut:
a.      Staatblad Tahun 1847 Nomor 23 dan Staatblad Tahun 1848 Nomor 57 tentang Reglement op de rechtelijk organisatie en het beleid de justitie in Indonesie atau dikenal dengan RO, pada Pasal 185 s/d 192 mengatur tentang “advocatenen procureurs” yaitu penasehat hukum yang bergelar sarjana hukum.
b.      Staatblad Tahun 1847 Nomor 40 tentang Reglement op de Rechtsvordering (RV), dalam peradilan khusus golongan Eropa (Raad van Justitie) ditentukan bahwa para pihak harus diwakili oleh seorang advokat atau procureur.
c.      Penetapan Raja tanggal 4 Mei 1926 Nomor 251 jo. 486 tentang Peraturan Cara Melakukan Menjalankan Hukuman Bersyarat, pada Bab I Bagian II Pasal 3 ayat 3 ditentukan bahwa orang yang dihukum dan orang yang wajib memberikan bantuan hukum kepadanya sebelum permulaan pemeriksaan.
d.      Staatblad Tahun 1926 nomor 487 tentang Pengawasan Orang yang Memberikan Bantuan Hukum, ditentukan bahwa pengawasan terhadap orang-orang yang memberikan bantuan hukum atau orang yang dikuasakan untuk menunjuk lembaga dan orang yang boleh diperintah memberi bantuan.
e.      Staatblad Tahun 1927 Nomor 496 tentang Regeling van de bijstaan en vertegenwoordiging van partijen in burgerlijke zaken voor de landraden, mengatur tentang penasehat hukum yang disebut “zaakwaarnemers’ atau pada masa tersebut dikenal dengan “pokrol”.
f.        Staatblad Tahun 1941 Nomor 44 tentang Herziene Inlandsch Reglement (HIR), dalam Pasal 83 h ayat 6 ditentukan bahwa jika seseorang dituduh bersalah melakukan sesuatu kejahatan yang dapat dihukum dengan hukuman mati, maka magistraat hendak menanyakan kepadanya, maukah ia dibantu di pengadilanoleh seorang penasehat hukum. Dan Pasal 254 menentukan bahwa dalam persidangan tiap-tiap orang yang dituduh berhak dibantu oleh pembela untuk mempertahankan dirinya.
g.      Staatblad Tahun 1944 Nomor 44 tentang Het Herziene Inlandsch Reglement atau RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaharui), menurut Pasal 123 dimungkinkan kepada pihak yang berperkara untuk diwakili oleh orang lain.
Berbagai ketentuan hukum diatas mendasari profesi advokat pada masa pra kemerdekaan, meski masih mengutamakan advokat Belanda. Akan tetapi berbagai pengaturan itu sedikitnya telah mendasari perkembangan advokat Indonesia pada masa selanjutnya.                                             
Advokat Sejak Masa Kemerdekaan
Perkembangan pengaturan profesi advokat di Indonesia dilanjutkan pada masa pendudukan Jepang. Pemerintah kolonial Jepang tidak melakukan perubahan yang berarti mengenai profesi ini. Hal ini terbukti pada UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Wetboek van strafrecht voor Nederlands Indie tetapi digunakan istilah KUH Pidana. UU ini memuat pengaturan tentang kedudukan advokat dan procureur dan orang-orang yang memberikan bantuan hukum.
Pengaturan profesi advokat secara sporadis tersebar dalam berbagai ketentuan perundang-undangan termasuk didalamnya ketentuan pada masa kolonial Belanda. Bahkan pengaturan profesi advokat sejak proklamasi 17 Agustus 1945 justru kurang mendapat perhatian. Hal ini ditunjukkan dengan tidak ditemukannya istilah advokat atau istilah lain yang sepadan dimasukkan dalam UUD 1945. Demikian pula pada UUD RIS 1949 yang digantikan dengan UUDS 1950.[2]
Sehingga ironi dalam pembangunan hukum di Indonesia, tidak mengatur secara khusus profesi advokat sebagaimana profesi hukum lainnya, padahal profesi ini sebagai salah satu unsur penegak hukum. Akibatnya menimbulkan berbagai keprihatinan dan kesimpangsiuran menyangkut profesi tersebut. Seirama dengan merosotnya wibawa hukum (authority of law) dan supremasi hukum (supremacy of law), maka profesi hukum ini juga terbawa arus kemerosotan.
Meskipun demikian secara implisit, terdapat beberapa ketentuan yang mengisyaratkan pengakuan terhadap profesi ini, antara lain sebagai berikut :
a.      UU Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan untuk Jawa dan Madura, dalam Pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa peminta atau wakil dalam arti orang yang diberi kuasa untuk itu yaitu pembela atau penasehat hukum.
b.      UU Nomor 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung dalam Pasal 42 memberikan istilah pemberi bantuan hukum dengan kata PEMBELA.
c.      UU Drt. Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara Penyelenggaraan Kekuasaan dan Acara Pengadilan sipil, memuat ketentuan tentang bantuan hukum bagi tersangka atapun terdakwa.
d.      UU Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diganti dengan UU Nomor 14 Tahun 1970, menyatakan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
e.      UU Nomor 13 Tahun 1965 tentang Mahkamah Agung, diganti dengan UU Nomor 14 Tahun 1985, pada Pasal 54 bahwa penasehat hukum adalah mereka yang melakukan kegiatan memberikan nasehat hukum yang berhubungan suatu proses di muka pengadilan.
f.        UU Nomor 1 Tahun 1981 tentang KUHAP, dalam Pasal 54 s/d 57 dan 69 s/d 74 mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan penasehat hukum dan tata cara penasehat hukum berhubungan dengan tersangka dan terdakwa.
g.      UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, mengakui keberadaan penasehat hukum dalam memberi bantuan hukum kepada tersangka atau terdakwa.
h.      Surat Edaran dan Surat Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman, dan sebagainya.
Bahkan sebenarnya Pasal 38 UU Nomor 14 Tahun 1970[3], telah mengisyaratkan perlunya pengaturan profesi advokat dalam UU tersendiri. Namun hal itupun tidak menjadi perhatian pemerintah hingga akhirnya tuntutan pengaturan tersebut semakin besar di kalangan organisasi advokat. Setelah 33tahun, barulah perjuangan itu berhasil melalui UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Berbagai argumentasi yang melatarbelakangi lambatnya respon pemerintah terhadap pengaturan profesi advokat ini. Diantaranya terkait dengan tipe kepemimpinan pemerintahan pada masa itu. Misalnya pemerintahan Bung Karno pada masa orde lama, pernah berkata kepada Mr. Sartono yang menjadi pembelanya di landraad Bandung 1930, berikut petikannya :
Mr. Sartono, aku pujikan segala usaha-usaha kamu, para advokat selalu berpegang teguh kepada UU. Mereka lebih kuat menganut cara menembus UU, suatu revolusi menolak UU yang berlaku hari ini dan maju diatas basis meninggalkan UU itu. Karena sulit untuk melancarkan suatu revolusi beserta kaum advokat dan pengacara. Adalah juga sulit untuk membangun pertahanan suatu revolusi dengan para advokat dan pengacara. Yang kami harapkan adalah luapan semangat peri kemanusiaan. Inilah yang akan kukerjakan”.
Demikian pula pada pemerintahan orde baru, campur tangan pemerintah dalam pembentukan dan perpecahan organisasi advokat telah menyebabkan tingkah laku, praktek dan sepak terjang pada advokat menjadi tidak terkontrol lagi oleh organisasi profesi yang seharusnya ketat memberlakukan Kode Etik Profesi Advokat dan mengawasi praktek profesi advokat.
Sejak lahirnya UU Advokat, profesi advokat mendapat pengakuan sehingga setara dengan penegak hukum lainnya dalam prakteknya. Pengaturan ini juga berimplikasi pada rekturtmen advokat secara sistematis sehingga diharapkan para advokat nantinya dapat melaksanakan amanat profesi ini sebagai profesi yang mulia (officium nobile).

Bagikan Artikel Ini :

0 comments:

Post a Comment