Best Blogger Tips

Thursday 3 December 2015

Memahami Depresiasi Rupiah




Fenomena nilai tukar rupiah yang telah menyentuh Rp14.326/US$ (14/9/2015) telah menarik perhatian banyak pihak pada beberapa bulan terakhir. Bukan tidak mungkin, ketika tulisan ini dimuat atau pada hari-hari selanjutnya, Rupiah akan menembus hingga Rp 15.000/US$. Umumnya setiap negara menginginkan nilai mata uangnya stabil terhadap mata uang negara lain, tak terkecuali Indonesia.

Namun, kestabilan tersebut bukanlah hal yang mudah tercapai karena sangat bergantung oleh banyak faktor, bukan hanya kondisi dan kebijakan perekonomian Indonesia, tetapi juga kondisi perekonomian negara lain, serta faktor-faktor non ekonomi seperti keamanan dan kestabilan politik.
Pada dasarnya nilai mata uang dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan. Dalam ekonomi terdapat istilah apresiasi dan depresiasi. Apresiasi adalah menguatnya nilai mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain, sedangkan depresiasi adalah melemahnya nilai mata uang suatu negara terhadap negara lain, dimana keduanya sangat ditentukan oleh mekanisme pasar. Terdepresiasinya rupiah terhadap dollar AS memang patut diwaspadai, terutama dari angka besarnya pelemahan nilai tukar rupiah dan jangka waktu pelemahan. Mengacu pada setahun terakhir, pada September 2014 nilai tukar rupiah terhadap dollar AS adalah sebesar 12.188/US$ lalu meningkat hingga Rp14.326/US$ pada september tahun ini yang juga memecahkan rekor sebagai rekor terlemah nilai tukar rupiah pasca krisis moneter 1998.
Penyebab
Beragam pendapat terhadap fenomena ini terus mengucur deras dari para ekonom, baik yang berada di dalam maupun luar pemerintahan.  Seorang ekonom AS yang juga mantan Gubernur Federal Reserve, Alan Greenspan, berpendapat bahwa kondisi perekonomian saat ini lebih banyak digerakkan oleh "animal spirit" ketimbang rasio. Adapun sisi "kehewanan" manusia itu adalah greed (keserakahan) dan fear (ketakutan). Apabila dianalisa lebih dalam dari sisi greed adalah banyaknya pengusaha Indonesia yang memegang dollar, khususnya pengusaha yang berorientasi ekspor seperti batubara dan CPO, karena nilai tukar dollar yang tengah menguat terhadap rupiah maka mereka enggan melepaskan kepemilikan dollarnya. Kondisi ini diperparah dengan aksi borong dollar yang dilakukan spekulan asing,contoh sepelenya saja ketika akan berlibur ke luar negri money charger selalu disesaki dengan permintaan terhadap dollar,karena memang dollar lebih mudah ditemukan di luar negri daripada rupiah, bahkan ISIS pun konon juga membayar tentaranya dengan dollar. Adapun dari sisi fear, seperti yang diungkap Standard & Poor (S&P) adalah soal arus modal atau dana asing yang ada di Indonesia. S&P menyebut Indonesia sangat rentan dengan arus modal masuk dan arus modal keluar apalagi ditengah sentimen negatif pasar terhadap kondisi fiskal Indonesia. Bukti terbaru adalah cadangan devisa Indonesia anjlok hampir 7% dalam lima bulan belakang.
Masih ada beberapa faktor lain yang ikut mengambil andil dari fenomena ini, seperti menguatnya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat tetapi terjadi pelambatan pertumbuhan ekonomi global, sehingga mengakibatkan investor dunia mencari tempat yang aman untuk investasi mereka lalu memicu aliran dana ke aset-aset dalam dollar AS. Disisi lain produk impor yang tinggi sedangkan jumlah ekspor yang rendah juga menjadi salah satu faktor yang ikut berperan. Situasi ini semakin runyam dengan kebijakan beberapa negara seperti China yang sengaja menurunkan nilai tukar mata uangnya (devaluasi mata uang) untuk menggenjot ekspor.
Terdepresiasinya rupiah tentu membawa beberapa dampak, baik positif maupun negatif. Beberapa diantaranya yang paling dirasakan adalah pertama, hutang-hutang yang dilakukan oleh negara maupun swasta dalam bentuk dollar AS akan membengkak karena pengembaliannya pun harus dilakukan dengan mata uang yang sama, walaupun nilai rupiah saat pengembalian hutang berbeda dengan saat pemberian hutang.Kedua, harga barang impor yang naik akan memukul industri yang berbahan baku impor seperti tempe dan tahu. Ketiga, nilai gaji yang dibayar dengan dollar AS akan naik, sehingga bagi beberapa kalangan seperti TKI mampu sedikit meningkatkan kesejahteraannya. Keempat, harga barang impor yang naik akan memaksa konsumen untuk menggunakan produk lokal yang lebih murah termasuk mendorong peningkatan pariwisata dalam negri.
Bayang-Bayang Krisis Moneter 1998
Sempat muncul isu bahwa fenomena perekonomian global saat ini dapat membawa Indonesia kembali bertemu mimpi buruk krisis moneter 1998. Namun, sungguh naif ketika mengukur terjadinya krisis hanya dari depresiasi rupiah karena ada banyak faktor penyebab krisis moneter seperti pertumbuhan perekonomian anjlok, inflasi tidak terkendali, harga mata uang jatuh, serta terjadi kekacauan politik hukum dan keamanan. Sedangkan kondisi Indonesia pertumbuhan ekonomi tetap berjalan meskipun melambat, dan dari sisi politik masih terbilang stabil apabila dibandingkan dengan beberapa negara Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia, Thailand, dan Myanmar. Berikut sejumlah indikator ekonomi saat ini, tahun 1998, dan 2008 seperti dikutip dari harian Kompas.
Indikator

1998

2008

2015

Pertumbuhan ekonomi YoY  (persen)

-13,1

4,12

4,67

Inflasi (persen)

82,4

12,14

7,26

Cadangan Devisa (miliar dollar AS)

17,4

50,2

107,6

Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS (Rp)

16.650

12.650

14.123

Depresiasi rupiah posisi terendah (persen)

197

34,86

14,03


256

1111

4237

Kredit bermasalah/NPL (persen)

20

3,8

2,6

Suku bunga acuan BI (persen)

60

9,50

7,50

Rasio utang pemerintah terhadap PDB (persen)

100

27,40

24,70

Total utang luar negeri (miliar dollar AS)

150,8

155,08

304,3

Rasio utang luar negeri terhadap cadev (kali)

8,6

3,1

2,8


Menanggapi fenomena tersebut pemerintah meluncurkan paket deregulasi kebijakan ekonomi sebagai respon terhadap depresiasi rupiah. Paket tersebut berisi formula  untuk mendorong pertumbuhan industri, mempercepat proyek strategis, dan menjaga daya beli masyarakat. Beberapa kalangan memang berpendapat bahwa paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah sudah terlambat pasalnya nilai tukar rupiah sudah terlanjur tertekan dalam oleh dollar. Namun, bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Hal yang paling tepat dilakukan saat ini adalah bagaimana pengawalan atas kebijakan tersebut khususnya realisasinya di lapangan.

tulisan ini telah dimuat di buletin replik LPM Gema Keadilan edisi September 2015
Bagikan Artikel Ini :

0 comments:

Post a Comment