Namun, kestabilan tersebut bukanlah hal yang mudah tercapai karena sangat bergantung oleh banyak faktor, bukan hanya kondisi dan kebijakan perekonomian Indonesia, tetapi juga kondisi perekonomian negara lain, serta faktor-faktor non ekonomi seperti keamanan dan kestabilan politik.
Pada
dasarnya nilai mata uang dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan. Dalam
ekonomi terdapat istilah apresiasi dan depresiasi. Apresiasi adalah menguatnya
nilai mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain, sedangkan
depresiasi adalah melemahnya nilai mata uang suatu negara terhadap negara lain,
dimana keduanya sangat ditentukan oleh mekanisme pasar. Terdepresiasinya rupiah
terhadap dollar AS memang patut diwaspadai, terutama dari angka besarnya
pelemahan nilai tukar rupiah dan jangka waktu pelemahan. Mengacu pada setahun
terakhir, pada September 2014 nilai tukar rupiah terhadap dollar AS adalah
sebesar 12.188/US$ lalu meningkat hingga Rp14.326/US$ pada september tahun ini
yang juga memecahkan rekor sebagai rekor terlemah nilai tukar rupiah pasca
krisis moneter 1998.
Penyebab
Beragam
pendapat terhadap fenomena ini terus mengucur deras dari para ekonom, baik yang
berada di dalam maupun luar pemerintahan.
Seorang ekonom AS yang juga mantan Gubernur Federal Reserve, Alan
Greenspan, berpendapat bahwa kondisi perekonomian saat ini lebih banyak
digerakkan oleh "animal spirit" ketimbang rasio. Adapun sisi
"kehewanan" manusia itu adalah greed (keserakahan) dan fear
(ketakutan). Apabila dianalisa lebih dalam dari sisi greed adalah banyaknya
pengusaha Indonesia yang memegang dollar, khususnya pengusaha yang berorientasi
ekspor seperti batubara dan CPO, karena nilai tukar dollar yang tengah menguat
terhadap rupiah maka mereka enggan melepaskan kepemilikan dollarnya. Kondisi
ini diperparah dengan aksi borong dollar yang dilakukan spekulan asing,contoh
sepelenya saja ketika akan berlibur ke luar negri money charger selalu disesaki
dengan permintaan terhadap dollar,karena memang dollar lebih mudah ditemukan di
luar negri daripada rupiah, bahkan ISIS pun konon juga membayar tentaranya
dengan dollar. Adapun dari sisi fear,
seperti yang diungkap Standard & Poor (S&P) adalah soal arus modal atau
dana asing yang ada di Indonesia. S&P menyebut Indonesia sangat rentan
dengan arus modal masuk dan arus modal keluar apalagi ditengah sentimen negatif
pasar terhadap kondisi fiskal Indonesia. Bukti terbaru adalah cadangan devisa Indonesia
anjlok hampir 7% dalam lima bulan belakang.
Masih
ada beberapa faktor lain yang ikut mengambil andil dari fenomena ini, seperti
menguatnya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat tetapi terjadi pelambatan pertumbuhan
ekonomi global, sehingga mengakibatkan investor dunia mencari tempat yang aman
untuk investasi mereka lalu memicu aliran dana ke aset-aset dalam dollar AS. Disisi
lain produk impor yang tinggi sedangkan jumlah ekspor yang rendah juga menjadi
salah satu faktor yang ikut berperan. Situasi ini semakin runyam dengan kebijakan
beberapa negara seperti China yang sengaja menurunkan nilai tukar mata uangnya (devaluasi
mata uang) untuk menggenjot ekspor.
Terdepresiasinya
rupiah tentu membawa beberapa dampak, baik positif maupun negatif. Beberapa
diantaranya yang paling dirasakan adalah pertama,
hutang-hutang yang dilakukan oleh
negara maupun swasta dalam bentuk dollar AS akan membengkak karena pengembaliannya
pun harus dilakukan dengan mata uang yang sama, walaupun nilai rupiah saat
pengembalian hutang berbeda dengan saat pemberian hutang.Kedua, harga barang impor yang naik akan memukul industri yang
berbahan baku impor seperti tempe dan tahu. Ketiga,
nilai gaji yang dibayar dengan dollar AS akan naik, sehingga bagi beberapa
kalangan seperti TKI mampu sedikit meningkatkan kesejahteraannya. Keempat, harga barang impor yang naik
akan memaksa konsumen untuk menggunakan produk lokal yang lebih murah termasuk
mendorong peningkatan pariwisata dalam negri.
Bayang-Bayang
Krisis Moneter 1998
Sempat
muncul isu bahwa fenomena perekonomian global saat ini dapat membawa Indonesia
kembali bertemu mimpi buruk krisis moneter 1998. Namun, sungguh naif ketika
mengukur terjadinya krisis hanya dari depresiasi rupiah karena ada banyak
faktor penyebab krisis moneter seperti pertumbuhan perekonomian anjlok, inflasi
tidak terkendali, harga mata uang jatuh, serta terjadi kekacauan politik hukum
dan keamanan. Sedangkan kondisi Indonesia pertumbuhan ekonomi tetap berjalan
meskipun melambat, dan dari sisi politik masih terbilang stabil apabila
dibandingkan dengan beberapa negara Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia,
Thailand, dan Myanmar. Berikut
sejumlah indikator ekonomi saat ini, tahun 1998, dan 2008 seperti dikutip dari harian
Kompas.
Indikator
|
1998
|
2008
|
2015
|
||||
Pertumbuhan
ekonomi YoY (persen)
|
-13,1
|
4,12
|
4,67
|
||||
Inflasi
(persen)
|
82,4
|
12,14
|
7,26
|
||||
Cadangan
Devisa (miliar dollar AS)
|
17,4
|
50,2
|
107,6
|
||||
16.650
|
12.650
|
14.123
|
|||||
197
|
34,86
|
14,03
|
|||||
256
|
1111
|
4237
|
|||||
Kredit
bermasalah/NPL (persen)
|
20
|
3,8
|
2,6
|
||||
Suku
bunga acuan BI (persen)
|
60
|
9,50
|
7,50
|
||||
Rasio
utang pemerintah terhadap PDB (persen)
|
100
|
27,40
|
24,70
|
||||
Total
utang luar negeri (miliar dollar AS)
|
150,8
|
155,08
|
304,3
|
||||
Rasio
utang luar negeri terhadap cadev (kali)
|
8,6
|
3,1
|
2,8
|
Menanggapi
fenomena tersebut pemerintah meluncurkan paket deregulasi kebijakan ekonomi
sebagai respon terhadap depresiasi rupiah. Paket tersebut berisi formula
untuk mendorong pertumbuhan industri, mempercepat proyek strategis, dan menjaga
daya beli masyarakat. Beberapa kalangan memang berpendapat bahwa
paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah sudah terlambat
pasalnya nilai tukar rupiah
sudah terlanjur tertekan dalam oleh dollar. Namun, bukankah lebih baik
terlambat daripada tidak sama sekali. Hal yang paling tepat dilakukan saat ini
adalah bagaimana pengawalan atas kebijakan tersebut khususnya realisasinya di
lapangan.
tulisan ini telah dimuat di buletin replik LPM Gema Keadilan edisi September 2015
tulisan ini telah dimuat di buletin replik LPM Gema Keadilan edisi September 2015
0 comments:
Post a Comment