Oleh:
Pebri Tuwanto
Diskursus
seputar kebebasan berbicara/ freedom of
speech sepertinya memang tidak akan pernah ada habisnya. Topik ini menjadi
lebih menarik terlebih ketika coba mengkaitkan antara kebebasan berbicara dan kebebasan pers terhadap batasannya. Beberapa
kalangan sepakat bahwa pers yang bermutu adalah indikator negara maju.
Hal ini
tentu tidak bisa seutuhnya diamini, karena kemajuan suatu negara ditentukan
oleh banyak faktor mulai dari kesejahteraan masyarakatnya, tingkat pendidikan,
pertumbuhan ekonomi, hingga pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi.
Namun, disini pers yang bermutu adalah suatu condotio sine qua non yang mampu mendorong terwujudnya kemajuan bagi
faktor-faktor tersebut. Tulisan ini akan memaparkan sekelumit sejarah dari
kebebasan berpendapat dan kebebasan pers untuk selanjutnya ditarik sebuah
benang merah diantara keduanya sehingga dapat diketahui esensi dan batasan dari
kebebasan pers itu sendiri.
Pertautan antara Kebebasan
Berpendapat dan Kebebasan Pers
Tidak
lengkap rasanya ketika kita berbicara mengenai kebebasan berbicara tetapi tidak
membahas sekelumit catatan sejarah yang menyelimutinya. Penulis percaya bahwa kebebasan
berfikir dan berbicara yang saat ini kita nikmati tidak dapat dilepaskan dari
dinamika perkembangan kebebasan yang berjalan di masa lampau. Kisah Socrates
bersama dengan mimbar bebasnya tentunya adalah satu dari sekian banyak hal yang
menarik untuk ditelisik sejenak. Socrates, yang konon memilih untuk meminum
racun sebagai hukuman matinya meyakini bahwa kebebasan berbicara tidak dapat
dihukum. Seseorang bisa saja berfikir salah tetapi ia tidak selayaknya
dipersalahkan karena berfikir. Pemikiran-pemikirannya pun mulai dituangkan
dalam bentuk tulisan dalam karya-karya yang dibuat oleh muridnya Plato. Seiring
berjalannya waktu kebebasan berfikir dan berbicara ini mulai memperoleh
legalitasnya dengan dituangkan dalam norma-norma hukum positif seperti dalam
Magna Charta, Bill of Rights, hingga Universal Declaration of Human Rights.
Disisi
lain, sebelum melangkah lebih jauh, perkembangan pers dunia yang berjalan juga
patut untuk dipahami. Pada mulanya pers berkembang di era Romawi Kuno, dimana
Julius Caesar menerbitkan “Acta Diurna”
atau semacam majalah dinding yang berisi pengumuman-pengumuman terkait hasil
rapat. Lalu berkembang surat kabar dan
majalah publik pertama di Eropa Barat, Inggris, dan Amerika Serikat pada abad
XVII - XVIII. Sebenarnya pada era ini jurnalisme lebih merupakan alat
politik ketimbang sebuah profesi. Pada era ini juga perkembangan jurnalisme
mulai diwarnai perjuangan panjang kebebasan pers antara wartawan dan penguasa.
Hingga pada pertengahan abad XVIII ketika terjadi Revolusi Prancis (1789–1799) yang merupakan tonggak masuknya era
demokrasi kebebasan berpendapat dalam pers mulai menjadi perhatian banyak
negara. Hal ini bisa disimak dengan Amerika Serikat dan Swedia yang mengesahkan
UU Kebebasan Pers yang pertama di dunia.
Perlu
digaris bawahi disini bahwa titik taut antara kebebasan berbicara dengan pers
sangat erat kaitannya terhadap dinamika politik masa lalu khususnya revolusi
prancis. Hal ini karena pergolakan
politik yang terjadi di Prancis saat itu telah membawa dampak abadi ke seluruh
dunia dengan munculnya prinsip-prinsip liberte,
egalite, dan fraternite (kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan.
Prinsip-prinsip tersebut terus berkembang hingga memberi dampak politik,
sosial, dan ekonomi bukan hanya bagi Prancis tetapi menyebar hingga ke
negara-negara Eropa lainnya. Gagasan filosofis akan pentingnya kebebasan
berbicara pun terjembatani secara gamblang dalam revolusi prancis yang menuntut
akan adanya kebebasan (liberte) dalam suatu sistem pemerintahan yang disebut demokrasi.
Pada akhirnya seiring berjalannya waktu dari era Perang Dunia I-II hingga
Perang Dingin usai, paham demokrasi telah menyebar hampir keseluruh penjuru
dunia. Lalu memasuki era globalisasi yang disokong oleh ideologi liberal
membuat semakin banyak kepercayaan bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan
yang terbaik. Liberalisasi membawa nilai-nilai kebebasan yang dianggap baik
karena akan memberikan kebebasan kepada siapapun untuk memberikan aspirasinya
termasuk dalam perumusan kebijakan-kebijakan negara. Pada akhirnya dapat
digaris bawahi bahwa globalisasi mendorong tersebarnya sistem pemerintahan
demokrasi, lalu suatu negara demokratis dituntut untuk memberikan jaminan akan
kebebasan berpendapat, termasuk didalamnya adalah kebebasan pers.
Essensi dan Batasan dari Kebebasan Pers
Kebebasan
berbicara dapat dipahami sebagai hak yang dimiliki oleh setiap individu untuk mengeluarkan pikiran atau
gagasan secara bebas dan bertanggung jawab. Berawal dari kebebasan berbicara ini
maka seiring berjalannya waktu diperlukan suatu wadah penyebaran informasi
secara masal sehingga lahirlah media massa. Berdasarkan tautan sejarahnya konteks
kebebasan berbicara dapat di breakdown kedalam kebebasan pers. Pers
mengemban fungsi untuk melaporkan (to inform), menghibur (to
entertain), mendidik (to educate), dan memengaruhi (to
influence). Lebih
dari itu pers juga memegang peran untuk menyampaikan pendapat dari mereka yang
tidak dapat bersuara (voice of the
voiceless), misalnya saja orang-orang miskin yang terpinggirkan atau
mendapat perlakuan tidak adil dari penguasa.
Dalam dunia modern, pers yang sehat haruslah bebas dari intimidasi,
tekanan, dan pembatasan dari penguasa atau pemerintah. Hal ini dikarenakan pers
haruslah memberitakan secara objektif dan berimbang. Ketika dia berada dibawah
bayang-bayang penguasa, maka kemungkinan besar produk yang disajikannya adalah
selera dari penguasa tersebut. Demi terpenuhinya fungsi tersebut
secara optimal pers
tentu perlu diberi jaminan, yakni dengan adanya kebebasan pers. Tidak mudah
memang menarik esensi dari sebuah kebebasan pers karena ada berbagai
interpretasi dengan dasar filosofisnya masing-masing. Yang dapat dipahami
adalah esensi dari kebebasan itu lahir karena fungsi pers itu sendiri, pers
tidak akan mampu berfungsi optimal ketika kebebasan itu sendiri dikekang. Oleh
karena itu kebebasan pers pada hakikatnya hadir karena tuntutan zaman terhadap
pers dalam melaksanakan fungsinya.
Meskipun prinsip-prinsip kebebasan pers sudah menjadi bagian
dari HAM yakni tentang kebebasan berkekspresi (Pasal 19 Universal Declaration of Human Rights) dan menjadi suatu hal yang
harus ada dalam suatu negara demokrasi, bukan berarti kebebasan itu
sebebas-bebasnya tanpa batas. Pasal 19 ayat (3) International Convenan on Civil and Political Rights (ICCPR), menyatakan
“
… tunduk pada pembatasan tertentu, namun itu hanya boleh dilakukan atas dasar
hukum dan seperlunya: … untuk melindungi keamanan nasional atau ketertiban
umum, atau kesehatan publik atau moral.” Dari pasal tersebut dapat dipahami
bahwa kebebasan berekspresi dapat dikenai pembatasan tertentu demi melindungi keamanan
nasional, ketertiban umum, kesehatan, atau moral umum. Namun, dalam setiap pembatasan hak atas kebebasan
berekspresi harus memenuhi “tes tiga tahap (three-part
test)”.
Pertama, pembatasan harus diatur dalam undang-undang. Harus
terdapat undang-undang yang diformulasikan dengan presisi yang cukup untuk
memungkinkan individu untuk meregulasi perilakunya sesuai dengan undang-undang
tersebut. Kedua, pembatasan harus
memiliki tujuan yang sah, sebagaimana berulangkali dinyatakan dalam Pasal 19(3)
(a) dan (b) ICCPR. Ketiga, pembatasan harus diperlukan dan proporsional dalam
masyarakat demokratis. Pembatasan harus didasarkan pada kebutuhan sosial yang
mendesak, dan jika terdapat cara lain yang lebih lunak untuk mencapai tujuan
yang sama, maka cara yang lebih lunak tersebut yang harus diterapkan. Oleh
karena itu, tidak heran dalam UU No. 40 tentang Pers itu sendiri menyatakan
bahwa kemerdekaan pers sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat
yangberasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasihukum (Bab II
pasal 2). Sehingga dapat dibaca dengan lugas bahwa pembatasan atas kebebasan
pers dibatasi oleh prinsip-prinsip tersebut.
Pers modern dengan kebebasan pers yang
telah dijamin dalam berbagai instrumen hukum internasional atau internasional
tentu diharapkan mampu menyajikan berita atau informasi yang objektif. Namun,
pertanyaan yang muncul adalah apakah kriteria obyektivitas dapat membantu masyarakat
mencapai suatu kebenaran, sementara kebenaran yang hakiki sulit dicapai. Kebenaran
yang terjadi saat ini belum tentu adalah kebenaran di masa yang akan datang,
begitu juga suatu hal yang saat ini dipandang salah belum tentu juga tetap akan
menjadi kesalahan di masa yang akan datang. Jawabannya disini adalah kebenaran
yang ada dalam dunia pers sendiri perlu dipahami bukanlah kebenaran yang
hakiki, kebenaran dalam pers adalah “kebenaran faktual”. Kebenaran faktual
adalah kebenaran yang ada berdasarkan fakta yang ada pada saat berita tersebut
dimuat, dimana tidak menutup kemungkinan seiring berjalannya waktu kebenaran
tersebut dapat berubah, bahkan menjadi kesalahan. Hal ini berbeda dengan
kebenaran hukum yang dipahami sebagai kebenaran berdasarkan fakta-fakta yang
muncul saat persidangan. Contoh kebenaran faktual adalah ketika terjadi bencana
alam tanah longsor di suatu tempat, hari pertama terdapat 5 korban jiwa, hari
berikutnya meningkat menjadi 10 korban jiwa, hingga tujuh hari pasca bencana
jumlah korban meningkat menjadi 30 korban jiwa. Sehingga kebenaran itu akan selalu
berubah-ubah sesuai dengan keadaan saat berita tersebut dipublikasikan. Ketika
terjadi hal saat ini maka keobjektifan dari suatu berita harus dikembalikan
lagi ke prinsip-prinsip cover booth side,
melalui jalan verifikasi dan konfirmasi.
Dari paparan tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa kebebasan berpendapat yang menjadi tuntutan dalam revolusi
prancis telah mendorong lahirnya kebebasan pers. Meluasnya sistem demokrasi
pasca revolusi Prancis yang diikuti dengan tuntutan atas HAM di era global
telah mempermudah jalan lahirnya kebebasan pers ke berbagai penjuru dunia. Yang
perlu digaris bawahi disini, kebebasan yang ada dalam pers meskipun termasuk
dalam HAM tidak sepenuhnya bebas tanpa batasan. Terdapat kententuan-ketentuan
restriksi atas kebebasan pers yang sah menurut hukum. Di sisi lain dengan
kebebasan yang dimilikinya pers dituntut untuk memenuhi fungsinya dengan
optimal, termasuk sifat pemberitaan yang objektif. Sifat ini apabila ditilik
realitanya di lapangan memang tidak selalu objektif karena sifat dari kebenaran
pers itu sendiri yang sifatnya adalah kebenaran faktual , bukan kebenaran
hakiki atau kebenaran hukum yang ada dalam persidangan.
Artikel
ini sebelumnya telah dimuat dalam Buku Freedom of Speech, Kompilasi Tulisan
Mahasiswa FH Undip 2015
Daftar
Pustaka
Samekto, FX
Adji,“Meningkatkan Relevansi Studi Hukum
Internasional dalam Tatanan Sosial yang Berubah” (Makalah diajukan pada
pertemuan Asosiasi Pengajar Hukum Internasional, Purwokerto, 16-17 Maret 2005)
Tuwanto, Pebri “Fenomena Globalisasi dan Implikasi Hukum
yang Ditimbulkan di Indonesia” (makalah kapita selekta hukum internasional,
Semarang, 7 Juni 2015)
Victor Menayang, 12
Juni 2015, Melindungi Kepentingan Publik,
dapat diakses di http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=3059&coid=3&caid=22&gid=2, diakses
pada 20 November 2015 pukul 09:00 WIB
0 comments:
Post a Comment