Best Blogger Tips

Monday, 21 December 2015

Menakar Kebebasan dalam Pers




Oleh: Pebri Tuwanto

Diskursus seputar kebebasan berbicara/ freedom of speech sepertinya memang tidak akan pernah ada habisnya. Topik ini menjadi lebih menarik terlebih ketika coba mengkaitkan antara kebebasan berbicara dan  kebebasan pers terhadap batasannya. Beberapa kalangan sepakat bahwa pers yang bermutu adalah indikator negara maju.
Hal ini tentu tidak bisa seutuhnya diamini, karena kemajuan suatu negara ditentukan oleh banyak faktor mulai dari kesejahteraan masyarakatnya, tingkat pendidikan, pertumbuhan ekonomi, hingga pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi. Namun, disini pers yang bermutu adalah suatu condotio sine qua non yang mampu mendorong terwujudnya kemajuan bagi faktor-faktor tersebut. Tulisan ini akan memaparkan sekelumit sejarah dari kebebasan berpendapat dan kebebasan pers untuk selanjutnya ditarik sebuah benang merah diantara keduanya sehingga dapat diketahui esensi dan batasan dari kebebasan pers itu sendiri.
Pertautan antara Kebebasan Berpendapat dan Kebebasan Pers
Tidak lengkap rasanya ketika kita berbicara mengenai kebebasan berbicara tetapi tidak membahas sekelumit catatan sejarah yang menyelimutinya. Penulis percaya bahwa kebebasan berfikir dan berbicara yang saat ini kita nikmati tidak dapat dilepaskan dari dinamika perkembangan kebebasan yang berjalan di masa lampau. Kisah Socrates bersama dengan mimbar bebasnya tentunya adalah satu dari sekian banyak hal yang menarik untuk ditelisik sejenak. Socrates, yang konon memilih untuk meminum racun sebagai hukuman matinya meyakini bahwa kebebasan berbicara tidak dapat dihukum. Seseorang bisa saja berfikir salah tetapi ia tidak selayaknya dipersalahkan karena berfikir. Pemikiran-pemikirannya pun mulai dituangkan dalam bentuk tulisan dalam karya-karya yang dibuat oleh muridnya Plato. Seiring berjalannya waktu kebebasan berfikir dan berbicara ini mulai memperoleh legalitasnya dengan dituangkan dalam norma-norma hukum positif seperti dalam Magna Charta, Bill of Rights, hingga Universal Declaration of Human Rights.
Disisi lain, sebelum melangkah lebih jauh, perkembangan pers dunia yang berjalan juga patut untuk dipahami. Pada mulanya pers berkembang di era Romawi Kuno, dimana Julius Caesar menerbitkan “Acta Diurna” atau semacam majalah dinding yang berisi pengumuman-pengumuman terkait hasil rapat. Lalu berkembang surat kabar dan majalah publik pertama di Eropa Barat, Inggris, dan Amerika Serikat pada abad XVII - XVIII. Sebenarnya pada era ini jurnalisme lebih merupakan alat politik ketimbang sebuah profesi. Pada era ini juga perkembangan jurnalisme mulai diwarnai perjuangan panjang kebebasan pers antara wartawan dan penguasa. Hingga pada pertengahan abad XVIII ketika terjadi Revolusi Prancis (1789–1799) yang merupakan tonggak masuknya era demokrasi kebebasan berpendapat dalam pers mulai menjadi perhatian banyak negara. Hal ini bisa disimak dengan Amerika Serikat dan Swedia yang mengesahkan UU Kebebasan Pers yang pertama di dunia.
Perlu digaris bawahi disini bahwa titik taut antara kebebasan berbicara dengan pers sangat erat kaitannya terhadap dinamika politik masa lalu khususnya revolusi prancis.  Hal ini karena pergolakan politik yang terjadi di Prancis saat itu telah membawa dampak abadi ke seluruh dunia dengan munculnya prinsip-prinsip liberte, egalite, dan fraternite (kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan. Prinsip-prinsip tersebut terus berkembang hingga memberi dampak politik, sosial, dan ekonomi bukan hanya bagi Prancis tetapi menyebar hingga ke negara-negara Eropa lainnya. Gagasan filosofis akan pentingnya kebebasan berbicara pun terjembatani secara gamblang dalam revolusi prancis yang menuntut akan adanya kebebasan (liberte) dalam suatu sistem pemerintahan yang disebut demokrasi. Pada akhirnya seiring berjalannya waktu dari era Perang Dunia I-II hingga Perang Dingin usai, paham demokrasi telah menyebar hampir keseluruh penjuru dunia. Lalu memasuki era globalisasi yang disokong oleh ideologi liberal membuat semakin banyak kepercayaan bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang terbaik. Liberalisasi membawa nilai-nilai kebebasan yang dianggap baik karena akan memberikan kebebasan kepada siapapun untuk memberikan aspirasinya termasuk dalam perumusan kebijakan-kebijakan negara. Pada akhirnya dapat digaris bawahi bahwa globalisasi mendorong tersebarnya sistem pemerintahan demokrasi, lalu suatu negara demokratis dituntut untuk memberikan jaminan akan kebebasan berpendapat, termasuk didalamnya adalah kebebasan pers.
Essensi dan Batasan dari Kebebasan Pers
Kebebasan berbicara dapat dipahami sebagai hak yang dimiliki oleh setiap individu untuk mengeluarkan pikiran atau gagasan secara bebas dan bertanggung jawab. Berawal dari kebebasan berbicara ini maka seiring berjalannya waktu diperlukan suatu wadah penyebaran informasi secara masal sehingga lahirlah media massa. Berdasarkan tautan sejarahnya konteks kebebasan berbicara dapat di breakdown kedalam kebebasan pers. Pers mengemban fungsi untuk melaporkan (to inform), menghibur (to entertain), mendidik (to educate), dan memengaruhi (to influence). Lebih dari itu pers juga memegang peran untuk menyampaikan pendapat dari mereka yang tidak dapat bersuara (voice of the voiceless), misalnya saja orang-orang miskin yang terpinggirkan atau mendapat perlakuan tidak adil dari penguasa.  Dalam dunia modern, pers yang sehat haruslah bebas dari intimidasi, tekanan, dan pembatasan dari penguasa atau pemerintah. Hal ini dikarenakan pers haruslah memberitakan secara objektif dan berimbang. Ketika dia berada dibawah bayang-bayang penguasa, maka kemungkinan besar produk yang disajikannya adalah selera dari penguasa tersebut. Demi terpenuhinya fungsi tersebut secara optimal pers tentu perlu diberi jaminan, yakni dengan adanya kebebasan pers. Tidak mudah memang menarik esensi dari sebuah kebebasan pers karena ada berbagai interpretasi dengan dasar filosofisnya masing-masing. Yang dapat dipahami adalah esensi dari kebebasan itu lahir karena fungsi pers itu sendiri, pers tidak akan mampu berfungsi optimal ketika kebebasan itu sendiri dikekang. Oleh karena itu kebebasan pers pada hakikatnya hadir karena tuntutan zaman terhadap pers dalam melaksanakan fungsinya.
Meskipun prinsip-prinsip kebebasan pers sudah menjadi bagian dari HAM yakni tentang kebebasan berkekspresi (Pasal 19 Universal Declaration of Human Rights) dan menjadi suatu hal yang harus ada dalam suatu negara demokrasi, bukan berarti kebebasan itu sebebas-bebasnya tanpa batas. Pasal 19 ayat (3) International Convenan on Civil and Political Rights (ICCPR), menyatakan “ … tunduk pada pembatasan tertentu, namun itu hanya boleh dilakukan atas dasar hukum dan seperlunya: … untuk melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum, atau kesehatan publik atau moral.” Dari pasal tersebut dapat dipahami bahwa kebebasan berekspresi dapat dikenai pembatasan tertentu demi melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan, atau moral umum. Namun, dalam setiap pembatasan hak atas kebebasan berekspresi harus memenuhi “tes tiga tahap (three-part test)”.
Pertama, pembatasan harus diatur dalam undang-undang. Harus terdapat undang-undang yang diformulasikan dengan presisi yang cukup untuk memungkinkan individu untuk meregulasi perilakunya sesuai dengan undang-undang tersebut. Kedua,  pembatasan harus memiliki tujuan yang sah, sebagaimana berulangkali dinyatakan dalam Pasal 19(3) (a) dan (b) ICCPR. Ketiga, pembatasan harus diperlukan dan proporsional dalam masyarakat demokratis. Pembatasan harus didasarkan pada kebutuhan sosial yang mendesak, dan jika terdapat cara lain yang lebih lunak untuk mencapai tujuan yang sama, maka cara yang lebih lunak tersebut yang harus diterapkan. Oleh karena itu, tidak heran dalam UU No. 40 tentang Pers itu sendiri menyatakan bahwa kemerdekaan pers sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat yangberasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasihukum (Bab II pasal 2). Sehingga dapat dibaca dengan lugas bahwa pembatasan atas kebebasan pers dibatasi oleh prinsip-prinsip tersebut.
Pers modern dengan kebebasan pers yang telah dijamin dalam berbagai instrumen hukum internasional atau internasional tentu diharapkan mampu menyajikan berita atau informasi yang objektif. Namun, pertanyaan yang muncul adalah apakah kriteria obyektivitas dapat membantu masyarakat mencapai suatu kebenaran, sementara kebenaran yang hakiki sulit dicapai. Kebenaran yang terjadi saat ini belum tentu adalah kebenaran di masa yang akan datang, begitu juga suatu hal yang saat ini dipandang salah belum tentu juga tetap akan menjadi kesalahan di masa yang akan datang. Jawabannya disini adalah kebenaran yang ada dalam dunia pers sendiri perlu dipahami bukanlah kebenaran yang hakiki, kebenaran dalam pers adalah “kebenaran faktual”. Kebenaran faktual adalah kebenaran yang ada berdasarkan fakta yang ada pada saat berita tersebut dimuat, dimana tidak menutup kemungkinan seiring berjalannya waktu kebenaran tersebut dapat berubah, bahkan menjadi kesalahan. Hal ini berbeda dengan kebenaran hukum yang dipahami sebagai kebenaran berdasarkan fakta-fakta yang muncul saat persidangan. Contoh kebenaran faktual adalah ketika terjadi bencana alam tanah longsor di suatu tempat, hari pertama terdapat 5 korban jiwa, hari berikutnya meningkat menjadi 10 korban jiwa, hingga tujuh hari pasca bencana jumlah korban meningkat menjadi 30 korban jiwa. Sehingga kebenaran itu akan selalu berubah-ubah sesuai dengan keadaan saat berita tersebut dipublikasikan. Ketika terjadi hal saat ini maka keobjektifan dari suatu berita harus dikembalikan lagi ke prinsip-prinsip cover booth side, melalui jalan verifikasi dan konfirmasi.
            Dari paparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kebebasan berpendapat yang menjadi tuntutan dalam revolusi prancis telah mendorong lahirnya kebebasan pers. Meluasnya sistem demokrasi pasca revolusi Prancis yang diikuti dengan tuntutan atas HAM di era global telah mempermudah jalan lahirnya kebebasan pers ke berbagai penjuru dunia. Yang perlu digaris bawahi disini, kebebasan yang ada dalam pers meskipun termasuk dalam HAM tidak sepenuhnya bebas tanpa batasan. Terdapat kententuan-ketentuan restriksi atas kebebasan pers yang sah menurut hukum. Di sisi lain dengan kebebasan yang dimilikinya pers dituntut untuk memenuhi fungsinya dengan optimal, termasuk sifat pemberitaan yang objektif. Sifat ini apabila ditilik realitanya di lapangan memang tidak selalu objektif karena sifat dari kebenaran pers itu sendiri yang sifatnya adalah kebenaran faktual , bukan kebenaran hakiki atau kebenaran hukum yang ada dalam persidangan.

Artikel ini sebelumnya telah dimuat dalam Buku Freedom of Speech, Kompilasi Tulisan Mahasiswa FH Undip 2015


Daftar Pustaka

Samekto, FX Adji,“Meningkatkan Relevansi Studi Hukum Internasional dalam Tatanan Sosial yang Berubah” (Makalah diajukan pada pertemuan Asosiasi Pengajar Hukum Internasional, Purwokerto, 16-17 Maret 2005)

Tuwanto, Pebri “Fenomena Globalisasi dan Implikasi Hukum yang Ditimbulkan di Indonesia” (makalah kapita selekta hukum internasional, Semarang, 7 Juni 2015)

Victor Menayang, 12 Juni 2015, Melindungi Kepentingan Publik,  dapat diakses di http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=3059&coid=3&caid=22&gid=2, diakses pada 20 November 2015 pukul 09:00 WIB



Bagikan Artikel Ini :

0 comments:

Post a Comment