Best Blogger Tips

Thursday 29 October 2015

Hukum Lingkungan Internasional


Pada dasarnya hukum dan tatanan sosial adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, karena keduanya saling terintegrasi dan mempengaruhi satu sama lain. Kita bisa melihat juga dari pendapat Cicero “Ubi societas ibi ius” bahwasanya dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Mengingat dinamika sosial yang kian kompleks dari hari ke hari, hukum pun tidak bisa dilepaskan darinya. Hukum pun juga akan terus dinamis, mengatur kian kompleksnya tatanan sosial tadi, termasuk didalamnya adalah masalah lingkungan internasional.

Latar Belakang HLI
Menilik dinamika sosial yang berjalan, dapat ditarik sebuah konklusi sederhana mengenai latarbelakang munculnya hukum lingkungan internasional. Dari negara maju dilatarbelakangi oleh eksplotasi SDA dan Lingkungan yang berlebihan sebagai bahan konsumsi dan bisnis yang berlebihan tanpa memuat pertimbangan lingkungan. Hal ini bisa dilihat pada masa itu penggunaan energi dan teknologi tidak ramah lingkungan acap kali digunakan yang implikasinya ada pada lingkungan hidup. Sedangakn dari negara berkembang eksploitasi SDA terus dilakukan secara besar-besaran dilakukan demi kepentingan modernisasi, pembangunan, dan membayar hutang. Kegiatan-kegiatan baik yang dilakukan oleh negara maju maupun berkembang sama-sama membawa implikasi berupa kerusakan lingkungan dan berurangnya jumlah SDA yang tersedia.

Stockholm Confference
Atas dasar itulah maka negara-negara mulai terpanggil untuk duduk bersama membahas masalah lingkungan yang diwadai dalam forum internasional bernama Stockholm Confference 1972 tentang Human Environment.  Konferensi ini membahas keprihatinan terhadap masalah-masalah lingkungan yang dirasakan semakin problematis di berbagai belahan dunia serta kemiskinan dan keterbelakangan yang diderita oleh beberapa negara di dunia sehingga mempengaruhi lingkungan hidupnya. Konferensi Stockholm berhasil menyepakati suatu perjanjian yang tertuang dalam 26 prinsip pengelolaan lingkungan yang disebut sebagai Deklarasi Stockholm dan dihasilkan pula 109 rekomendasi sebagai bagian dari Action Plan. Perlu dipahami lebih dahulu bahawa hasil dari konferensi ini adalah sebuah “deklarasi” dimana negara-negara memberikan pernyataan secara sepihak atas isi kesepakatan, sedangkan implementasinya hanya berdasarkan kemauan dari negara tersebut karena sifatnya sndiri yang hanya morally binding.

Prinsip 1 Deklasri Stockholm
 Man is both creature and moulder of his environment, which gives him physical sustenance and affords him the opportunity for intellectual, moral, social and spiritual growth. In the long and tortuous evolution of the human race on this planet a stage has been reached when, through the rapid acceleration of science and technology, man has acquired the power to transform his environment in countless ways and on an unprecedented scale. Both aspects of man's environment, the natural and the man-made, are essential to his well-being and to the enjoyment of basic human rights the right to life itself.

Prinsip 2 Deklarasi Stockholm
The natural resources of the earth, including the air, water, land, flora and fauna, and especially representative samples of natural economic system, must be safeguarded for the benefit of present and future generations through careful planning or management, as apropriate
Namun, harus diakui bahwa deklarasi ini adalah salah satu progress terbesar terkait hukum lingkungan, karena untuk pertama kalinnya lingkungan hidup yang sehat dan layak menjadi hak fundamental manusia. Disamping itu dari prinsip dua juga manusia memiliki kewajiban untuk melindungi lingkungan demi kepentingan generasi yang akan datang.

Lahirnya konsep Sustainable DevelopmnetPasca Stockholm Cofference yang nyata-nyatanya tidak efektif untuk mencegah kerusakan alam yang terus menerus terjadi, maka dibentuklah WCED (World Comission on Environment Development) oleh PBB. Pada 1987 WCED mengeluarkan buku tentang hasil kajiannya yang berjudul “Our Common Future”. Disinilah rumusan konsep sustainable development mulai dikenal. Meskipun sebenarnya dari prinsip kedua deklarasi stockholm konsep sustainable development  sudah tersirat.
Secara sederhana pembangunan berkelanjutan/sustainable development dapat dipahami sebagai pembangunan yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Empat syarat mewujudkan Sustainable Development (Jacobs, 1996)
1.    Pemeliharaan Lingkungan
Pemeliharaan lingkungan dapat dipahami sebagai aktifitas untuk menjaga kondisi lingkungan agar tetap lestari. Dalam menjalankan pemeliharaan lingkungan ini diperlukan kerjasama antara berbagai sektor baik dari pemerintah, swasta, maupun masyarakat sipil. Lingkungan yang terpelihara dipercaya mampu mendorong terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan sehingga segala sumber daya alam yang ada tetap terjaga untuk generasi yang akan datang.
2.    Perwujudan Keadilan Sosial
Keadilan sosial berarti keadilan merupakan milik setiap individu yang ada di masyarakat. Keadilan sosial yaitu adil yang menyeluruh yang berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia. Tidak ada diskriminasi atau merugikan satu diantara banyak pihak yang terlibat. Dengan adanya keadilan maka akan mencegah adanya kecemburuan sosial, dimana kecemburuan sosial dapat membuat orang berlaku sewenang-wenang demi memperoleh apa yang ia yakini menjadi miliknya, termasuk penggunaan sumber daya alam secara tidak bijak.
3.    Demokratisasi
Proses demokrasi yang mengglobal dalam dasawarsa ini telah melahirkan berbagai gerakan untuk menjaga ingkungan. Dengan adanya demokrasi maka mekanisme check and balances dapat berjalan sehingga segala aktifitas pemanfaatan alam dapat dipantau oleh berbagai pihak
4.    Pemenuhan kebutuhan dasar
Salah satu hal pemanfaatan alam secara tidak lestari adalah karena kemiskinan yang masih ada. Globalisasi pada kenyataannya bukan hanya menciptakan pemenang tetapi juga meningkatkan kemiskinan yang ada di dunia. Kemiskinan akan membuat orang nekat untuk melakukan segala cara demi memenuhi kebutuhan dasanya, termasuk pemanfaatan alam dengan sewenang-wenang. Hal inilah yang terjadi di banyak negara dunia ketiga, alam dimanfaatkan semaksimal mungkin baik oleh masyarakat maupun negara tampa memperhatikan dampaknya.
 
Pendekatan dalam Studi Kasus Hukum Lingkungan InternasionalDalam hal terjadi kasus mengenai pencemaran lingkungan, terdapat dua pendekatan yang berkembang. Sebelum adanya deklarasi stockholm lebih menekankan pada bukti, atau biasa disebut dengan pendekatan aposteriori. Pasca lahirya deklrasai stockholm, maka hukum lingkungan internasional bukan hanya menekankan pada bukti, tetapi juga kajian ilmiah /scientific approach, dan prediksi di masa yang akan datang.
Mari kita lihat pada perbandingan kasus yang ada, yakni trial smelter case dan showamaru case
a.    Kasus Trial Smelter
Kasus ini adalah kasus pencemaran asap Sulfur Dioksida dari pabril peleburan/smleter di Kanada, tepatnya di Provinsi British Columbia yang berbatasan dengan Negara Bagian Washington, AS. Asap tersebut terbang terbawa angin dan mencemari lingkkungan AS. Lalu AS menuntut Inggris (Kanada saat itu berada di wilayah kekuasaan Inggris) agar bertanggung jawab atas asap tersebut.  Di dalam kasus ini pula muncul sebuah prinsip dalam hukum lingkungan internasional, yakni Good Neighbourlines Principle, yang kurang lebih dapat dimaknai bahwa setiap negara harus menjaga wilayahnya agar tidak digunakan sebagai tempat aktivitas yang merugikan negara lain.
Yang perlu digaris bawahi dalam kasus ini adalah Hukum Lingkungan Internasional berorientasi pada bukti melalui pendekatan konvensional/aposteriori dimana harus ada kejadian atau bukti terlebih dahulu.

b.    Kasus Showamaru
Kapal tanker Showa Maru,  yang membawa minyak mentah dari Teluk Persia menuju Jepang, kandas dan menumpahkan minyak di Selat Malaka pada Januari 1975. Kapal tanker berbobot mati 237.698 DWT itu menumpahkan minyak mentah sebanyak 7.300 ton menyebabkan pemerintah Indonesia membentuk 3 Satuan Tugas (Task Force) di bawah koordinasi tiga menteri, yaitu Menteri Perhubungan menangani segi teknis operasional, Menristek menangani urusan penelitian dan Menteri Kehakiman mempersiapkan perangkat hukum dan ganti ruginya.
Namun dari segi hukum, masalah Showa Maru saat itu justru menempatkan Indonesia pada posisi sangat lemah dan sulit dalam penyelesaian hukum dan tuntutan ganti rugi. Karena selain belum ada UU Nasional tentang Pencemaran Laut, juga karena konvensi-konvensi internasional yang ada seperti Konvensi Brussel tahun 1969 belum diratifikasi. Untuk mengatasinya, delegasi Indonesia berkonsultasi ke Malaysia, Singapura, Thailand dan Philipina. Namun upaya delegasi tidak berhasil karena penanggulangan hukum pencemaran laut di negara-negara tersebut juga masih pada tahap awal, kecuali Singapura karena sistem hukumnya menggunakan pola Konvensi London tahun 1954.  Peristiwa Showa Maru yang melemahkan posisi Indonesia, menurut Komar karena kriteria kerusakan, metode survai dan dasar hukum nasional maupun internasional kurang jelas. Maka klaim Indonesia atas kerusakan ekologi laut dalam jangka panjang tidak dapat diterima. Dalam hal ini, klaim tersebut berkaitan kerusakan mata rantai makanan (food chain)  akibat terganggunya ekosistem kelautan oleh tumpahan minyak.
Pada era pasca Deklarasi Stockholm ini, hukum lingkungan internasional mulai bertransformasi, dari yang berpendekatan konvensional dengan hanya menekankan pada bukti berkembang menjadi bukan hanya berorientasi pada bukti tetapi juga prediksi atau bisa disebut sebagai scientific approach.

KTT RIO 1992

Selanjutnya pada tahun 1980, berdasarkan keputusan sidang umum PPB pada Desember 1983 No. 38/161, dibentuk sebuah komisi dunia yang disebut World Commission on Environment and Development (WCED) yang berkedudukan di Jenewa. Tugas WCED ini pada dasarnya mengajukan strategi jangka panjang pengembangan lingkungan di tahun 2000 dan sesudahnya, mengajukan pola-pola supaya masalah lingkungan merupakan dasar kerjasama antar negara, dan mencari cara agar masyarakat dunia bersifat responsif secara efektif atas pengembangan berkelanjutan. Setelah Konferensi Stockholm 20 tahun selanjutnya, PBB menyelenggarakan kembali KTT di Rio de Jeneiro pada tanggal 3-4 Juni 1992. Konferensi ini dinamakan United Nations Conference on environment and Development (UNCED) yang biasa dikenal sebagai Earth Summit atau KTT Rio. KTT Rio menjawab kembali persoalan lingkungan, dimana setelah diselenggarakannya Konferensi Stockholm 1972 permasalah atas lingkungan semakin serius khususnya engan memuat prinsip-prinsip dasar pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan.

Hasil dari UNCED (United Nations Confference on Environment Development)
A.    Deklarasi Rio. Prinsip-prinsip Deklarasi Rio 1992

1.    Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan perlindungan lingkungan hidup harus menjadi bagian yang integral dari proses pembangunan dan tidak terpisah dari proses tersebut
2.    Isu-isu lingkungan harus ditangani dengan partisipasi dari rakyat dalam tiap tingkatannya
3.    Negara harus memfasilitasi dan mendorong adanya pembangunan yang berkelanjutan

B.    Agenda 21
Dokumen lain yang dilahirkan dari koferensi Rio adalah Agenda 21. Dokumen ini terbilang penting karena sifatnya yang komprehensif, yakni memadukan segala aspek dalam penegakan hukum lingkungan. Meskipun sifatnya hanya morally binding, dokumen ini memuat program dan strategi rinci untuk mendorong pembangunan berkelanjutan di seluruh dunia. Untuk menjaga pelaksanaanya UNCED  (united Nations Confference on Environment Development) membentuk CSD (Comission for Sustainable Development)

C.    CBD (Convention on Biological Diversity)
Pada intinya konvensi ini mengatur mengenai perlindungan terhadap keanekaragaman hayati yang ada. Setiap negara memiliki hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya hayatinya sesuai dengan kebijakan lingkungannya. KOnvensi ini bertujuan untuk mengatur pemanfaatan komponen-komponen alamnya secara berkelanjutan dan membagi keuntungan yang dihasilkan dari pemanfaatan sumber daya genetik secara adil dan merata.

D.    UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change)
UNFCCC memiliki tujuan yaitu untuk meningkatkan kerjasama secara berkesinambungan dengan mengadakan konferensi-konferensi yang dibuat melalui pertemuan atau forum-forum bilateral, regional dan multilateral seperti G8, G20, dan MEF (Major Economic Forum), dan juga dengan sejumlah organisasi LSM tingkat internasional, perwakilan-perwakilan antar negara dan organisasi kemasyaraktan dalam upaya mengatasi perubahan iklim.

Dalam praktiknya UNFCCC memiliki beberapa kekurangan sehingga dibentuklah protokol Kyoto. Isinya adalah dalam rangka mengurangi emisi karbon maka dibuatlah beberapa program yakni Joint Development, Clean Development Mechanism, dan Carbon tradding.
Setelah KTT Rio, pada tanggal 1-5 September 2002 berlangsung sebuah KTT di Johannesburg yang membahas mengenai pembangunan berkelanjutan atau World Summit on Sustainable Development (WSSD). KTT Johannesburg menegaskan kembali tentang pembangunan berkelanjutan sebagaimana yang telah dicetuskan pada KTT Rio 1992. KTT Johannesburg mengeluarkan Deklarasi Johannesburg mengenai pembangunan berkelanjutan antara lain berupa, tantangan yang dihadapi; komitmen terhadap pembanguunan berkelanjutan; pentinganya peranan lembaga-lembaga internasional dan multilateral yang efektif, demokratis, dan akuntabel; dan komitmen mewujudkan bersama pembangunan berkelanjutan (Siahaan, 2009: 20-28).
Protokol Kyoto berakhir pada tahun 2012, untuk menggantikannya maka dibentuklah REDD-Plus. REDD, atau Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Pengurangan emsisi dari deforestasi dan degradasi hutan) : Sebuah mekanisme untuk mengurangi emisi GRK dengan cara memberikan kompensasi kepada pihak pihak yang melakukan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan.

Efektifikas Hukum LingkunganMenurut Lawrence Meir Friedman berhasil atau tidaknya Penegakan hukum bergantung pada: Substansi Hukum, Struktur Hukum/Pranata Hukum dan Budaya Hukum. Pertama: Substansi Hukum. Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living l-aw), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books). Substansi hukum itu sendiri haruslah adil, konsisten, sinkron (terwujudnya sinkronisasi hukum), melindungi HAM, implementatif, dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara yuridis, filosofis, dan sosiologis.
Kedua, Struktur Hukum/Pranata Hukum. Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem Struktural yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik.Dalam hal ini bisa dilihat dari para penegak hukum dan kewenangan yang dimilikinya, termasuk sarana prasarana pendukung.
Ketiga, Budaya Hukum. Kultur hukum menurut Lawrence Meir Friedman (2001:8) adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat.

Materi diatas sekilas adalah rangkuman yang tersaring kedalam kepala penulis mengenai hukum lingkungan internasional yang diajarkan di FH Undip dan diampu oleh Prof. Dr. Adji Samekto, S.H., M.Hum. Dalam rangkuman tersebut mungkin terdapat pelampaisan beberapa gagasan, ide atau kritik tambahan dari penulis dalam merespon kondisi hukum lingkungan internasional khususnya dalam hal enforcement dan fakta di lapangan.
Bagikan Artikel Ini :

0 comments:

Post a Comment