Best Blogger Tips

Saturday 19 September 2015

Kabut Asap dan Pertanggungjawaban Negara dalam Hukum Internasional

Permasalahan kabut asap seakan tak henti-hentinya menyelimuti langit Indonesia. Selama bertahun-tahun Pemerintah selalu bergelut dengan masalah tersebut. Riau adalah salah satu provinsi yang paling parah terkena dampaknya. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Riau pada 11 September 2015 sudah 43.386 orang yang terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Jumlah korban tentu lebih dari angka tersebut, karena tentunya masih ada warga yang tidak memeriksakan diri ke rumah sakit dan puskesmas. Perlu diketahui pula bahwa angka tersebut meningkat pesat karena pada 2013, korban ISPA di provinsi tersebut berjumlah 19.862 orang dan pada 2014 sejumlah 27.200 orang.

Fenomena ini tentu mengundang keprihatinan banyak pihak karena menimbulkan berbagai dampak negatif. Beberapa dampak dari kabut asap tersebut diantaranya adalah timbulnya  masalah kesehatan seperti infeksi sauran pernafasan (ISPA), berkurangnya  efesiensi  kerja  karena  saat  terjadi  kebakaran  hutan  dalam  skala besar karena sekolah-sekolah  dan  kantor-kantor  akan  diliburkan,  terganggunya transportasi  di  darat,  laut  maupun  udara, serta  timbulnya  persoalan internasional  karena kabut asap. Masih hangat juga beberapa hari lalu sindiran yang disampaikan warga negara Singapura dan Malaysia terhadap Indonesia melalui media sosial. Mereka menyuarakan kekesalan akan bencana asap di Sumatera dan Kalimantan melalui tagar #terimakasihIndonesia. Berangkat dari hal tersebut tulisan ini akan mencoba untuk mengulas permasalahan kabut asap yang melintasi batas-batas antarnegara atau transboundary haze polution dari segi hukum internasional khususnya dalam koridor pertanggungjawaban negara.
Sebelum melangkah lebih jauh alangkah lebih baiknya untuk memahami makna dari transboundary haze polution itu sendiri. Menurut  ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, yang dimaksud dengan pencemaran udara lintas batas adalah “Transboundary haze pollution” means haze pollution whose physical origin is situated wholly or in part within the area under the national jurisdiction of one Member State and which is transported into the area under the jurisdiction of another Member State.
Dari pengertian tersebut maka kabut asap yang terjadi di Indonesia sangat mungkin dikategorikan sebagai transboundary haze polution karena asal muasal kabut yang berasal dibawah yurisdiksi negara Indonesia lalu tertiup a, angin muson melintasi batas negara ke arah timur yang berada dibawah yurisdikisi negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.
Berbicara mengenai pencemaran lingkungan internasional khususnya kabut asap maka tidak bisa dilepaskan dari Kasus Trial Smelter. Kasus ini merupakan kasus pencemaran udara oleh asap sulfur dioksida oleh pabrik peleburan (smelter) di Kanada, yaitu provinsi British Columbia yang berbatasan dengan Negara Bagian Washington, Amerika Serikat. Asap yang berasal dari pabrik tersebut terbang terbawa angin menuju wilayah AS dan mengakibatkan gangguan kesehatan bagi warga serta rusaknya tanaman warga. Dari kasus ini muncul prinsip dalam hukum lingkungan internasional yaitu Sic utere tuo ut alienum non laedes atau dikenal juga good neighbourlines yang artinya suatu negara tidak boleh membiarkan wilayahnya dipergunakan untuk tindakan sedemikian rupa yang merugikan negara lain.
Berlanjut pada masalah pertanggungjawaban negara yang dapat dipahami sebagai  pertanggungjawaban yang dibebankan kepada suatu negara karena tindakan negara tersebut yang telah merugikan negara lain. International Law Commision (Komisi Hukum Internasional) dalam laporannya pada tahun 1962 mengatakan bahwa tindakan yang merugikan negara lain adalah tindakan-tindakan yang dapat menimbulkan kerugian secara langsung (directly) melalui tindakan satu atau beberapa organ negara, dan kerugian secara tidak langsung (indirectly) melalui tindakan-tindakan warga negara suatu negara. Masih menurut International Law Commision  dalam laporannya tentang pertanggungjawaban negara pada tahun 1973, tindakan yang dapat dilimpahkan pada negara adalah
1.    Tindakan organ negara dalam kapasitas resmi jabatannya
2.    Tindakan organ-organ yang bukan merupakan bagian dari struktur formal pemerintah tetapi diberi kekuasaan secara sah untuk melakukan tugas-tugas pemerintah
3.    Tindakan perorangan atau sekelompok individu yang bertindak atas nama negara atau dalam kenyataanya melaksanakan tindakan-tindakan pemerintah dalam keadaan penguasa resmi, dan di dalam situasi yang membenarkan aktivitas tersebut
Berdasarkan dari hal tersebut maka yang menjadi pertanyaan utama adalah apa dan siapakah penyebab terjadinya kabut asap. Pada dasarnya kebakaran hutan di Indonesia semula dianggap terjadi secara alami, tetapi fakta di lapangan membuktikan bahwa manusia memegang peranan penting dalam proses degradasi hutan dan peningkatan laju deforestasi. Illegal logging, penambangan, peralihan fungsi hutan (konversi) menjadi perkebunan skala besar dan hutan tanaman industri, adalah beberapa contoh aktivitas yang berpotensi besar menyebabkan kerusakan hutan di Indonesia. Khusus fenomena kabut asap ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, memastikan bahwa sebanyak 123 perusahaan yang tersebar di Sumatra dan Kalimantan terindikasi menjadi penyebab terbakarnya ribuan hektar hutan dan lahan di wilayah itu (Suara Merdeka 19/9/15).
Berpijak pada prinsip good neighbourlines dan konsepsi pertanggungjawaban negara, ketika terbukti bahwa perusahaan-perusahaan tersebut yang menjadi penyebabnya maka pertanyaan akan kembali ke Indonesia, bagaimana pengawasan yang dilakukan sehingga bisa menjadikan wilayahnya sebagai lokasi pembakaran hutan yang akibatnya menimbulkan kabut asap hingga ke negara tetangga (transboundary haze pollution) dan bagaimana cara perusahaan-perusahaan tersebut memperoleh izin untuk melaksanakan kegiatannya.
Apabila memang semua bukti mengarah pada kelalaian yang dilakukan oleh pemerintah khususnya dalam pengawasan dan pemberian izin (bukan karena force majeur), maka pemerintah wajib bertanggungjawab atas hal tersebut. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa tanggung jawab negara lahir karena terjadi internationally wrongful act, yaitu suatu perbuatan salah yang memeliki karakteristik internasional atau perbuatan yang melangar kewajiban internasional. Mengacu pada pasal (3) draft articles on the responsibility of states for internationally wrongful act, yang menjelaskan bahwa salah satu syarat digolongkan sebagai an Internationally wrongful act adalah jika  memang perbuatan tersebut merupakan suatu tindakan/kelalaian suatu negara menurut hukum Internasional.
Dalam laporan International Law Comission ada beberapa bentuk pertanggungjawaban negara yang dikenal yaitu restitution (pemulihan kembali), compensation (pembayaran ganti rugi), dan satisfaction (permintaan maaf). Pada hakikatnya adalah memang suatu hak bagi setiap negara untuk memilih atau mengajukan diri bertanggungjawab dalam hal apa. Khusus kabut asap ini bentuk pertanggungjawaban berupa satisfaction biasanya akan dipilih, yaitu melalui perundingan diplomatik dan diwujudkan dengan permohonan maaf secara resmi serta jaminan akan melakukan tindakan-tindakan pencegahan agar tidak terjadi hal serupa adalah hal yang paling tepat.

Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di lpmgemakeadilan.com pada 19 September 2015

Bagikan Artikel Ini :

0 comments:

Post a Comment