Best Blogger Tips

Monday, 6 July 2015

Kajian atas Framework Convention on Tobacco Control dalam Persepektif Studi Hukum Kritis

Oleh : Pebri Tuwanto
 

Tulisan ini adalah makalah yang dibuat penulis dalam rangka mengkaji FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) dari kaca mata Critical Legal Studies


Latar Belakang

Dalam era global kini pembangunan ekonomi menjadi salah satu agenda utama setiap negara. Ekspansi kapitalisme dengan agenda ekonomi yang diusung negara-negara maju mulai merambah setiap segi kehidupan sosial ekonomi masyarakat internasional. Salah satu sektor yang menjadi fokus utama adalah pertanian tembakau dan rokok yang hingga kini masih memegang status sebagai aktor penting dalam perekonomian global. Bisnis tembakau dan rokok adalah salah satu bisnis yang menguntungkan dan berpengaruh besar bagi negara karena memiliki berbagai multiplier effect dengan dengan berbagai kalangan, mulai dari petani tembakau dan cengkeh, para buruh pabrik, hingga pedagang-pedagang asongan disudut-sudut kota. Keadaan inilah yang menyebabkan persaingan industri rokok semakin ketat baik antarperusahaan atau antarnegara.

Globalisasi yang tengah berjalan di era saat ini telah membawa beberapa implikasi baru, salah satunya adalah penerapan standarisasi dibidang kesehatan melalui instrumen-instrumen internasional yang diterapkan secara lintas batas negara. Salah satu instrumen tersebut adalah FCTC ( Framework Convention on Tobacco Control). Perlu diketahui, FCTC adalah salah satu instrumen internasional yang disusun oleh negara-negara anggota WHO dalam upaya mengendalikan tembakau, sebagai buah dari kesepahaman bersama bahwa tembakau yang tidak dikendalikan akan menjadi masalah besar bagi kesehatan masyarakat dunia. Disisi lain, industri tembakau dan rokok Indonesia terus menerus mendapat tekanan melalui desakan Pemerintah Indonesia segera meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). Padahal dengan diratifikasinya perjanjian tersebut akan berimplikasi secara luas terhadap industri rokok dan tembakau Indonesia.

Berangkat dari titik pijak tersebut, makalah ini akan mengkaji implikasi globalisasi khususnya dalam penerapan standarisasi kesehatan melalui FCTC. Makalah ini disusun menggunakan kajian studi hukum kritis (Critical Legal Studies) terhadap peraturan-peraturan dalam FCTC. Kajian ini dirasa penting karena karena disini seolah-olah FCTC tampak netral dan murni semata-mata demi kepentingan kesehatan manusia. Padahal hukum sendiri sejak proses pembuatan hingga pemberlakuannya selalu mengandung pemihakan-pemihakan, meskipun biasanya dicitrakan sebagai sebuah instrumen netral dan adil. Apalagi di era globalisasi dengan berbagai negara memiliki kepentingan ekonominya masing-masing serta perusahaan-perusahaan multinasional yang memiliki pengaruh kuat, sangat dimungkinkan pada akhirnya negara yang lemah akan terancam dirugikan kepentingan nasionalnya.
PEMBAHASAN

a.   Pemahaman Mengenai Globalisasi

Globalisasi, sebuah kata yang sangat lekat dalam pergaulan sehari-hari, mulai dari pekerja kerah putih hingga pekerja kerah biru semua berbicara globalisasi atau paling tidak dampak darinya. George C.Loud dalam Managing Globalization in the Age of interdependence mendefinisikan globalisasi sebagai “process wherby the world’s people are becoming increasingly interconnected in all aspects of their lives- cultural, economic, political, technological, and environmental.”[1]

Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa globalisasi adalah “proses” bukan “tujuan akhir” dia senantiasa berjalan ditengah peredaran arus informasi yang deras dan kian pudarnya hambatan-hambatan komunikasi antar negara. Globalisasi bukanlah akhir dari merajainya produk-produk Tiongkok di berbagai toko di London atau Jakarta, tetapi itu adalah proses Tiongkok membangun perekonomiannya. Akibat dari proses yang terus menerus berjalan tersebut, perlahan namun pasti segi-segi kehidupan negara saling terhubung satu sama lain di berbagai aspek, mulai dari budaya, ekonomi, politik, teknologi, dan lingkungan.

Sedangkan Thomas L. Friedman meyakini bahwa Globalisasi memiliki dimensi Ideologi dan Teknologi. Dimensi ideologi yaitu kapitalisme dan pasar bebas, sedangkan Dimensi Teknologi adalah teknologi informasi yang telah menyatukan dunia.[2] Ekspansi kapitalisme di era global yang seolah menemukan momentumnya pasca perang dingin mulai menyebrangi batas-batas antarnegara melalui jembatan bernama globalisasi. Ditambah merebaknya paham neoliberalisme yang melegitimasi kenyataan ekonomi akibat kapitalisme semakin menguatkan nilai tawar pasar bebas yang selalu diusung oleh berbagai negara penganut paham tersebut. Mereka percaya bahwa fundamentalisme pasar bebas yang diikuti dengan minimalisasi peran negara, privatisasi, antimonopoli, serta pengurangan hambatan-hambatan perdagangan adalah solusi terbaik mengatasi berbagai permasalahan global. Ditunjang dengan penguasaan teknologi yang tinggi, semakin memudahkan kapitalisme melebarkan jaring-jaringnya ke negara-negara berkembang.

Terjalinnya hubungan antarnegara dalam globalisasi memberikan dampak bahwa suatu fenomena yang terjadi di suatu negara dapat merambat ke negara lain dengan cepat. Berkat globalisasi, perdagangan dan investasi yang terjalin antarnegara terus tumbuh dari tahun ke tahun sehingga saling menimbulkan ketergantungan satu sama lainnya.  Misalnya ketika Jerman Bundesbank menaikkan suku bunga pada tahun 1990-langkah yang dibutuhkan untuk mengendalikan dampak inflasi yang mungkin dari reunifikasi Jerman Barat dan Timur membantu memicu resesi di seluruh Eropa Barat. Perbedaan antara tujuan negara-negara sering menyebabkan konflik kepentingan.Bahkan ketika negara memiliki tujuan yang sama, mereka dapat menderita kerugian jika mereka gagal untuk mengkoordinasikan mereka kebijakan. Fenomena ini juga dapat dilihat ketika bangkrutnya Lehman Brothers di AS memicu krisis keuangan global, dan kini runtuhnya keuangan Yunani yang mengancam perekonomian dunia terutama terhadap mata uang euro.

Globalisasi sendiri sangat diwarnai oleh konvergensi dalam persaingan global yang menciptakan standarisasi kehidupan antarnegara. Mereka yang mendukung ide dan gagasan konvergensi melihat bahwa dunia telah bergerak untuk mencapai satu tujuan dan praktek sosial yang sama. Terdapat satu standar yang dipercaya universal untuk diterapkan di masing-masing negara. Namun, konvergensi tidak datang dengan mudah, karena biasanya diikuti oleh permasalahan-permasalahan lain seperti konflik lingkungan, jarak antara negara kaya dan negara miskin yang kian melebar, serta permasalahn seperti pertentangan budaya.

Dari keadaan tersebut dapat digaris bawahi bahwa globalisasi pada dasarnya adalah fenomena komersial bukan politis, para pengusaha melalui berbagai MNC (Multinasional Corporates) mereka memiliki bargaining posession yang lebih kuat dibanding para  politisi. Dengan posisi tersebut, menjadi sebuah pertanyaan penting apakah peraturan-peraturan baru yang muncul sebagai suatu produk politis akan sepenuhnya netral dan tidak memihak kepentingan ekonomi para pengusaha karena melalui peraturan-peraturan ini diterapkanlah berbagai standarisasi minimum di berbagai bidang kehidupan masyarakat

b.   Keadaan Industri Rokok Indonesia

Rokok, adalah salah satu budaya asli nusantara, yang secara historis sejak masa kolonial sudah menjadi simbol produk pengusaha bumiputera. Setelah berjalan selama berpuluh-puluh tahun lamanya hingga saat ini, keadaan industri rokok di Indonesia terus mengalami dinamika perubahan yang beragam. Dari posisi terjatuh hingga bangkit dan menjadi salah satu sektor bisnis idola para pengusaha. Rokok kretek adalah salah satu jenis rokok khas indonesia yang terdiri dari campuran tembakau dan cukai. Setelah sempat berjaya, kini perusahaan nasional yang memproduksi rokok kretek telah jatuh ke tangan pemodal asing, seperti Sampoerna yang diambil alih Philip Morris dan Bentoel yang diakuisisi British American Tobacco. Memang, di era global persaingan antar perusahaan adalah hal yang lumrah. Perusahaan multinasional dari negara maju seperti Philip Morris, British American Tobacco, Japan Tobacco Corp., China National Tobacco Corp., dan berbagai perusahaan rokok eropa akan semakin agresif membangun dan memperluas dominasinya.

Kontribusi cukai rokok terhadap perekonomian Indonesia tidak pernah turun hingga saat ini. Tahun 2013 mencapai Rp. 95,7 triliun. Tahun 2014 pendapatan negara dari cukai rokok 116,28 triliun. Tahun 2015 pemerintah menargetkan sekurang-kurangnya Rp. 120 triliun. Bahkan setelah ada perubahan APBN 2015, target dinaikkan menjadi Rp. 145 triliun. Disisi lain produksi rokok tidak berdiri sendiri tetapi bertalian dengan beberapa jaringan masyarakat, seperti petani tembakau, cengkeh, distributor, mediator, pekerja di bidang perekonomian, dan buruh rokok yang berjumlah Rp. 30,5 juta orang se-Indonesia. Terdapat ketergantungan ekonomi lebih dari 6 juta penduduk keluarga petani cengkeh dan tembakau di eks Karesidenan Kedu, Banyumas, Temanggung, bahkan luar jawa. [3]

Namun, berbanding terbalik dengan kontribusi dan pengaruhnya yang besar di sektor perekonomian, keberlangsungan industri rokok indonesia justru terancam oleh kebijakan pemerintah sendiri. Langkah Pemerintah untuk melindungi tembakau dan industri rokok terbilang kurang. AS misalnya membantu proteksi atas industri rokok dan tembakau tersebut secara maksimal, termasuk melalui Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act yang secara cukup eksplisit menunjukan hambatan non-tarif terhadap produk tembakau impor. Di China dan Rusia memberlakukan kebijakan yang tidak lazim, yakni menyarankan masyarakatnya untuk merokok sebagai solusi menghadapi krisis. Pemerintah Indonesia justru memberi perlakuan yang memojokkan keadaan industri rokok dan tembakau nasional dengan upaya-upaya memasukkan prinsip-prinsip FCTC dalam hukum nasional. Kebijakan ini dilakukan dengan kebijakan pengalihan tanaman, pengurangan subsidi pertanian tembakau, menaikkan cukai, dan larangan merokok di tempat umum. [4] Di sisi lain pemerintah juga terus didesak agar segera meratifikasi FCTC, selain alasan komitmen atas kesehatan masyarakatnya, Indonesia juga adalah satu-satunya negara di Asia yang belum meratifikasi konvensi tersebut. Namun, rencana atas ratifikasi konvensi tersebut tidak bisa diterima secara taken for granted, harus ditinjau lagi lebih dalam implikasinya.

c.   Kajian terhadap FCTC (Framework Convention on Tobacco Protokol) dari kacamata Critical Legal Studies

Critical Legal Studies atau studi hukum kritis mengembangkan pemikiran dan ajaran yang pada garis besarnya bertujuan untuk menentang atau setidaknya meninjau kembali norma-norma, standar-standar, dari sistem hukum dan implementasinya dari apa yang dikenal sistem hukum modern. Dalam pandangan studi hukum kritis keadaan hukum adalah untuk mendukung kepentingan atau kelas  dalam masyarakat yang membentuk hukum tersebut. Dalam kerangka pemikiran ini mereka yang kuat menggunakan hukum sebagai instrumen untuk melakukan penekanan. [5]

Sebagaimana dipaparkan sebelumnya FCTC adalah salah satu instrumen internasional yang disusun oleh negara-negara anggota WHO dalam upaya mengendalikan tembakau, sebagai buah dari kesepahaman bersama bahwa tembakau yang tidak dikendalikan akan menjadi masalah besar bagi kesehatan masyarakat dunia.Hingga akhir tahun 2014 sudah ada 177 negara meratifikasi FCTC, sedangkan Indonesia belum meratifikasi. Sebagaimana tertulis dalam pembukaannya, tujuan FCTC adalah untuk "melindungi generasi sekarang dan mendatang dari kerusakan kesehatan, sosial, dan konsekuensi ekonomi dari konsumsi tembakau serta paparan terhadap asap tembakau”.[6]

Pudarnya batas-batas negara sebagai salah satu implikasi globalisasi mengakibatkan hubungan antarnegara menjadi semakin mudah, atau dalam arti lain saling terkoneksi  satu sama lain. Jalinan hubungan yang terjalin, akan menimbulkan tuntutan agar adanya persamaan hak dan kewajiban atas perlakuan dan standarisasi yang ada di satu negara dengan negara lainnya. Salah satu cara menciptakan standarisasi adalah dengan membuat perjanjian yang disepakati oleh negara-negara yang saling berhubungan, misalnya saja dalam FCTC yang menciptakan standarisasi atas kesehatan manusia terkait dampak dari tembakau. Namun, dalam praktiknya FCTC bukan hanya digunakan untuk standarisasi kesehatan, tetapi juga dipergunakan oleh negara-negara maju sebagai hambatan perdagangan terkait impor rokok dari luar dengan alasan kesehatan.

Beberapa pasal dalam FCTC juga membawa implikasi yang sangat luas bagi industri rokok nasional, utamanya rokok kretek. Pasal 6-7 FCTC yang mengatur tentang kebijakan pajak dan harga, serta non-harga untuk mengurangi permintaan terhadap tembakau akan berbentuk kebijakan kenaikan pajak, kenaikan cukai sebagai cara meningkatkan harga rokok.[7] Kebijakan kenaikan pajak atau cukai tembakau tentu akan berimplikasi langsung terhadap kebangkrutan industri kecil. Cukai tembakau merupakan komponen biaya terbesar dalam industri tembakau yang harus dibayarkan sebelum berproduksi.

Kemudian di Pasal 9-10 FCTC yang mengatur tentang aturan dan keterbukaan kepada publik, kandungan/komposisi produk tembakau dapat menjadi regulasi yang memberatkan bagi industri rumahan tembakau. [8] Dapat dibayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan uji laboratorium dan biaya lainnya yang harus dibayarkan pada instansi berwenang dalam menilai kandungan bahan bahan dalam rokok.

Pasal 17 FCTC tentang pengendalikan sisi suplai tembakau melalui kegiatan ekonomi alternatif.[9] Implikasi dari pasal ini maka otomatis para petani akan kehilangan sumber utama pendapatannya. Tidak adanya pasokan tembakau dari petani dalam menghasilkan kretek maka jelas akan membuka keran impor.

Terasa aneh bahwa rokok kretek tidak bisa produksi dan beredar di negri sendiri, tetapi rokok impor dapat beredar. Instrumen FCTC tentu perlu ditelaah lagi melalui kajian yang lebih dalam, alasan utama menjaga kesehatan manusia tentu dapat diterima, tetapi implikasinya yang luas terhadap sektor perekonomian harus juga dipertimbangkan. Apalagi negara-negara maju mulai menolak rokok kretek Indonesia dengan dasar standarisasi kesehatan atas tembakau di Indonesia yang tidak dipenuhi. Bahkan George C. Lodge menyebutkan bahwa salah satu penyebab meningkatnya kemiskinan di negara dunia ketiga adalah ketika negara-negara kaya menutup pasarnya untuk produk dari negara miskin. [10]
 

Kesimpulan

Globalisasi adalah “proses” bukan “tujuan akhir” dia senantiasa berjalan ditengah peredaran arus informasi yang deras dan kian pudarnya hambatan-hambatan komunikasi antar negara. Keadaan ini mengakibatkan dunia saling mengalami ketergantungan satu sama lainnya. Fenomena yang terjadi di suatu negara akan berdampak langsung terhadap negara lainnya, seperti yang dialami oleh Jerman Bundesbank dan Lehman Brothers. Globalisasi juga menciptakan sebuah konvergensi melalui penerapan standarisasi kehidupan nasional sebuah negara, misalnya saja dalam FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) yang menciptakan standarisasi kesehatan manusia terkait dampak dari tembakau. Seolah-olah FCTC ini memang terlihat netral, adil dan semata-mata murni untuk kepentingan kesehatan umat manusia. Namun, perlu digaris bawahi bahwa hukum sendiri sedari proses pembahasan hingga pemberlakuannya selalu mengandung pemihakan-pemihakan. Apalagi di era globalisasi dimana negara maju dengan sumber daya ekonomi yang kuat dan berbagai perusahaan multinasional memiliki bargaining posession yang besar. Hal ini terlihat ketika banyak negara yang menjadikan FCTC sebagai standar minimum kesehatan sekaligus menjadi hambatan dalam perdagangan internasional, khususnya demi melindungi pasarnya dari rokok kretek.  Implikasi lainnya dapat dibayangkan bagaimana jika pasal-pasal dari FCTC diimplementasikan di Indonesia akan berdampak massive terhadap industri rokok apalagi industri tersebut memiliki multiplier effect yang luas dengan sektor keuangan.
 

Saran : Suatu perjanjian internasional seperti FCTC tidak bisa dilihat secara naif lalu diterima sebagai sesuatu yang taken for granted. Apalagi dengan memandang bahwa jika meratifikasi akan  meningkatkan citra pemerintah di dunia internasional sekaligus menyelesaikan masalah kesehatan di dalam negeri. Kita bisa berkaca pada UU Hak Kekayaan Intelektual yang diamandemen bukan karena munculnya kesadaran masyarakat Indonesia tetapi karena kewajiban dalam Perjanjian WTO yang didasarkan pada sistem hukum dan praktik di negara maju. Hal ini pula yang terancam terjadi pada FCTC, implikasi hukum dari konvensi begitu luas dampaknya terhadap perekonomian nasional, jangan hanya karena tuntuntan globalisasi lantas meratifikasinya.  Think Globally, Act Locally













[1] George C. Lodge, 1995, Managing Globalization in the Age of Interdependence, San Diego: Pfeiffer and Co., hlm, 1

[2] Jamal Wiwoho, Globalisasi, http://jamalwiwoho.com/wp-content/uploads/2014/11/GLOBALISASI-MM.pdf, diakses pada 5 Juli 2015, pukul 08.21 WIB

[3] Bin Subiyanto, 26 Juni 2015,Rokok dan Ambivalensi Pemerintah, Koran Suara Merdeka : Wacana, hlm. 6

[4] Herjuno Ndaru Kinasih dkk, 2012, Tembakau, Negara, dan Keserakahan Modal Asing, Jakarta: Indonesia Berdikari, hlm. 2

[5] FX Adji Samekto, 2013, Globalisasi dan HAM dalam Perspektif Hukum Kritis, Jurnal LPM Gema Keadilan No. 1 tahun ke 37, hlm. 107

[6] The WHO Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)

[7] Lihat pasal 6 dan 7, The WHO Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)

[8] Lihat pasal 9 dan 10, The WHO Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)

[9] Lihat pasal 17 The WHO Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)

[10] George C. Lodge, Op. Cit., hlm. 24
Bagikan Artikel Ini :

0 comments:

Post a Comment