Tujuh belas tahun sudah era reformasi berjalan, beriringan dengan harapan akan pemenuhan atas hak asasi manusia yang dalam rezim terdahulu acap kali terabaikan. Namun, yang terjadi saat ini justru terungkap berbagai persoalan HAM yang semakin berwarna dari berbagai sudut negeri. Salah satu persoalan yang dalam setahun terakhir begitu hangat diperbincangkan adalah wacana akan tes keperawanan (virginity test).
Wacana ini kembali digulirkan ketika Februari lalu Komisi D DPRD Kabupaten Jember, Jawa Timur, mengusulkan dibentuknya peraturan daerah (perda) tentang perilaku yang baik dan terpuji. Salah satu poin dalam perda itu mengatur tentang tes keperawanan sebagai salah satu syarat kelulusan siswa di tingkat SMP dan SMA.[1] Bahkan seorang peneliti dari Human Right Watch (HRW), Andreas Harsono, mengungkap fakta bahwa praktik ini juga terjadi dalam seleksi polwan. Kesimpulan ini didapat melalui wawancaranya terhadap delapan polisi wanita dan seorang calon polisi wanita di enam kota Indonesia yang telah menjalani tes keperawanan. Menurut pengakuan mereka, para peminat profesi polwan masuk ke sebuah ruangan satu per satu untuk dites. Seorang dokter wanita lalu memeriksa mereka dengan cara memasukkan jarinya yang terbungkus sarung tangan ke dalam vagina mereka. Tes itu dikatakan juga “tes dua jari”[2]. Legitimasi atas tes keperawanan ini didasarkan pada Pasal 36 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Penerimaan Calon Anggota Kepolisian, dimana calon anggota perwira perempuan harus menjalani pemeriksaan obstetrics (rahum) dan gynaecology (genitalia).
Pembahasan
Permasalahan tes keperawanan tentu adalah sebuah alarm peringatan bagi sebuah negara yang menyatakan dirinya sebagai negara hukum yang memiliki kewajiban untuk melindungi HAM. Hiruk Pikuk diskusi HAM di sudut-sudut kampus, ruang seminar, atau buku-buku perkuliahan bukanlah cerminan nyata kondisi HAM di negri ini karena realitas di lapangan tidak sepenuhnya berpihak pada HAM, khususnya ketika berbicara masalah enforcement. Meminjam istilah Abdullahi Ahmed An Na’im seorang pemikir HAM dari Sudan, mungkin inilah saat ketika suatu negara dikatakan mengidap human rights paradox, pada satu sisi ide, gagasan, HAM begitu kuat (powerfull) pada pemerintah, tetapi pada sisi lain pelanggaran HAM terus berlangsung dan hampir tanpa enforcement.[3]
Ada beberapa poin yang patut dijadikan alasan mengapa tes keperawanan ini patut dihapuskan. Pertama, tes keperawanan adalah sebuah penghinaan terhadap martabat perempuan. Pasal (1) Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) menyatakan bahwa “diskriminasi terhadap perempuan” berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak azasi manusia dan kebebasankebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan. Tes ini tentu sangat diskriminatif, karena disini budaya patriarki terlihat begitu mencolok dengan menjadikan perempuan sebagai objek dan komoditas, sangat jauh dari kesetaraan.
Kedua, tes keperawanan adalah salah satu bentuk penyiksaan fisik dan mental terhadap perempuan. Dalam rilis yang dilakukan Human Rights Watch, salah seorang calon polwan menyatakan bahwa “tes dua jari” yang dialaminya di sebuah aula dengan 20 orang peserta membuatnya merasa amat malu karena harus menanggalkan seluruh pakaiannya, bahkan ada seorang peserta pingsan setelah menjalaninya. [4] pengaturan perihal penyiksaan ini telah tercantum dalam Pasal (1) Convention Againts Torrture & Others Cruel, Inhuman or Degraing Punishment (CAT) yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU Nomor 5 tahun 1998 menyatakan bahwa “penyiksaan” berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan ............. “.
Ketiga, diberlakukannya tes keperawanan tidak menjamin akan terbentuknya perilaku yang baik dan terpuji. Hingga saat ini belum pernah ada kajian ilmiah yang membuktikan bahwa keperawanan seseorang berbanding lurus terhadap perilaku yang baik dan terpuji. Justru tes ini akan menggiring opini publik dengan melabelisasi (stereotip) perempuan dari satu sisi saja. Keempat, apabila tujuannya untuk mencegah seks bebas, tentu langkah yang ditempuh seharusnya lebih kearah pencegahan seperti penyuluhan mengenai bahaya free sex, bukan sebaliknya mengungkap siapa yang perawan atau tidak. Kelima, setiap individu memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri (right to self determination) yang merupakan salah satu hak fundamental manusia serta tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights) dan pilihan atas perawan atau tidaknya seseorang adalah tanggungjawab serta pilihan masing-masing individu. Sehingga negara dalam hal ini memiliki kewajiban untuk menghormati (to respect), memenuhi (to fulfill), dan melindungi (to protect) hak tersebut.[5]
Menyimak beberapa hal yang diuraikan sebelumnya, termasuk beberapa instrumen HAM yang mengaturnya maka sudah sepatutnya tes keperawanan yang selama ini dilaksanakan dalam perekrutan polwan atau wacana tes keperawanan di tingkat SMP dan SMA di Jember dihapuskan. Jika tujuannya adalah ingin mendidik siswa/i agar berprilaku baik dan terpuji maka tes keperawanan sebagai syarat kelulusan bukanlah jawabannya, begitupula dalam rekrutmen polwan, tes keperawanan tentu tidak dibenarkan sekalipun dengan alasan tes kesehatan dan memiliki payung hukum dalam pelaksanaanya. (pebri)
Tulisan ini sebelumnya telah dimuat sebagai Press Release Ikatan Mahasiswa Hukum Internasional (IMHI) Universitas Diponegoro edisi April 2015
[1] http://news.okezone.com/read/2015/02/11/337/1104436/wacanakan-tes-keperawanan-dprd-jember-dianggap-ngaco, Rabu, 11 Februari 2015, Fid, diakses 26 Maret 2015 pukul 22.10 WIB
[2] http://www.tempo.co/read/news/2014/11/19/063622989/Cerita-Tes-Keperawanan-yang-Bikin-Polwan-Pingsan, 19 November 2014, Mitra Tarigan, diakses 26 Maret 2015 pukul 22.00 WIB
[3] Todung Mulya Lubis, Jalan Panjang Hak Asasi Manusia, 2005, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, hlm. 201
[4] http://www.hrw.org/ru/node/130631, Indonesia: ‘Virginity Tests’ for Female Police November 18, 2014, diakses 26 Maret 2015 pukul 23.20 WIB
[5] Rahayu, 2012, Hukum Hak Asasi Manusia, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, hlm. 40
skip to main |
skip to sidebar
belajar menulis dalam kesederhanaan, kemudahan, dan kejujuran.
0 comments:
Post a Comment