Oleh
: Pebri Tuwanto
Salah
satu gagasan yang selama ini senantiasa dikumandangkan dalam memaksimalkan
potensi dunia kelautan di Indonesia adalah dengan menjadikannya sebagai poros
maritim dunia. Demi mengukuhkan diri sebagai poros maritim dunia, terdapat
berbagai macam tantangan yang harus diatasi baik dari dalam maupun luar. Secara
geografis, geopolitik, maupun geoekonomi Indonesia memang berada pada jalur
yang tepat untuk meraih posisi sebagai poros maritim dunia..
Konon,
berdasarkan data Badan Pangan Dunia (FAO) nilai
perekonomian dari laut Indonesia diperkirakan mencapai 3 triliun dollar AS
sampai 5 triliun dollar AS atau setara dengan Rp 36.000 triliun sampai Rp
60.000 triliun tiap tahunnya. Namun, potensi ini menjadi terbengkalai, contohnya
saja berdasarkan data statistik dari Kelautan dan Perikanan dalam hal
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sektor kelautan dan perikanan
menghabiskan uang negara sekitar Rp 18 triliun setiap tahunnya. Anggaran
tersebut digunakan untuk operasional pengembangan sektor kelautan dan perikanan
berupa anggaran KKP sekitar Rp 6,5 trilun, serta subsidi Bahan Bakar Minyak
(BBM) untuk sektor perikanan yang sebesar Rp 11,5 triliun. Di sisi lain total
jumlah yang disumbangkan untuk PNBP dari kapal tersebut hanya berkisar Rp 300
miliar tiap tahun. Tidak terjadi keseimbangan antara yang dikeluarkan
pemerintah dengan apa yang didapat pada sektor perikanan. Terdapat defisit
sekitar Rp 17,7 triliun yang harus ditanggung pemerintah. Hal inilah yang menjadikan salah satu alasan utama,
Presiden Jokowi memasukkan sektor kelautan sebagai salah satu agenda terpenting
yang akan diusung oleh pemerintahannya
Presiden
Jokowi kembali menegaskan visinya perihal poros maritim dunia ini secara
gamblang dalam Konferensi Tingkat Tinggi Negara-negara Asia Timur (KTT EAS) di
Myanmar tahun lalu dengan mengelaborasinya kedalam lima pilar, yaitu membangun
kembali budaya maritim Indonesia, menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan
fokus membangun kedaulatan pangan melalui pengembangan industri perikanan, memprioritaskan
pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim, dan pariwisata maritim, melaksanakan
diplomasi maritim, dan membangun kekuatan pertahanan maritim.
Tulisan
ini akan mengkaji lebih dalam pada pilar
ketiga, khususnya pengembangan konektivitas maritim. Pada dasarnya penguatan
konektivitas dalam dunia pelayaran Indonesia ini selaras dengan gagasan Jalan Sutra Maritim dari Presiden
Tiongkok, Xi Jinping. Jalan sutra maritim merupakan upaya untuk menghubungkan pelabuhan-pelabuhan
di Tiongkok bagian tenggara dengan negara-negara ASEAN melalui Selat Malaka,
negara-negara di Asia Tengah (Srilangka, Banglasdeh, India, Maladewa, Pakistan)
melalui Samudra Hindia, dan negara-negara di Timur Tengah hingga Eropa selatan
melalui Laut Merah dan Laut Mediterania; yang akhirnya bertemu dengan jalan
sutra darat di Eropa Tengah. Tentunya dengan visi yang selaras ini harapannya
dapat saling memberikan mutual benefit
pada kedua negara khususnya dalam kemajuan ekonomi.
Demi tercapainya hal tersebut, Indonesia harus meresponnya dengan meningkatkan
konektivitas dalam dunia lautnya, baik melalui berbagai regulasi yang dibuat
atau infrastruktur yang akan dibangun. Kerjasama dengan Tiongkok melalui jalur
sutra ini hanyalah satu diantara berbagai kemungkinan kerjasama bidang
perdagangan yang dapat dicapai Indonesia dengan memaksimalkan sektor lautnya. Namun,
permasalahannya sudah siapkah kondisi dunia pelayaran Indonesia?
Pelayaran Indonesia terancam lesu
Saat
ini kondisi pelayaran di Indonesia bisa dibilang lesu.Kondisi ini dipicu oleh
beberapa hal. Pertama, menurunya
bisnis komoditas. Pemerintah menetapkan bahwa setiap hasil tambang harus diolah
terlebih dahulu sebelum diekspor. Semua harus diolah menjadi komoditas setengah
jadi atau jadi yang memiliki nilai tambah. Jika tidak dilaksanakan maka
industri tersebut wajib membayar bea keluar sampai 20%. Sementara itu hasil
tambang yang sudah diolah hampir tidak ada, karena sebagian besar industri belum
membangun smelter. Membangun smelter sendiri butuh waktu yang tidak singkat dan
biayanya yang mahal. Kondisi ini tentu berdampak langsung pada dunia pelayaran
karena hasil tambang biasanya diangkut menggunakan kapal, tetapi kini
kapal-kapal tersebut tidak beroperasi karena barang yang diangkut sendiri tidak
ada.
Kedua,
menurunnya harga minyak dunia. Harga minyak dan gas dunia dalam beberapa bulan
terakhir mengalami penurunan yang sangat signifikan. Hal ini mengakibatkan
perusahaan eksplorasi akan menahan produksinya, karena beberapa waktu lalu
harga minyak dan gas dunia lebih rendah daripada biaya produksinya. Sehingga
jika diteruskan perusahaan migas tersebut akan
merugi. Penghentian kegiatan eksplorasi ini tentu berdampak pada
penggunaan kapal yang biasa digunakan kegiatan eksplorasi. Ketiga, usaha pelayaran yang kini dibebani pajak hingga empat kali
lipat. Kalangan pelaku usaha pelayaran akan dibebani pajak hingga empat kali
lipat dari pungutan yang biasa berlaku. Pajak tersebut akan diterapkan efektif
pada Maret 2015 melalui pajak penghasilan (PPh) non final. Sebelumnya, pajak
yang berlaku pada usaha pelayaran adalah PPh final 1,2%. Bukan hanya
memberatkan, tetapi juga semakin memperumit karena perhitungan PPh non final
mewajibkan kalangan usaha untuk menyetor pembukuan
Ketiga
hal tersebut dapat menghambat terbentuknya konektivitas kelautan Indonesia. Para
pelaku usaha pelayaran justru terancam oleh beberapa regulasi yang dibuat oleh
pemerintah sendiri. Disisi lain harga minyak dunia yang fluktuatif semakin
memperberat jalan terbentuknya konektivitas di kelautan Indonesia. Ancaman atas
lesunya dunia pelayaran ini wajib diantisipasi sejak dini oleh pemerintah
apabila memang serius menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Poros
maritim tidak akan digapai apabila dunia pelayaran lesu. Wacana menjadikan
Indonesia sebagai poros maritim dunia memang perlu diapresiasi dan didukung,
namun pemerintah jangan hanya terlena dalam angan-angan tersebut. Dengan segala
potensi yang ada Indonesia harus mampu menjadikan maritim sebagai basis
untuk memperkuat ekonomi bangsa.
Daftar
Pustaka
Berita
Online
Cara
Jokowi Jadikan Indonesia Poros Maritim, Gangsar Parikesit, 13/11/2014, http://www.tempo.co/read/news/2014/11/13/118621707/Cara-Jokowi-Jadikan-Indonesia-Poros-Maritim,
diakses tanggal 26 April 2015 pukul 23.30
Usaha
Pelayaran Dibebani Pajak Empat Kali Lipat, Ichsan Amin, 29/1/2015, http://ekbis.sindonews.com/read/957623/34/usaha-pelayaran-dibebani-pajak-empat-kali-lipat-1422537568,
diakses tanggal 26 April 2015 pukul 22.00
0 comments:
Post a Comment