Best Blogger Tips

Monday, 18 February 2013

SIAPA ADVOKAT PERTAMA DI INDONESIA ????


SIAPA ADVOKAT PERTAMA DI INDONESIA ?
Siapa advokat pertama di Indonesia? Ketika pertanyaan itu muncul, mungkin sederet nama seperti Lukman WiriadinataYap Thiam Hien dan Suardi Tasrif. Mereka memang dikenal sebagai pengacara pembela kepentingan rakyat. Nama mereka juga sering menjadi rujukan ketika orang berbicara tentang hak azasi manusia dalam proses hukum.
Sebenarnya advokat pertama di Indonesia adalah Besar Mertokusumo. Nama Besar memang tak besar seperti namanya. Tak ada nama jalan yang mengutip namanya. Hingga kini belum ada gelar pahlawan yang ditambatkan padanya. Dalam literatur sejarah advokat, Besar Mertokusumo kerap disebut sebagai generasi advokat pertama.

Besar Mertokusumo atau dikenal juga dengan Mas Besar Martokoesoemo adalah seorang pengacara atau advokat pertama Indonesia dan wali kota Tegal yang lahir di Brebes8 Juli 1894. Ia menikah dengan Raden Ajoe Marjatoen dan dikaruniai empat orang anak yaitu Mas Roro Marjatni, Mas Roro Indraningsih, Mas Soeksmono dan Mas Wisnoentoro merupakan wali kota bangsa Indonesia Pertama serta tercatat sebagai anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Mantan Sekjen Departemen Kehakiman itu mulai mengenyam pendidikan di Sekolah Rendah Belanda (Europeesche Lagere School-ELS) di Pekalongan dan lulus pada 1909. Enam tahun kemudian, lulus dari Rechtschool di Jakarta, kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Leiden, Belanda dan lulus pada 1922
Besar Mertokusumo yang biasa dikenal oleh masyarakat Tegal dengan nama Mr.Mas Besar Martokoesoemo diangkat sebagai wali kota (Shi-co)April 1942 Tegal saat pendudukan Jepang dan menjadi salah seorang anggota BPUPKI. Kemudian pada Juni 1944 diangkat sebagai Bupati (Ken-Co) Tegal, dan menjadi Wakil Residen Pekalongan (Fuku Syuu-cokan) pada Juni 1945.
Adnan Buyung Nasution juga mengakui sosok Besar. Dia sempat jadi advokat tetapi tidak lama. Beliau memang lebih banyak di pemerintah, ketimbang praktik advokat, sosok Besar juga sebagai penyusun konsep sistem peradilan Indonesia.
Besar    adalah  advokat yang sering membela terdakwa miskin dalam persidangan di Landraad (Pengadilan Negeri). Besar menggeluti dunia advokat sekitar tahun 1923. Firma hukumnya didirikan di TegalJawa Tengah, dekat kota kelahirannya, Brebes. Daniel S. Lev menyatakan kemungkinan Tegal dipilih karena disitulah keluarga dan teman-temannya berada. Beberapa kantor advokat Belanda juga sudah berdiri ketika itu di Tegal. Ketika berpraktik di Landraad (Pengadilan Negeri), Besar tak senang dengan perlakuan pengadilan terhadap terdakwa asal Indonesia. Dalam persidangan, terdakwa orang Indonesia harus duduk di lantai, membungkuk dalam-dalam dan sangat ketakutan. Besar menilai perlakuan itu sebagai bentuk penghinaan pengadilan terhadap orang Indonesia. Ketika itu, hakim dan jaksa menggunakan bahasa Belanda saat bersidang. Besar sendiri tak suka dengan kondisi demikian. Persidangan itu membuat orang Indonesia sulit menerima pengadilan itu seperti pengadilannya sendiri. Meski demikian, para hakim Belanda tetap menghormati Besar.
Setelah firma hukum di Tegal berkembang, Besar membuka kantor cabang di Semarang. Di kantor barunya, ia lebih banyak merekrut sarjana hukum Indonesia, antara lain Sastromulyono, Suyudi, dan lain-lain. Pernah, suatu waktu, gaji advokat dikantor itu 600 golden per bulan, ditambah dengan bagian keuntungan. Ketika zaman malaise (krisis) dua kantor yang didirikan oleh Besar itu berdiri sendiri.
Sebelum terjun ke dunia advokat, Besar bekerja sebagai panitera pada Landraad di Pekalongan. Pekerjaan itu diperoleh setelah lulus dari Rechtschool. Setelah bekerja beberapa tahun, kemudian hijrah ke Belanda untuk memperoleh gelar sarjana hukum, bersama dengan sebelas pelajar lainnya dengan kuliah di Universitas Leiden. Kaum pribumi yang belajar hukum umumnya berasal dari komunitas Jawa, Sumatera dan keturunan Cina. Mereka belajar di Rechtschool dengan materi ilmu hukum dan hukum acara pidana. Mereka yang lulus dengan ketat bergelar rechtskundingen sebagai sarjana muda hukum. Sedang mereka yang cerdas dapat meraih penuh gelar sarjana hukumnya di negeri Belanda, yang statusnya disamakan dengan kelompok yang langsung sekolah di Belanda.
Pada umumnya sarjana hukum dari Belanda diberi dua pilihan, yaitu untuk menerapkan ilmu yang mereka miliki dengan bekerja di Belanda atau pulang ke Indonesia. Mereka yang pulang ke Indonesia sebagian besar bekerja di pengadilan dan dalam jumlah yang lebih kecil mencoba membuka kantor advokatnya. Salah satunya ada Besar Mertokusumo yang membuka kantor di Tegal. Minimnya jumlah advokat ketika itu dipengaruhi meningkatnya suhu politik di Indonesia. Mahasiswa hukum yang kembali ke Indonesia kebanyakan langsung terjun ke dunia politik. Tidak mudah untuk menjadi advokat ketika itu, kesulitan itu bukan kesulitan finansial sebab advokat baru kebanyakan berasal dari keluarga dan keturunan kaya. Meski demikian, dari sisi profesionalitas, advokat Indonesia harus bersaing dengan pengacara Belanda yang notabene dekat dengan lembaga hukum yang dikuasai pejabat Belanda.
Profesi advokat tak jarang juga mendapat kecaman dari keluarga. Profesi advokat tak dipandang mentereng layaknya jabatan di pemerintahan. Begitupula dengan keluarga Besar, awalnya keluarga tak menyetujui pilihan Besar menjadi advokat. Bekerja sebagai pamong praja dinilai lebih baik dibandingkan advokat. Padahal ayah Besar adalah jaksa. Namun, Besar tak gentar dengan rintangan tersebut, ia tetap memilih menjadi pengacara. Keluarganya pun akhirnya menerima keputusan Besar hingga ia mengakhiri karirnya sebagai advokat pada 1942.
Berdasarkan Kepres No.048/ TK/ 1992 tanggal 17 Agustus 1992 (secara anumerta) mendapatkan Bintang Mahaputra Utama atas jasa-jasa beliau kepada bangsa dan negara. Meninggal dalam usia 86 tahun dan dimakamkan di Makam Giritama, Tonjong Parung Bogor


Read More..
Bagikan Artikel Ini :

ISLAM DAN ADVOKAT


Islam dan Advokat
Secara kelembagaan, advokat belum dikenal di kalangan orang-orang arab pra Islam. Hanya saja, terdapat praktek yang berlaku saat itu ketika terjadi sengketa antara mereka yaitu mewakilkan atau menguasakan seorang pembicara atau juru debat yang disebut حجيجا (hajij) atau حجاجا (hijaj) untuk membela kepentingan yang memberikan kuasa atau perwakilan (al- Muwakkil). Hal tersebut berlanjut hingga datangnya Islam, advokat belum eksis dan melembaga. Akan tetapi cikal bakal advokat dalam Islam bisa ditelusuri lewat praktek al- Wakalah yang sudah berkembang seiring dengan datangnya Islam. 


Rasulullah saw sendiri pernah mewakilkan kepada sahabat penyerahan seekor unta yang menjadi kewajiban beliau kepada seorang, orang tersebut datang menemui beliau memperkarakan untanya, maka Nabi saw. pun memerintahkan para sahabatnya mencarikan unta yang seusia dengan unta yang dituntut orang tersebut untuk diberikan kepadanya, namun mereka tak mendapatkan kecuali unta yang lebih tua. Nabi saw. pun memerintahkan menyerahkan unta yang lebih tua tersebut kepadanya, maka ia pun berkata kepada Nabi saw., “engkau telah menunaikan kewajibanmu kepadaku, maka Allah akan menunaikan pula kewajiban untukmu”.

Demikian di antara praktek al-Wakalah di zaman rasulullah saw yang berdiri di atas prinsip tolong menolong yang diperintahkan oleh Islam. Al-wakalah inilah yang menjadi bidzr (cikal bakal) profesi advokat. Pada era Khulafa al-Rasyidun, praktek al-Wakalah semakin berkembang. Di masa inilah advokat mulai mengambil bentuknya. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib pernah meminta ‘Uqail mewakilinya sebagai pengacara dalam suatu perkara, begitu pula yang dilakukan Abu Bakar, Umar bin Khaththab dan Uşman bin Affan. Ini berarti, perwakilan melalui seorang advokat dalam masalah- masalah yang disengketakan sudah diakui dan dipraktekkan di zamanKhulafa al- Rasyidun.

Barulah di zaman Dinasti Umayyah, profesi advokat benar-benar melembaga. Hal ini terlihat pada profesi beracara di muka pengadilan Wilayah al-Mazhalim, saat itu yang selalu melibatkan atau menghadirkan al-Humah dan al-A’wan (para pembela dan pengacara). Kehadiran para pengacara ini diharapkan dapat meredam kekerasan dan keangkuhan hati para pejabat pemerintah yang diajukan ke persidangan atas pelangggaran yang dibuatnya terhadap anggota masyarakat.

Di masa Dinasti Abbasiyah, seiring dengan pesatnya perkembangan fiqh dan kajian hukum Islam yang ditandai dengan munculnya mazhab-mazhab hukum Islam, konsep al-Wakalah (perwakilan) khususnya dalam perkara Khushumah (sengketa perselisihan antar anggota masyarakat) baik perdata maupun pidana mulai disempurnakan dan dibakukan. Ulama- ulama masa ini sepakat menetapkan kebolehan menunjuk seorang pengacara dalam pekara-perkara yang dipersengketakan, baik oleh penggugat (al- mudda’iy) terlebih lagi oleh pihak tergugat (mudda’a ‘alaih).

Di masa ini, lembaga tahkim (badan arbitrase) mendapat legalisasi dari pemerintahan Abbasiyah di samping lembaga- lembaga peradilan yang ada. Orang-orang yang berperkara dibenarkan menyerahkan perkaranya kepada seorang hakam yang mereka setujui, tentunya atas dasar kerelaan kedua belah pihak yang berperkara sebelumnya.

Lembaga advokat memasuki babak baru pada era akhir pemerintahan Dinasti Utsmaniyah. Pada Tahun 1846 M, untuk pertama kalinya didirikan sebuah universitas di Astanah yang membawahi sebuah akademi hukum yang nantinya melahirkan advokat. Akademi ini bernama Maktab al-Huquq al-Syhaniy. Pemerintah Utsmaniyah menyaratkan bahwa seorang advokat adalah yang dinyatakan lulus dan menyandang ijazah dari akademi tersebut, di samping harus menguasai bahasa resmi Daulah Utsmaniyah yang sedikit berbeda dengan bahasa Turki.

Sebelumnya, di mesir pada Tahun 1845 M, penguasa mesir menetapkan keputusan resmi yang mengatur tentang keberadaan seorang advokat di muka pengadilan, bahwasanya pihak penggugat maupun tergugat tidak boleh diwakili oleh seorang pengacara kecuali keduanya atau salah satu dari keduanya tidak dapat hadir di persidangan karena alasan syar’i (alasan yang dapat diterima).

Pada Tahun 1861, penguasa Mesir mengadakan kesepakatan dengan para konsulat Negara asing untuk membentuk lembaga peradilan yang memperkarakan orang-orang asing yang menetap di Mesir saat itu. Lembaga ini dinamai Majlis Qawmiyyun Mish. Di lembaga peradilan ini peran advokatsemakin tampak dengan dikeluarkannya aturan bahwa pihak tergugat dapat mengajukan wakilnya untuk beracara di muka persidangan.

Referensi Makalah®

Read More..
Bagikan Artikel Ini :

SEJARAH ADVOKAT DI INDONESIA


Sejarah Advokat di Indonesia
Pada Masa Pra Kemerdekaan
Profesi advokat sesungguhnya sarat dengan idealisme. Sejak profesi ini dikenal secara universal sekitar 2000 tahun lalu, ia sudah dijuluki sebagai “officium nobile” artinya profesi yang mulia dan terhormat. Profesi advokat itu mulia, karena ia mengabdikan dirinya kepada kepentingan masyarakat dan bukan kepada dirinya sendiri, serta ia berkewajiban untuk turut menegakkan hak-hak asasi manusia.
Namun, seringkali dalam kenyataan, orang-orang yang menggeluti profesi advokat tidak dapat menjunjung tinggi idealisme dari profesi itu sendiri. Hal itu bisa karena faktor diluar dirinya yang begitu kuat, tetapi terkadang juga karena kurangnya penghayatan advokat yang bersangkutan terhadap esensi profesinya.
Sejarah keadvokatan di Indonesia tumbuh dan berkembang tidak sebagaimana yang terjadi di Eropa. Sebagaimana di tanah jajahan lainnya, keadvokatan Indonesia memperoleh bentuk pada masa kolonial Belanda. Maka konsekuensi logis apabila model advokat Indonesia dengan sendirinya adalah seperti advokat Belanda.
Besarnya pengaruh kolonial terhadap perkembangan profesi advokat terkait erat dengan perbedaan tradisi hukum anglo-saxon (common law) dan tradisi hukum eropa kontinental (civil law). Misalnya bagi Inggris dan Amerika dengan tradisi hukum common law memandang besarnya jumlah advokat di tanah jajahan sebagai suatu kebaikan, sedangkan bagi Perancis, Belanda, dan Belgia yang bertradisi hukum Eropa Kontinental (civil law) justru sebaliknya, (Daniel S. Lev, 1990).
Di Hindia Belanda (Indonesia) sampai pertengahan tahun 1920-an, semua advokat dan notaris adalah orang Belanda. Hal ini pula yang mempengaruhi mengapa perkembangan advokat pasca kemerdekaan Indonesia masih berjalan lambat. Mengenai hal ini, Daniel S. Lev berpendapat bahwa besar kecilnya jumlah advokat pribumi tergantung kepada kombinasi ideologi pemerintahan dan kebijaksanaan ekonomi kolonialnya, (Daniel S. Lev, 1990).
Pada saat Belanda merampas daerah pedalaman Jawa yang disusul pecahnya perang Napoleon, Belanda mendirikan pemerintahan tidak langsung di Indonesia dengan memanfaatkan persekutuan dengan elite priyayi Jawa. Persekutuan ini meletakkan kaum elit Jawa seolah-olah masih tetap berkuasa, sedangkan Belanda dapat mengeksploitasi kekayaan ini seperti perkebunan hingga seperempat abad kesembilan belas.
Namun terjadi perubahan pada pertengahan abad kesembilan belas, Belanda mengubah kebijaksaan kolonialnya dengan lebih legalitas. Dimulai pada akhir tahun 1840-an, beberapa kitab undang-undang baru diundangkan, organisasi dan kebijaksanaan kehakiman dikembangkan dan dibenahi, serta pemerintahan dirasionalisasi dengan hukum dan peraturan yang cocok. Dengan demikianrechtsstaat diperkenalkan di tanah jajahan, meskipun hanya berorientasi pada kepentingan kolonial, (Daniel S. Lev, 1990).
Pada permulaan abad keduapuluh pemerintah kolonial menganut kebijaksanaan etis, yang bertujuan menciptakan kesejahteraan dan kemajuan sosial golongan pribumi. Kebijakan ini gagal karena pemerintah kolonial lebih mendorong terciptanya ketertiban daripada membangun kepercayaan kemampuan sendiri bagi golongan pribumi.
Sistem peradilan Hindia Belanda terbagi dalam empat jenis peradilan yang berlainan. Pertama, pengadilan pemerintah untuk orang Eropa meliputi pengadilan tingkat pertama residentiegerechtyang menjadi wewenang residen Belanda; pengadilan banding raad van justitie di ibukota dan pengadilan tertinggi, hoogerechtshofKedua,  pengadilan pemerintah untuk orang bukan berupa, pengadilan agama Islam, dan pengadilan adat.
Pengadilan pemerintah bagi orang Indonesia juga memiliki tiga tingkatan yakni districtsgerecht, regentschapsgerecht, dan landraadLandraad inilah yang menjadi cikal bakal pengadilan negeri Indonesia. Pada tahun 1938, putusan landraad dapat dibanding pada raad van justitie Sebagian besar hakim landraad adalah orang Belanda, namun sejak 1920-an dan 1930-an beberapa orang ahli hukum Indonesia berpendidikan hukum diangkat sebagai hakim. Pengadilan Indonesia menggunakan KUH Pidana dengan hukum acara yang dikenal HerzieneInlandse Reglement (HIR), (Daniel S. Lev, 1990).
Pemerintah kolonial tidak mendorong orang-orang Indonesia untuk bekerja sebagai advokat. Pada 1909 pemerintah kolonial mendirikan Rechtsschool di Batavia dan membuka kesempatan pendidikan hukum bagi orang pribumi hingga tahun 1922, namun kesempatan hanya dimanfaatkan kaum priyayi. Pada tahun 1928, Rechtsschool meluluskan hampir 150 orang rechtskundigen(sarjana hukum). Namun mereka ini hanya menjadi panitera, jaksa dan hakim tidak sebagai notaris dan advokat.                                                                                           
Hingga pada tahun 1940 terdapat hampir tiga ratus orang Indonesia asli menjadi ahli hukum sampai pada pendudukan Jepang. Para advokat Indonesia angkatan pertama menetap di Belanda sebagai advokat. Diantara empat puluh orang Indonesia yang meraih gelar sarjana hukum di Leiden, tidak kurang dari enam belas orang menjadi advokat sepulang ke Indonesia.[1]
Salah seorang tokoh yang mendorong perkembangan advokat Indonesia adalah Mr. Besar Martokusumo. Pada saat itu tidak satupun kantor advokat yang besar kecuali kantor Mr. Besar di Tegal dan Semarang, dan kantor advokat  Mr. Iskak di Batavia. Bagi advokat Indonesia asli memulai praktik adalah langkah yang sulit. Hal ini terjadi karena advokat Belanda mengganggap mereka sebagai ancaman dalam persaingan.
Perkembangan sistem hukum pemerintahan kolonial telah memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan advokat pribumi pada masa itu. Seiring dengan itu semangat nasionalisme para advokat Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan menjadikan para advokat Indonesia terlibat aktif pada berbagai organisasi pergerakan.
Dapat dikemukan berbagai pengaturan profesi advokat pada masa pra kemerdekaan tersebut adalah sebagai berikut:
a.      Staatblad Tahun 1847 Nomor 23 dan Staatblad Tahun 1848 Nomor 57 tentang Reglement op de rechtelijk organisatie en het beleid de justitie in Indonesie atau dikenal dengan RO, pada Pasal 185 s/d 192 mengatur tentang “advocatenen procureurs” yaitu penasehat hukum yang bergelar sarjana hukum.
b.      Staatblad Tahun 1847 Nomor 40 tentang Reglement op de Rechtsvordering (RV), dalam peradilan khusus golongan Eropa (Raad van Justitie) ditentukan bahwa para pihak harus diwakili oleh seorang advokat atau procureur.
c.      Penetapan Raja tanggal 4 Mei 1926 Nomor 251 jo. 486 tentang Peraturan Cara Melakukan Menjalankan Hukuman Bersyarat, pada Bab I Bagian II Pasal 3 ayat 3 ditentukan bahwa orang yang dihukum dan orang yang wajib memberikan bantuan hukum kepadanya sebelum permulaan pemeriksaan.
d.      Staatblad Tahun 1926 nomor 487 tentang Pengawasan Orang yang Memberikan Bantuan Hukum, ditentukan bahwa pengawasan terhadap orang-orang yang memberikan bantuan hukum atau orang yang dikuasakan untuk menunjuk lembaga dan orang yang boleh diperintah memberi bantuan.
e.      Staatblad Tahun 1927 Nomor 496 tentang Regeling van de bijstaan en vertegenwoordiging van partijen in burgerlijke zaken voor de landraden, mengatur tentang penasehat hukum yang disebut “zaakwaarnemers’ atau pada masa tersebut dikenal dengan “pokrol”.
f.        Staatblad Tahun 1941 Nomor 44 tentang Herziene Inlandsch Reglement (HIR), dalam Pasal 83 h ayat 6 ditentukan bahwa jika seseorang dituduh bersalah melakukan sesuatu kejahatan yang dapat dihukum dengan hukuman mati, maka magistraat hendak menanyakan kepadanya, maukah ia dibantu di pengadilanoleh seorang penasehat hukum. Dan Pasal 254 menentukan bahwa dalam persidangan tiap-tiap orang yang dituduh berhak dibantu oleh pembela untuk mempertahankan dirinya.
g.      Staatblad Tahun 1944 Nomor 44 tentang Het Herziene Inlandsch Reglement atau RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaharui), menurut Pasal 123 dimungkinkan kepada pihak yang berperkara untuk diwakili oleh orang lain.
Berbagai ketentuan hukum diatas mendasari profesi advokat pada masa pra kemerdekaan, meski masih mengutamakan advokat Belanda. Akan tetapi berbagai pengaturan itu sedikitnya telah mendasari perkembangan advokat Indonesia pada masa selanjutnya.                                             
Advokat Sejak Masa Kemerdekaan
Perkembangan pengaturan profesi advokat di Indonesia dilanjutkan pada masa pendudukan Jepang. Pemerintah kolonial Jepang tidak melakukan perubahan yang berarti mengenai profesi ini. Hal ini terbukti pada UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Wetboek van strafrecht voor Nederlands Indie tetapi digunakan istilah KUH Pidana. UU ini memuat pengaturan tentang kedudukan advokat dan procureur dan orang-orang yang memberikan bantuan hukum.
Pengaturan profesi advokat secara sporadis tersebar dalam berbagai ketentuan perundang-undangan termasuk didalamnya ketentuan pada masa kolonial Belanda. Bahkan pengaturan profesi advokat sejak proklamasi 17 Agustus 1945 justru kurang mendapat perhatian. Hal ini ditunjukkan dengan tidak ditemukannya istilah advokat atau istilah lain yang sepadan dimasukkan dalam UUD 1945. Demikian pula pada UUD RIS 1949 yang digantikan dengan UUDS 1950.[2]
Sehingga ironi dalam pembangunan hukum di Indonesia, tidak mengatur secara khusus profesi advokat sebagaimana profesi hukum lainnya, padahal profesi ini sebagai salah satu unsur penegak hukum. Akibatnya menimbulkan berbagai keprihatinan dan kesimpangsiuran menyangkut profesi tersebut. Seirama dengan merosotnya wibawa hukum (authority of law) dan supremasi hukum (supremacy of law), maka profesi hukum ini juga terbawa arus kemerosotan.
Meskipun demikian secara implisit, terdapat beberapa ketentuan yang mengisyaratkan pengakuan terhadap profesi ini, antara lain sebagai berikut :
a.      UU Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan untuk Jawa dan Madura, dalam Pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa peminta atau wakil dalam arti orang yang diberi kuasa untuk itu yaitu pembela atau penasehat hukum.
b.      UU Nomor 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung dalam Pasal 42 memberikan istilah pemberi bantuan hukum dengan kata PEMBELA.
c.      UU Drt. Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara Penyelenggaraan Kekuasaan dan Acara Pengadilan sipil, memuat ketentuan tentang bantuan hukum bagi tersangka atapun terdakwa.
d.      UU Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diganti dengan UU Nomor 14 Tahun 1970, menyatakan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
e.      UU Nomor 13 Tahun 1965 tentang Mahkamah Agung, diganti dengan UU Nomor 14 Tahun 1985, pada Pasal 54 bahwa penasehat hukum adalah mereka yang melakukan kegiatan memberikan nasehat hukum yang berhubungan suatu proses di muka pengadilan.
f.        UU Nomor 1 Tahun 1981 tentang KUHAP, dalam Pasal 54 s/d 57 dan 69 s/d 74 mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan penasehat hukum dan tata cara penasehat hukum berhubungan dengan tersangka dan terdakwa.
g.      UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, mengakui keberadaan penasehat hukum dalam memberi bantuan hukum kepada tersangka atau terdakwa.
h.      Surat Edaran dan Surat Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman, dan sebagainya.
Bahkan sebenarnya Pasal 38 UU Nomor 14 Tahun 1970[3], telah mengisyaratkan perlunya pengaturan profesi advokat dalam UU tersendiri. Namun hal itupun tidak menjadi perhatian pemerintah hingga akhirnya tuntutan pengaturan tersebut semakin besar di kalangan organisasi advokat. Setelah 33tahun, barulah perjuangan itu berhasil melalui UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Berbagai argumentasi yang melatarbelakangi lambatnya respon pemerintah terhadap pengaturan profesi advokat ini. Diantaranya terkait dengan tipe kepemimpinan pemerintahan pada masa itu. Misalnya pemerintahan Bung Karno pada masa orde lama, pernah berkata kepada Mr. Sartono yang menjadi pembelanya di landraad Bandung 1930, berikut petikannya :
Mr. Sartono, aku pujikan segala usaha-usaha kamu, para advokat selalu berpegang teguh kepada UU. Mereka lebih kuat menganut cara menembus UU, suatu revolusi menolak UU yang berlaku hari ini dan maju diatas basis meninggalkan UU itu. Karena sulit untuk melancarkan suatu revolusi beserta kaum advokat dan pengacara. Adalah juga sulit untuk membangun pertahanan suatu revolusi dengan para advokat dan pengacara. Yang kami harapkan adalah luapan semangat peri kemanusiaan. Inilah yang akan kukerjakan”.
Demikian pula pada pemerintahan orde baru, campur tangan pemerintah dalam pembentukan dan perpecahan organisasi advokat telah menyebabkan tingkah laku, praktek dan sepak terjang pada advokat menjadi tidak terkontrol lagi oleh organisasi profesi yang seharusnya ketat memberlakukan Kode Etik Profesi Advokat dan mengawasi praktek profesi advokat.
Sejak lahirnya UU Advokat, profesi advokat mendapat pengakuan sehingga setara dengan penegak hukum lainnya dalam prakteknya. Pengaturan ini juga berimplikasi pada rekturtmen advokat secara sistematis sehingga diharapkan para advokat nantinya dapat melaksanakan amanat profesi ini sebagai profesi yang mulia (officium nobile).

Read More..
Bagikan Artikel Ini :

sejarah advokat


Sejarah advokat
Advokat itu adalah sebuah nama orang pada zaman kerajaan Athena kuno dulu. Pada zaman kerajaan Athena kuno dulu, setiap orang yang bersalah langsung diberi hukuman oleh Raja dengan semaunya saja, tanpa didasari oleh pertimbangan-pertimbangan. Hal ini lah yang menggerakkan hati si Advokat untuk membela setiap orang yang bersalah pada waktu itu, dengan alasan agar terciptanya keadilan bagi masyarakat. semenjak dari itu, si Advokat diangkat oleh kerajaan sebagai pembela orang-orang yang berperkara, dan si Advokat ini tidak meminta bayaran kepada orang yang dia bela. dia bekerja atas kemauan hati nuraninya dengan harapan terciptanya keadilan didalam masyarakat. Sejak zaman dulu, profesi advokat sudah dikenal sebagai profesi yang mulia (officium nobile). disebutnya Advokat sebagai profesi yang mulia karena Advokat mengabdikan dirinya serta kewajibannya kepada kepentingan masyarakat dan bukan semata-mata karena kepentingannya sendiri. Advokat juga turut serta dalam menegakkan hak-hak azasi manusia baik tanpa imbalan maupun dengan imbalan.
Pada abad pertengahan, mengenai bantuan hukum ini mendapat motivasi baru sebagai akibat agama kristen, yang membuat orang-orang untuk berlomba-lomba memberikan derma (Charity), nilai-nilai kemuliaan (Nobility) dan jiwa kesatria (Chivalry) yang kesemuanya ini didasari oleh sifat kemanusiaan (Humanity).
Berdasarkan Buku Frans Hendra Winarta, 1995 :

1. Kata Advokat itu sendiri berasal dari bahasa latin, yaitu ADVOCARE yang berarti To defend, to call to one’s aid, to vouch or to warrant.
2. dalam bahasa Inggris Advokat itu disebut ADVOCATE, yang berarti to speak in favor of or defend by argument, to support, indicate or recommend publicly
3. Sedangkan kata Profesi berasal dari bahasa Inggris, yaitu Profession, yang mempunyai arti sebagai bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian, keterampilan, kejuruan, dan lain sebagainya.
Sejarah keadvokatan di Indonesia tumbuh, berkembang dan memperoleh bentuk pada saat masa kolonial Belanda.
Sedangkan menurut UU Advokat Indonesia Pasal 1 angka 1 menerangkan bahwa advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undan-undang ini.


Read More..
Bagikan Artikel Ini :

Wednesday, 13 February 2013

PAPUA DIANTARA AMERIKA, AUSTRALIA DAN INDONESIA


Sebenarnya siapa pemilik Papua saat ini ? apakah Amerika, Australia atau INDONESIA ?
Sungguh aneh memang memertanyakan kepemilikan Papua saat ini, karena memang Bumi Cendrawasih terletak di daerah teritorial Indonesia, namun apakah kalian tahu manuver-manuver asing yang ada di Papua, lantas siapa yang sebenarnya ada dibalik manuver-manuver tersebut ??? simak lur 


Mari kita tengok kembali zaman perjuangan dimana  semangat juang bangsa Indonesia kala itu untuk merebut kembali Irian Barat dari Belanda. Selain bergerilya melalui jalur militer, bangsa ini juga menggunakan cara diplomasi yang juga memegang peranan penting kala itu, dan siapakah yang menjadi penengah kala diplomasi itu ? ya, dialah Amerika. Langkah-langkah mereka membantu kita untuk membebaskan Irian Barat dari tangan Belanda, dan disatu sisi Amerika melihat ini sebagai peluang untuk memperluas jangkauan kedigdayaannya, terutama melalui Sumber Daya Alam di Papua. Amerika adalah negara pertama yang menemukan Ertsberg (daerah tambang PT Freeport) yang mengandung sekitar 13 juta ton bijih, melalui ekspedisinya untuk mendaki gunung gletser di Jayawijaya. Amerika telah memetakan sumber daya alam terbesar di Indonesia (Ekspedisi Colijn), menyusun strategi, hingga berdiplomat dengan pemerintah dan pengerukan sumber daya alam terus berlangsung. PT. Freeport sebagai wujud strateginya telah menjadi salah satu produsen emas terbesar di dunia..Pada mulanya di rezim Soekarno yang pro Rusia, Freeport  amat sulit untuk memperoleh izin tambang disana, namun ketika Soekarno lengser dan pucuk kepemimpinan dipegang oleh Soeharto, Indonesia justru membuka izin tambang dan investasi disana.Sekarang ini kepemilikan saham PT. Freeport Indonesia adalah 90,64% PT. Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc dan 9,36 milik pemerintah Indonesia. Pemilik saham terbesar,PT Freeport Mcmoran Richard Adkerson di Honolulu, Hawaii, memiliki wewenang terbesar dalam mengambil manajemen perusahaan, termasuk pemasaran, sehingga menyebab kerugian yang teramat besar bagi Indonesia. 
           
Dan kini, informasi terbaru mengungkapkan bahwa sejumlah anggota Parlemen dari Australia dan sekitar Pasifik membuka sebuah babak baru, yakni semacam kelompok politisi internasional yang tujuannya cuma satu: mendukung Papua untuk Merdeka.
Wakil-wakil dari Vanuatu, Selandia Baru, Papua New Guinea dan Australia telah diundang untuk ikut bergabung dalam International Parliamentarians for West Papua. Dalam pertemuan antara SBY dan Julia Gillard serta Paul Henderson "Saya katakan Papua adalah wilayah sah NKRI. Kami terus melakukan segala sesuatu untuk membawa kesejahteraan, keadilan, dan sejumlah upaya nasional yang lebih baik lagi untuk Papua," kata Presiden SBY di Darwin, Australia, seperti dikutip dari laman Setkab.go.id, Rabu (4/7). 
SBY lantas mengatakan bahwa Julia dan Paul juga mendukung sikap Indonesia tersebut. "Sikap keduanya jelas, yakni mendukung penuh kedaulatan Indonesia," ujarnya dalam keterangan pers sebelum meninggalkan Darwin. Namun siapa yang bisa menduga politik luar negeri yang berubah-ubah seiring dengan perubahan politik domestiknya. Ambil contoh ketika Indonesia menguasai Timor Timur mendapat dukungan dari Presiden Nixon dari Partai Demokrat AS, namun ketika Partai Republik AS berkuasa malah menentang penguasaan Indonesia atas Timor Timur.

“…Dan apa yang dinamakan tanah air Indonesia? Yang dinamakna tanah air Indonesia ialah segenap wilayah yang dulu dijajah oleh pihak Belanda, yang dulu dinamakan Hindia Belanda, yang dulu dinamakan Nederlands Indië. Itulah wilayah Republik Indonesia. Dengarkan benar kataku, itulah wilayah Republik Indonesia. Itu berarti bahwa sejak 17 Agustus 1945 Irian Barat telah masuk di dalam wilayah Republik Indonesia. Apa yang belum terjadi? Karena penjajah Belanda di Irian Barat sesudah proklamasi itu masih berjalan terus, maka Irian Barat belum kembali termasuk di dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Sehingga kita punya perjuangan yang lalu ialah Saudara-Saudara perhatikan benar-benar, bukan memasukan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Kesalahan ini masih kadang-kadang dibuat. Orang masih berkata, berjuang memasukan Irian Barat kembali ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Tidak!
Irian Barat sejak 17 Agustus 1945 sudah masuk dalam wilayah Republik Indonesia. Orang kadang-kadang berkata, memasukan Irian Barat ke dalam wilayah Ibu Pertiwi. Salah! Tidak! Irian Barat sejak daripada dulu sudah masuk ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia…”
(Dikutip dari Pidato Bung Karno di Kota Baru, Jayapura, tanggal 4 Mei 1963)
Read More..
Bagikan Artikel Ini :