skip to main |
skip to sidebar
Perubahan Rancangan Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang akan dilakukan oleh pemerintah terus bergulir dan menjadi polemik sampai saat ini. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) , warisan zaman kolonial yang disahkan Belanda pada 1872 telah dipegang Indonesia sejak 1946, sudah lama perlu direvisi. KUHP sendiri pada waktu itu diberlakukan dalam rangka mengisi kekosongan hukum yang terjadi. Kelompok-kelompok masyarakat pun sudah berkampanye selama bertahun-tahun untuk mengubah KUHP. Banyak sekali alasan-alasan yang melatarbelakangi perlunya revisi atas kitab tersebut. Prof Sudharto menyebut setidaknya ada 3 (tiga) alasan pokok perlunya pembaharuan KUHP, yaitu bahwasanya negara yang merdeka harus memiliki KUHP sendiri (alasan politis), KUHP dibuat dengan bahasa Belanda sehingga banyak penegak hukum Indonesia tidak menegrti (alasan praktis), dan pandangan hidup masyarakat eropa yang individualistis berbeda dengan bangsa Indonesia yang bersifat kebersamaan (alasan sosiologis). Prof Muladi menambahkan satu alasan yaitu KUHP harus mampu mengadopsi kepentingan Internasional dalam kepentingan nasional utamanya dalam hal tindak pidana transnasional (alasan adaptif).
Pro Kontra seputar revisi KUHP dan KUHAP seakan tidak ada habisnya. Berbagai macam pendapat terus bergulir utamanya menyangkut beberapa substansi yang dibahas dalam RUU KUHP dan RUU KUHAP. KPK misalnya meminta untuk dilakukan penundaan dalam pembahasan KUHP dan KUHAP dengan alasan menghambat pemberantasan korupsi, Pemerintah dan DPR sendiri hingga kini belum menunjukan sikap untuk meninjau ulang atau tidak, sedangkan Ketua DPR, Marzuki Alie, menyatakan dengan tegas bahwa pembahasan kedua kitab tersebut harus diteruskan dengan alasan merupakan warisan kolonialisme dan terdapat banyak kekurangan dalam sistem hukum kita.
Sebenarnya dimana letak substansi dalam RUU KUHP dan KUHAP yang dianggap oleh beberapa kalangan menghambat penegakan hukum di Indonesia?
Di dalam RUU KUHP saat ini memasukkan kembali kejahatan korupsi dan kejahatan luar biasa lainnya ke dalam Buku II RUU KUHP, akibatnya maka delik korupsi tidak lagi menjadi kejahatan luar biasa dan disamakan dengan kejahatan umum lainnya seperti pencurian.
Sedangkan beberapa pasal dalam RUU KUHAP yang berpotensi untuk melemahkan pemberantasan korupsi adalah pertama, hapusnya ketentuan penyelidikan. Kedua, adanya Hakim Pemeriksa Pendahuluan untuk memutus layak atau tidak layak untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan.Ketiga, Masa penahanan kepada tersangka lebih singkat. Masa Penahanan dalam RUU KUHAP lebih singkat dari UU KUHAP yang saat ini berlaku. Dalam Pasal 60 RUU KUHAP, masa penahanan ditingkat penyidikan hanya 5 hari dan dapat diperpanjang hingga 30 hari. Bandingkan dengan masa penahanan dalam Pasal 24 KUHAP yang saat ini berlaku yaitu selama 20 hari dan dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama 40 hari. Keempat, Hakim dapat menangguhkan Penahanan yang dilakukan penyidik. Dampaknya, jika tersangka atau terdakwa meminta, maka Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menangguhkan penahanan yang dilakukan oleh KPK.
Kelima, Penyitaan harus diizinkan hakim. Keenam, Penyadapan harus mendapat izin hakim.Ketujuh, Penyadapan (dalam keadaan mendesak) dapat dibatalkan oleh hakim. Pasal 84 RUU KUHAP mengatur bahwa dalam keadaan mendesak, penyidik dapat menyadap tanpa surat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Dalam ketentuan lain, disebutkan jika Hakim Pemeriksa Pendahuluan tidak memberi persetujuan penyadapan, maka penyadapan KPK dapat dihentikan. Kedelapan, Putusan Bebas tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Kesembilan, Putusan Mahkamah Agung tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi. Kesepuluh, Ketentuan pembuktian terbalik tidak diatur. RUU KUHAP tidak mengakomodir pembalikan beban pembuktian untuk kejahatan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dalam Undang-undang TPPU yang sekarang berlaku, beban pembuktian terbalik sempurna, di mana seseorang harus menjelaskan asal-usul kekayaannya. Kesebelas, Kesebelas, KUHAP berlaku terhadap tindak pidana yang diatur dalamUU diluar KUHP. Pasal 3 ayat 2 RUU KUHAP mengatur tentang ketentuan dalam UU ini berlaku juga terhadap tindak pidana yang diatur dalam UU di luar KUHP, kecuali undang-undang tersebut menentukan lain. Ketentuan ini bisa meniadakan hukum acara khusus dalam penanganan kasus korupsi (sebagaimana diatur dalam UU KPK) yang saat ini digunakan KPK. Keduabelas, Tidak memiliki kewenangan perpanjangan penahanan pada tahap Penyidikan Pasal 58 RUU KUHAP juga mengatur tentang persetujuan penahanan pada tahap penyidikan yang melebihi 5 x 24 (lima kali dua puluh empat). KPK dapat dianggap tidak memiliki kewenangan. Sebab, RUU KUHAP hanya menyebutkan kepala kejaksaan negeri dalam hal penahanan dilakukan oleh kejaksaan negeri; kepala kejaksaan tinggi dalam hal penahanan dilakukan oleh kejaksaan tinggi; atau Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung dalam hal penahanan dilakukan oleh Kejaksaan Agung
Pembahasan kedua RUU ini juga tidak tepat dilakukan pada saat ini karena masa jabatan DPR kurang lebih hanya tinggal 100 hari masa kerja efektif sehingga tidak akan dapat melakukan pembahasan secara serius dan mendetail terhadap lebih dari 1000 pasal di kedua RUU tersebut. Sehingga ada baiknya di lakukan penundaan terlebih dahulu dalam pembahasan kedua RUU tersebut dan diserahkan kepada DPR periode 2014-2019. Koordinasi lebih lanjut antara pemerintah, DPR, akademisi, praktisi, dan aparat penegak hukum juga diperlukan untuk mematangkan kedua RUU tersebut mengingat perannya yang sangat fundamental dalam penegakan hukum pidana di Indonesia.
Pebri tuwanto
belajar menulis dalam kesederhanaan, kemudahan, dan kejujuran.
Friday, 4 April 2014
Lika-Liku RUU KUHP dan KUHAP dalam Pemberantasan Korupsi
Perubahan Rancangan Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang akan dilakukan oleh pemerintah terus bergulir dan menjadi polemik sampai saat ini. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) , warisan zaman kolonial yang disahkan Belanda pada 1872 telah dipegang Indonesia sejak 1946, sudah lama perlu direvisi. KUHP sendiri pada waktu itu diberlakukan dalam rangka mengisi kekosongan hukum yang terjadi. Kelompok-kelompok masyarakat pun sudah berkampanye selama bertahun-tahun untuk mengubah KUHP. Banyak sekali alasan-alasan yang melatarbelakangi perlunya revisi atas kitab tersebut. Prof Sudharto menyebut setidaknya ada 3 (tiga) alasan pokok perlunya pembaharuan KUHP, yaitu bahwasanya negara yang merdeka harus memiliki KUHP sendiri (alasan politis), KUHP dibuat dengan bahasa Belanda sehingga banyak penegak hukum Indonesia tidak menegrti (alasan praktis), dan pandangan hidup masyarakat eropa yang individualistis berbeda dengan bangsa Indonesia yang bersifat kebersamaan (alasan sosiologis). Prof Muladi menambahkan satu alasan yaitu KUHP harus mampu mengadopsi kepentingan Internasional dalam kepentingan nasional utamanya dalam hal tindak pidana transnasional (alasan adaptif).
Pro Kontra seputar revisi KUHP dan KUHAP seakan tidak ada habisnya. Berbagai macam pendapat terus bergulir utamanya menyangkut beberapa substansi yang dibahas dalam RUU KUHP dan RUU KUHAP. KPK misalnya meminta untuk dilakukan penundaan dalam pembahasan KUHP dan KUHAP dengan alasan menghambat pemberantasan korupsi, Pemerintah dan DPR sendiri hingga kini belum menunjukan sikap untuk meninjau ulang atau tidak, sedangkan Ketua DPR, Marzuki Alie, menyatakan dengan tegas bahwa pembahasan kedua kitab tersebut harus diteruskan dengan alasan merupakan warisan kolonialisme dan terdapat banyak kekurangan dalam sistem hukum kita.
Sebenarnya dimana letak substansi dalam RUU KUHP dan KUHAP yang dianggap oleh beberapa kalangan menghambat penegakan hukum di Indonesia?
Di dalam RUU KUHP saat ini memasukkan kembali kejahatan korupsi dan kejahatan luar biasa lainnya ke dalam Buku II RUU KUHP, akibatnya maka delik korupsi tidak lagi menjadi kejahatan luar biasa dan disamakan dengan kejahatan umum lainnya seperti pencurian.
Sedangkan beberapa pasal dalam RUU KUHAP yang berpotensi untuk melemahkan pemberantasan korupsi adalah pertama, hapusnya ketentuan penyelidikan. Kedua, adanya Hakim Pemeriksa Pendahuluan untuk memutus layak atau tidak layak untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan.Ketiga, Masa penahanan kepada tersangka lebih singkat. Masa Penahanan dalam RUU KUHAP lebih singkat dari UU KUHAP yang saat ini berlaku. Dalam Pasal 60 RUU KUHAP, masa penahanan ditingkat penyidikan hanya 5 hari dan dapat diperpanjang hingga 30 hari. Bandingkan dengan masa penahanan dalam Pasal 24 KUHAP yang saat ini berlaku yaitu selama 20 hari dan dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama 40 hari. Keempat, Hakim dapat menangguhkan Penahanan yang dilakukan penyidik. Dampaknya, jika tersangka atau terdakwa meminta, maka Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menangguhkan penahanan yang dilakukan oleh KPK.
Kelima, Penyitaan harus diizinkan hakim. Keenam, Penyadapan harus mendapat izin hakim.Ketujuh, Penyadapan (dalam keadaan mendesak) dapat dibatalkan oleh hakim. Pasal 84 RUU KUHAP mengatur bahwa dalam keadaan mendesak, penyidik dapat menyadap tanpa surat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Dalam ketentuan lain, disebutkan jika Hakim Pemeriksa Pendahuluan tidak memberi persetujuan penyadapan, maka penyadapan KPK dapat dihentikan. Kedelapan, Putusan Bebas tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Kesembilan, Putusan Mahkamah Agung tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi. Kesepuluh, Ketentuan pembuktian terbalik tidak diatur. RUU KUHAP tidak mengakomodir pembalikan beban pembuktian untuk kejahatan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dalam Undang-undang TPPU yang sekarang berlaku, beban pembuktian terbalik sempurna, di mana seseorang harus menjelaskan asal-usul kekayaannya. Kesebelas, Kesebelas, KUHAP berlaku terhadap tindak pidana yang diatur dalamUU diluar KUHP. Pasal 3 ayat 2 RUU KUHAP mengatur tentang ketentuan dalam UU ini berlaku juga terhadap tindak pidana yang diatur dalam UU di luar KUHP, kecuali undang-undang tersebut menentukan lain. Ketentuan ini bisa meniadakan hukum acara khusus dalam penanganan kasus korupsi (sebagaimana diatur dalam UU KPK) yang saat ini digunakan KPK. Keduabelas, Tidak memiliki kewenangan perpanjangan penahanan pada tahap Penyidikan Pasal 58 RUU KUHAP juga mengatur tentang persetujuan penahanan pada tahap penyidikan yang melebihi 5 x 24 (lima kali dua puluh empat). KPK dapat dianggap tidak memiliki kewenangan. Sebab, RUU KUHAP hanya menyebutkan kepala kejaksaan negeri dalam hal penahanan dilakukan oleh kejaksaan negeri; kepala kejaksaan tinggi dalam hal penahanan dilakukan oleh kejaksaan tinggi; atau Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung dalam hal penahanan dilakukan oleh Kejaksaan Agung
Pembahasan kedua RUU ini juga tidak tepat dilakukan pada saat ini karena masa jabatan DPR kurang lebih hanya tinggal 100 hari masa kerja efektif sehingga tidak akan dapat melakukan pembahasan secara serius dan mendetail terhadap lebih dari 1000 pasal di kedua RUU tersebut. Sehingga ada baiknya di lakukan penundaan terlebih dahulu dalam pembahasan kedua RUU tersebut dan diserahkan kepada DPR periode 2014-2019. Koordinasi lebih lanjut antara pemerintah, DPR, akademisi, praktisi, dan aparat penegak hukum juga diperlukan untuk mematangkan kedua RUU tersebut mengingat perannya yang sangat fundamental dalam penegakan hukum pidana di Indonesia.
Pebri tuwanto
0 comments:
Post a Comment