skip to main |
skip to sidebar
Lima belas tahun setelah gerakan reformasi 1998 tampaknya harapan rakyat akan terwujudnya pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme masih jauh dari asa. Alih-alih mewujudkannya, seiring dengan berjalannya waktu korupsi di Indonesia kini justru semakin canggih dengan terlibatnya orang-orang profesional yang menyalahgunakan kemampuan dan kekuasaannya.
Korupsi kini telah berkembang semakin sistematis seperti money loundry, cyber crime dan white colar crime. Salah satu contoh korupsi bersifat white colar crime yang begitu akrab ditelinga kita adalah “Skandal Bank Century”. Skandal megakorupsi yang menjadi pekerjaan rumah KPK ini memang penuh akan kontroversi. Kelahirannya dari proses merger yang bermasalah, telah merambat sepertihalnya virus yang tidak diobati, semakin lama semakin berbahaya. Boediono dianggap figur sentral dan paling menentukan di balik skandal dana talangan. Ia yang mengusulkan agar KSSK yang dipimpin Menteri Keuangan saat itu yang kini bekerja untuk Bank Dunia, Sri Mulyani, memberikan status “Bank Gagal Berdampak Sistemik” kepada Bank Century. Selain itu, Boediono juga mengusulkan agar KSSK mengucurkan dana talangan sebesar Rp 632 miliar untuk mendongkrak rasio kecukupan modal bank itu.
Dampak Sistemik Antara Ada dan Tiada
Menurut Arkelof (1998) yang juga pemenang Nobel Ekonomi, penyaluran dana talangan akan memicu upaya penjarahan oleh pengurus bank dalam skala besar. Mengenai kondisi krisis pada Oktober-November 2008, menurut Boediono, hal itu cukup mengancam perekonomian Indonesia. Kegagalan suatu institusi keuangan, sekecil apa pun, bisa menimbulkan dampak sistemik. Saat itu Indonesia tidak menerapkan blanket guarantee yang menjamin semua deposito simpanan di bank sehingga langkah penyelamatan Bank Century menjadi satu-satunya cara agar tidak terjadi krisis sistemik. Boediono meyakini, langkah penyelamatan atau pengambilalihan Bank Century merupakan langkah yang tepat. Hal itu terbukti dengan situasi krisis yang dapat dilewati pada 2009 dan perekonomian Indonesia terus tumbuh. Bahkan, pada tahun 2012, pertumbuhan ekonomi menempati peringkat kedua dunia, di bawah China.
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menolak penilaian BI. Menurut BKF, analisa risiko sistemik yang diberikan BI belum didukung data yang cukup dan terukur untuk menyatakan bahwa Bank Century dapat menimbulkan risiko sistemik. Menurut BKF, analisa BI lebih bersifat analisa dampak psikologis. Sikap Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) pun hampir serupa. Dengan mempertimbangkan ukuran Bank Century yang tidak besar, secara finansial Bank Century tidak akan menimbulkan risiko yang signifikan terhadap bank-bank lain. Sehingga risiko sistemik lebih kepada dampak psikologis. Tetapi Boediono bertahan pada pendapatnya. Jusuf Kalla yang kala itu menjabat sebagai wakil presiden, meyakini bahwa kasus ini bukan terkait krisis keuangan global, sehingga ia tidak mencium adanya dampak sistemik. Ia meyakini bahwa kolapsnya Bank Century adalah karena aksi perampokan oleh pemiliknya sendiri.
Jalan Terjal Pemakzulan Boediono
Wacana pemakzulan Wapres Boediono senantiasa bergulir dari hari kehari. Padahal menurut Jimly Asshidiqie “Proses pemakzulan terhadap Boediono baru bisa dilakukan jika ada tindak pidana yang sudah terbukti di pengadilan”. Sedangkan temuan pansus century adalah kesimpulan politik yang tidak dapat dijadikan alat bukti di pengadilan. Proses lain yang harus dilewati sebelum dilakukan pemakzulan adalah pernyataan pendapat dari DPR-RI. Ini tidak mudah mengingat DPR dikuasai parpol koalisi pendukung pemerintah. Kalaupun PKS membelot dari koalisi, kemungkinan keluarnya hak menyatakan pendapat dari DPR tetap akan sulit. Partai Demokrat, Golkar, PAN, PPP dan PKB, sudah menyatakan komitmen dukungan kepada kepemimpinan SBY-Boediono hingga akhir masa pemerintahan tahun 2014.
Jalan berliku lain dalam pemakzulan Boediono ialah karena kasus century ini terkait dengan kebijakan. Mahfud MD menjelaskan “kebijakan murni pejabat tidak bisa dihukum, karena sifatnya berdasarkan kewenangan pejabat saat itu. Namun pada prosesnya, bisa saja sebuah kebijakan pejabat diajukan ke hukum jika ada kesalahan dan ada buktinya”. Kalaupun ada ada indikasi pidana Boediono belum tentu bisa dimakzulkan, karena Boediono menyetujui pengucuran dana Century ketika ia menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia, bukan sebagai Wakil Presiden. Itu artinya harus ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa Boediono bersalah dan melakukan tindak pidana, kemudian barulah Boediono harus turun dari jabatan Wakil Presiden karena syarat menjadi Presiden ialah tidak pernah atau tidak sedang menjalani pidana, dan apabila hal itu terjadi proses pengadilan akan memakan waktu yang lama.
Prahara Pesta Demokrasi 2014
Bagi saya pribadi kasus bank century ini harus selesai sebelum 2014, dimana suhu politik akan semakin memanas. Sebelum memasuki tahun 2014 penanganan kasus century ini harus jelas siapa yang salah dan siapa yang benar. Ibarat balap mobil, pedal gas akan diinjak habis menjelang finis. Jangan sampai para politisi yang memperebutkan kursi di senayan menjadikan Century sebagai pedal gas untuk melewati lawan-lawan politiknya. Hal ini amat masuk akal, karena Partai Demokrat yang notabene mitra pemerintah meyakini bahwa kebijakan bail out dan FPJP sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sudah diserang dari berbagai sudut. Serangan terhadap Partai Demokrat sudah dimulai sejak banyak kalangan menduga ada indikasi aliran dana century mengalir untuk dana kampanye SBY-Boediono. Meskipun hasil penelitian dari PPATK tidak ada aliran dana ke rekening Partai Demokrat dan tim kampanye SBY-Boediono, dugaan seperti itu tentunya dapat mengubah iklim politik nasional karena masyarakat Indonesia belum pandai berpolitik, hal ini dibuktikan dengan masih mudahnya mereka terprovokasi akan isu politik yang ada meskipun belum terbukti.
Oleh karena itu skandal century ini harus diselesaikan dengan adil dan cermat agar kelak tidak menjadi batu sandungan dalam pesta demokrasi. KPK harus segera mengkonfrontasi Boediono, Jusuf Kalla, dan Sri Mulyani secara bersamaan untuk memperoleh titik terang kasus ini. Dengan dipertemukan bersama, diharapkan keterangan dari mereka dapat membuka kotak pandora century yang selama ini terkunci. Masyarakat pun dapat memasuki tahun politik 2014 dengan jelas, karena skandal century telah terbuka dan mereka dapat menentukan pemimpin yang bersih serta amanah. Kini bola panas ada di tangan KPK, tolok ukur keberhasilan mereka akan dinilai dari janji Abraham Samad yang akan membongkar kasus ini sebelum tahun 2014.
Pebri tuwanto
belajar menulis dalam kesederhanaan, kemudahan, dan kejujuran.
Friday, 4 April 2014
Bola Panas Century dan Boediono
Lima belas tahun setelah gerakan reformasi 1998 tampaknya harapan rakyat akan terwujudnya pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme masih jauh dari asa. Alih-alih mewujudkannya, seiring dengan berjalannya waktu korupsi di Indonesia kini justru semakin canggih dengan terlibatnya orang-orang profesional yang menyalahgunakan kemampuan dan kekuasaannya.
Korupsi kini telah berkembang semakin sistematis seperti money loundry, cyber crime dan white colar crime. Salah satu contoh korupsi bersifat white colar crime yang begitu akrab ditelinga kita adalah “Skandal Bank Century”. Skandal megakorupsi yang menjadi pekerjaan rumah KPK ini memang penuh akan kontroversi. Kelahirannya dari proses merger yang bermasalah, telah merambat sepertihalnya virus yang tidak diobati, semakin lama semakin berbahaya. Boediono dianggap figur sentral dan paling menentukan di balik skandal dana talangan. Ia yang mengusulkan agar KSSK yang dipimpin Menteri Keuangan saat itu yang kini bekerja untuk Bank Dunia, Sri Mulyani, memberikan status “Bank Gagal Berdampak Sistemik” kepada Bank Century. Selain itu, Boediono juga mengusulkan agar KSSK mengucurkan dana talangan sebesar Rp 632 miliar untuk mendongkrak rasio kecukupan modal bank itu.
Dampak Sistemik Antara Ada dan Tiada
Menurut Arkelof (1998) yang juga pemenang Nobel Ekonomi, penyaluran dana talangan akan memicu upaya penjarahan oleh pengurus bank dalam skala besar. Mengenai kondisi krisis pada Oktober-November 2008, menurut Boediono, hal itu cukup mengancam perekonomian Indonesia. Kegagalan suatu institusi keuangan, sekecil apa pun, bisa menimbulkan dampak sistemik. Saat itu Indonesia tidak menerapkan blanket guarantee yang menjamin semua deposito simpanan di bank sehingga langkah penyelamatan Bank Century menjadi satu-satunya cara agar tidak terjadi krisis sistemik. Boediono meyakini, langkah penyelamatan atau pengambilalihan Bank Century merupakan langkah yang tepat. Hal itu terbukti dengan situasi krisis yang dapat dilewati pada 2009 dan perekonomian Indonesia terus tumbuh. Bahkan, pada tahun 2012, pertumbuhan ekonomi menempati peringkat kedua dunia, di bawah China.
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menolak penilaian BI. Menurut BKF, analisa risiko sistemik yang diberikan BI belum didukung data yang cukup dan terukur untuk menyatakan bahwa Bank Century dapat menimbulkan risiko sistemik. Menurut BKF, analisa BI lebih bersifat analisa dampak psikologis. Sikap Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) pun hampir serupa. Dengan mempertimbangkan ukuran Bank Century yang tidak besar, secara finansial Bank Century tidak akan menimbulkan risiko yang signifikan terhadap bank-bank lain. Sehingga risiko sistemik lebih kepada dampak psikologis. Tetapi Boediono bertahan pada pendapatnya. Jusuf Kalla yang kala itu menjabat sebagai wakil presiden, meyakini bahwa kasus ini bukan terkait krisis keuangan global, sehingga ia tidak mencium adanya dampak sistemik. Ia meyakini bahwa kolapsnya Bank Century adalah karena aksi perampokan oleh pemiliknya sendiri.
Jalan Terjal Pemakzulan Boediono
Wacana pemakzulan Wapres Boediono senantiasa bergulir dari hari kehari. Padahal menurut Jimly Asshidiqie “Proses pemakzulan terhadap Boediono baru bisa dilakukan jika ada tindak pidana yang sudah terbukti di pengadilan”. Sedangkan temuan pansus century adalah kesimpulan politik yang tidak dapat dijadikan alat bukti di pengadilan. Proses lain yang harus dilewati sebelum dilakukan pemakzulan adalah pernyataan pendapat dari DPR-RI. Ini tidak mudah mengingat DPR dikuasai parpol koalisi pendukung pemerintah. Kalaupun PKS membelot dari koalisi, kemungkinan keluarnya hak menyatakan pendapat dari DPR tetap akan sulit. Partai Demokrat, Golkar, PAN, PPP dan PKB, sudah menyatakan komitmen dukungan kepada kepemimpinan SBY-Boediono hingga akhir masa pemerintahan tahun 2014.
Jalan berliku lain dalam pemakzulan Boediono ialah karena kasus century ini terkait dengan kebijakan. Mahfud MD menjelaskan “kebijakan murni pejabat tidak bisa dihukum, karena sifatnya berdasarkan kewenangan pejabat saat itu. Namun pada prosesnya, bisa saja sebuah kebijakan pejabat diajukan ke hukum jika ada kesalahan dan ada buktinya”. Kalaupun ada ada indikasi pidana Boediono belum tentu bisa dimakzulkan, karena Boediono menyetujui pengucuran dana Century ketika ia menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia, bukan sebagai Wakil Presiden. Itu artinya harus ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa Boediono bersalah dan melakukan tindak pidana, kemudian barulah Boediono harus turun dari jabatan Wakil Presiden karena syarat menjadi Presiden ialah tidak pernah atau tidak sedang menjalani pidana, dan apabila hal itu terjadi proses pengadilan akan memakan waktu yang lama.
Prahara Pesta Demokrasi 2014
Bagi saya pribadi kasus bank century ini harus selesai sebelum 2014, dimana suhu politik akan semakin memanas. Sebelum memasuki tahun 2014 penanganan kasus century ini harus jelas siapa yang salah dan siapa yang benar. Ibarat balap mobil, pedal gas akan diinjak habis menjelang finis. Jangan sampai para politisi yang memperebutkan kursi di senayan menjadikan Century sebagai pedal gas untuk melewati lawan-lawan politiknya. Hal ini amat masuk akal, karena Partai Demokrat yang notabene mitra pemerintah meyakini bahwa kebijakan bail out dan FPJP sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sudah diserang dari berbagai sudut. Serangan terhadap Partai Demokrat sudah dimulai sejak banyak kalangan menduga ada indikasi aliran dana century mengalir untuk dana kampanye SBY-Boediono. Meskipun hasil penelitian dari PPATK tidak ada aliran dana ke rekening Partai Demokrat dan tim kampanye SBY-Boediono, dugaan seperti itu tentunya dapat mengubah iklim politik nasional karena masyarakat Indonesia belum pandai berpolitik, hal ini dibuktikan dengan masih mudahnya mereka terprovokasi akan isu politik yang ada meskipun belum terbukti.
Oleh karena itu skandal century ini harus diselesaikan dengan adil dan cermat agar kelak tidak menjadi batu sandungan dalam pesta demokrasi. KPK harus segera mengkonfrontasi Boediono, Jusuf Kalla, dan Sri Mulyani secara bersamaan untuk memperoleh titik terang kasus ini. Dengan dipertemukan bersama, diharapkan keterangan dari mereka dapat membuka kotak pandora century yang selama ini terkunci. Masyarakat pun dapat memasuki tahun politik 2014 dengan jelas, karena skandal century telah terbuka dan mereka dapat menentukan pemimpin yang bersih serta amanah. Kini bola panas ada di tangan KPK, tolok ukur keberhasilan mereka akan dinilai dari janji Abraham Samad yang akan membongkar kasus ini sebelum tahun 2014.
Pebri tuwanto
0 comments:
Post a Comment