Best Blogger Tips

Saturday, 5 April 2014

“Singapura” Tetangga yang Mengaburkan Batas laut Indonesia


Permasalahan wilayah yang melibatkan Indonesia dengan para “tetangganya” memang tidak pernah ada habisya. Kali ini ancaman muncul dari Singapura. “Reklamasi”Perluasan daratan yang dilakukan oleh Singpura dengan menutup laut menjadi daratan dapat mengaburkan batas laut Indonesia Singapura. Singapura berdalih reklamasi dilakukan untuk mengantisipasi pertumbuhan populasi di masa depan. Rencananya Singapura berencana akan memperluas lahannya sebesar 52 kilometer persegi hingga 2030. Dengan begitu, area wilayahnya akan diperluas dari 714 kilometer persegi menjadi 766 kilometer persegi. Reklamasi ini dilakukan di Pulau Tekong, Pelabuhan Tuas dan Pulau Jurong di bagian timur dan barat Singapura.
Pemasalahan pertama, batas laut menurut Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang dihitung dari bibir pantai terluar sejauh 12 mil. Perluasan wilayah daratan Singapura ini tentu akan menggeser bibir pantai kearah laut sehingga kemungkinan akan terjadi pengaburan batas laut dengan Indonesia. Bagi Indonesia batas wilayah kedua negara tetap merujuk pada kesepatan tahun 1973. Tapi bagi Singapura tidak. Dengan perluasan wilayah ini tentu Singapura melakukan pelanggaran atas kesepakatan tahun 1973. Upaya Singapura ini akan menetapkan hukum internasional tentang Zona Ekonomi Eksklusif dimana batas wilayah sebuah negara ditarik 200 mil dari garis pantai, sehingga batas wilayah Indonesia akan makin berkurang sebaliknya bertambah untuk Singapura.
Persoalan kedua, untuk mereklamasi daratannya, konon Singapura mengambil tanah yang berasal dari pulau-pulau terluar di Indonesia. Hal ini tentu berbahaya, karena apabila pengerukan terus terjadi maka pulau tersebut akan mengalami abrasi, padahal betapa pentingnya pulau terluar dalam menentukan batas wiayah laut Indonesia. Tidak banyak yang sadar, eksplorasi pasir di kawasan laut Riau pun terus berlangsung. Ironis, Pemerintah Indonesia hanya menyatakan prihatin dan prihatin, tanpa tindakan tegas untuk menghentikannya. Pasir terus saja dibawa masuk ke Singapura sebagai bisnis yang menggiurkan.
Indonesia tidak boleh diam saja terhadap tindakan reklamasi dari Singapura. Buang jauh-jauh perasaan takut hubungan kedua akan terganggu. Tidak ada yang bisa menjamin reklamasi tidak akan menimbulkan masalah. Dalam penentuan batas laut tentu akan menjadi masalah, dari segi ekosistem juga merusak alam sekitarnya, serta dari segi ekonomi para nelayan juga akan berkurang pendapatannya karena ekosistem yang rusak. Semuanya merugikan Indonesia. Sudah cukup kita berdiam diri atau sengaja menutup mata. Selesaikan Permasalahan ini saat ini juga, karena ketika reklamasi sudah selesai dan telah menjadi pulau, secara de facto Singapura yang telah menduduki dan menguasai wilayah tersebut memiliki posisi yang kuat dalam penentuan batas wilayah. Permasalahan akan semakin rumit ketika mereka telah mendapat investor untuk menyiapkan rencana pembangunan bagi daratan hasil reklamasi tersebut.
Read More..
Bagikan Artikel Ini :

Friday, 4 April 2014

Pantaskah 21 M untuk Satinah?


Akhir-akhir ini berita seputar Satinah, TKI asal Kabupaten Semarang, yang akan di hukum gantung atas tuduhan pembunuhan terhadap majikannya senantiasa menghiasi layar kaca. Pro Kontra seputar usaha pengumpulan dana untuk membantu Satinah pun mulai bermunculan. Ada yang menghujat karena menganggap seorang pembunuh dan pencuri tidak pantas untuk mendapatkan bantuan sebesar itu. Banyak TKI yang berprestasi namun tidak mendapat apresiasi dari Negara ini. Fakta di persidangan menyebutkan bahwa Satinah memang telah membunuh majikannya  pada 16 Juni 2007. Patut disayangkan pula, Satinah justru kabur membawa tas majikannya yang berisi uang senilai 37.970 Riyal atau Rp122 juta, meski Satinah akhirnya menyerahkan diri ke kantor polisi setempat dan mengakui perbuatannya. Namun apakah kita harus mendiamkannya atau justru ikut menghujat aksi penggalangan dana untuk Satinah?
Amanat Konstitusi
Ketika ada yang menghujat penggalangan dana untuk Satinah ini, saya pribadi sempat bertanya-tanya dalam hati, ada dimana hati nurani dan rasa empati kita sesama warga negara Indonesia? Kita segenap warga negara Indonesia wajib menjalankan UUD 1945 seperti amanat Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945, "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan". Juga Pasal 28D Ayat 1 & 2, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja". UUD juga mengamanatkan pada Pasal 28G Ayat 1 & 2, "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain".
Sangat disayangkan bahwasanya beberapa pejabat Indonesia yang notabene memahami konstitusi justru melanggar amanat dari UUD sendiri dengan menghujat aksi solidaritas bagi Satinah. Perlu ditegaskan lagi “Menyiksa satu TKI, sama saja menyiksa 230 juta rakyat Indonesia, menelantarkan satu TKI sama saja menelantarkan warga Indonesia dari Sabang sampai Mauruke, dan memperkosa satu TKI sama saja memperkosa Ibu Pertiwi”.
Instrumen Hukum Internasional pun menyatakan dengan tegas perlindungan terhadap para buruh Migran. Perlakuan yang tidak manusiawi terhadap Satinah merupakan pelanggaran atas Pasal 5 Universal Declaration of Human Rights yang berbunyi: “No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment”. Tindakan majikan Satinah yang membenturkan kepala Satinah di tembok juga melanggar Pasal 7 International Covenant on Civil and Political Rights, yang berbunyi: “No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. In particular, no one shall be subjected without his free consent to medical or scientific experimentation”. Pemerintah harus melindungi hak asasi manusia para TKW/TKI. Tidak ada kompromi lagi. Hak hidup, hak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta hak atas perlakuan sama di hadapan hukum dan dianggap sebagai subyek hukum dan bukan objek hukum harus diperjuangkan. Tanpa jaminan tersebut, sebaiknya pengiriman TKW/TKI dihentikan untuk sementara waktu, sampai keadaan kondusif dan pemerintah negara tujuan menjamin perlindungan hukum atas hak asasi manusia serta perlakuan yang wajar dan manusiawi terhadap para TKW/TKI kita. Ketegasan dan kemampuan loby dari pemerintah kita sangat diperlukan agar para negara penerima jasa TKI/TKW dapat ditekan untuk memberikan perlindungan terhadap para TKI/TKW dan kisah pilu mereka tidak terjadi lagi. Harus diakui, pemerintah wajib mencontoh bagaimana Australia melakukan tekanan-tekanan politik terhadap kita demi melindungi Corby dari Hukuman 20 tahun penjara di negri ini, meskipun kita semua tahu corby telah terbukti bersalah dengan membawa 4,1 kg Mariyuana.

Read More..
Bagikan Artikel Ini :

Bola Panas Century dan Boediono


Lima belas tahun setelah gerakan reformasi 1998 tampaknya harapan rakyat akan terwujudnya pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme masih jauh dari asa. Alih-alih mewujudkannya, seiring dengan berjalannya waktu korupsi di Indonesia kini justru semakin canggih dengan terlibatnya orang-orang profesional yang menyalahgunakan kemampuan dan kekuasaannya.
Korupsi kini telah berkembang semakin sistematis seperti money loundry, cyber crime dan white colar crime. Salah satu contoh korupsi bersifat white colar crime yang begitu akrab ditelinga kita adalah “Skandal Bank Century”. Skandal megakorupsi yang menjadi pekerjaan rumah KPK ini memang penuh akan kontroversi. Kelahirannya dari proses merger yang bermasalah, telah merambat sepertihalnya virus yang tidak diobati, semakin lama semakin berbahaya. Boediono dianggap figur sentral dan paling menentukan di balik skandal dana talangan. Ia yang mengusulkan agar KSSK yang dipimpin Menteri Keuangan saat itu yang kini bekerja untuk Bank Dunia, Sri Mulyani, memberikan status “Bank Gagal Berdampak Sistemik” kepada Bank Century. Selain itu, Boediono juga mengusulkan agar KSSK mengucurkan dana talangan sebesar Rp 632 miliar untuk mendongkrak rasio kecukupan modal bank itu.
Dampak Sistemik Antara Ada dan Tiada
Menurut Arkelof (1998) yang juga pemenang Nobel Ekonomi, penyaluran dana talangan akan memicu upaya penjarahan oleh pengurus bank dalam skala besar. Mengenai kondisi krisis pada Oktober-November 2008, menurut Boediono, hal itu cukup mengancam perekonomian Indonesia. Kegagalan suatu institusi keuangan, sekecil apa pun, bisa menimbulkan dampak sistemik. Saat itu Indonesia tidak menerapkan blanket guarantee yang menjamin semua deposito simpanan di bank sehingga langkah penyelamatan Bank Century menjadi satu-satunya cara agar tidak terjadi krisis sistemik. Boediono meyakini, langkah penyelamatan atau pengambilalihan Bank Century merupakan langkah yang tepat. Hal itu terbukti dengan situasi krisis yang dapat dilewati pada 2009 dan perekonomian Indonesia terus tumbuh. Bahkan, pada tahun 2012, pertumbuhan ekonomi menempati peringkat kedua dunia, di bawah China.
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menolak penilaian BI. Menurut BKF, analisa risiko sistemik yang diberikan BI belum didukung data yang cukup dan terukur untuk menyatakan bahwa Bank Century dapat menimbulkan risiko sistemik. Menurut BKF, analisa BI lebih bersifat analisa dampak psikologis. Sikap Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) pun hampir serupa. Dengan mempertimbangkan ukuran Bank Century yang tidak besar, secara finansial Bank Century tidak akan menimbulkan risiko yang signifikan terhadap bank-bank lain. Sehingga risiko sistemik lebih kepada dampak psikologis. Tetapi Boediono bertahan pada pendapatnya. Jusuf Kalla yang kala itu menjabat sebagai wakil presiden, meyakini bahwa kasus ini bukan terkait krisis keuangan global, sehingga ia tidak mencium adanya dampak sistemik. Ia meyakini bahwa kolapsnya Bank Century adalah karena aksi perampokan oleh pemiliknya sendiri.
Jalan Terjal Pemakzulan Boediono
Wacana pemakzulan Wapres Boediono senantiasa bergulir dari hari kehari. Padahal menurut Jimly Asshidiqie “Proses pemakzulan terhadap Boediono baru bisa dilakukan jika ada tindak pidana yang sudah terbukti di pengadilan”. Sedangkan temuan pansus century adalah kesimpulan politik yang tidak dapat dijadikan alat bukti di pengadilan. Proses lain yang harus dilewati sebelum dilakukan pemakzulan adalah pernyataan pendapat dari DPR-RI. Ini tidak mudah mengingat DPR dikuasai parpol koalisi pendukung pemerintah. Kalaupun PKS membelot dari koalisi, kemungkinan keluarnya hak menyatakan pendapat dari DPR tetap akan sulit. Partai Demokrat, Golkar, PAN, PPP dan PKB,  sudah menyatakan komitmen dukungan kepada kepemimpinan SBY-Boediono hingga akhir masa pemerintahan tahun 2014.
 Jalan berliku lain dalam pemakzulan Boediono ialah karena kasus century ini terkait dengan kebijakan. Mahfud MD menjelaskan “kebijakan murni pejabat tidak bisa dihukum, karena sifatnya berdasarkan kewenangan pejabat saat itu. Namun pada prosesnya, bisa saja sebuah kebijakan pejabat diajukan ke hukum jika ada kesalahan dan ada buktinya”. Kalaupun ada ada indikasi pidana Boediono belum tentu bisa dimakzulkan, karena Boediono menyetujui pengucuran dana Century ketika ia menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia, bukan sebagai Wakil Presiden. Itu artinya harus ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa Boediono bersalah dan melakukan tindak pidana, kemudian barulah Boediono harus turun dari jabatan Wakil Presiden karena syarat menjadi Presiden ialah tidak pernah atau tidak sedang menjalani pidana, dan apabila hal itu terjadi proses pengadilan akan memakan waktu yang lama.
Prahara Pesta Demokrasi 2014
Bagi saya pribadi kasus bank century ini harus selesai sebelum 2014, dimana suhu politik akan semakin memanas. Sebelum memasuki tahun 2014  penanganan kasus century ini harus jelas siapa yang salah dan siapa yang benar. Ibarat balap mobil, pedal gas akan diinjak habis menjelang finis. Jangan sampai para politisi yang memperebutkan kursi di senayan menjadikan Century sebagai pedal gas untuk melewati lawan-lawan politiknya. Hal ini amat masuk akal, karena Partai Demokrat yang notabene mitra pemerintah meyakini bahwa kebijakan bail out dan FPJP sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sudah diserang dari berbagai sudut. Serangan terhadap Partai Demokrat sudah dimulai sejak banyak kalangan menduga ada indikasi aliran dana century mengalir untuk dana kampanye SBY-Boediono. Meskipun hasil penelitian dari PPATK tidak ada aliran dana ke rekening Partai Demokrat dan tim kampanye SBY-Boediono, dugaan seperti itu tentunya dapat mengubah iklim politik nasional karena masyarakat Indonesia belum pandai berpolitik, hal ini dibuktikan dengan masih mudahnya mereka terprovokasi akan isu politik yang ada meskipun belum terbukti.
Oleh karena itu skandal century ini harus diselesaikan dengan adil dan cermat agar kelak tidak menjadi batu sandungan dalam pesta demokrasi. KPK harus segera mengkonfrontasi Boediono, Jusuf Kalla, dan Sri Mulyani secara bersamaan untuk memperoleh titik terang kasus ini. Dengan dipertemukan bersama, diharapkan keterangan dari mereka dapat membuka kotak pandora century yang selama ini terkunci. Masyarakat pun dapat memasuki tahun politik 2014 dengan jelas, karena skandal century telah terbuka dan mereka dapat menentukan pemimpin yang bersih serta amanah. Kini bola panas ada di tangan KPK, tolok ukur keberhasilan mereka akan dinilai dari janji Abraham Samad yang akan membongkar kasus ini sebelum tahun 2014.
Pebri tuwanto
Read More..
Bagikan Artikel Ini :

Lika-Liku RUU KUHP dan KUHAP dalam Pemberantasan Korupsi


Perubahan Rancangan Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang akan dilakukan oleh pemerintah terus bergulir dan menjadi polemik sampai saat ini. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) , warisan zaman kolonial yang disahkan Belanda pada 1872 telah dipegang Indonesia sejak 1946, sudah lama perlu direvisi. KUHP sendiri pada waktu itu diberlakukan dalam rangka mengisi kekosongan hukum yang terjadi. Kelompok-kelompok masyarakat pun sudah berkampanye selama bertahun-tahun untuk mengubah KUHP. Banyak sekali alasan-alasan yang melatarbelakangi perlunya revisi atas kitab tersebut. Prof Sudharto menyebut setidaknya ada 3 (tiga) alasan pokok perlunya pembaharuan KUHP, yaitu bahwasanya negara yang merdeka harus memiliki KUHP sendiri (alasan politis), KUHP dibuat dengan bahasa Belanda sehingga banyak penegak hukum Indonesia tidak menegrti (alasan praktis), dan pandangan hidup masyarakat eropa yang individualistis berbeda dengan bangsa Indonesia yang bersifat kebersamaan (alasan sosiologis). Prof Muladi menambahkan satu alasan yaitu KUHP harus mampu mengadopsi kepentingan Internasional dalam kepentingan nasional utamanya dalam hal tindak pidana transnasional (alasan adaptif).
Pro Kontra seputar revisi KUHP dan KUHAP seakan tidak ada habisnya. Berbagai macam pendapat terus bergulir utamanya menyangkut beberapa substansi yang dibahas dalam RUU KUHP dan RUU KUHAP. KPK misalnya meminta untuk dilakukan penundaan dalam pembahasan KUHP dan KUHAP dengan alasan menghambat pemberantasan korupsi, Pemerintah dan DPR sendiri hingga kini belum menunjukan sikap untuk meninjau ulang atau tidak, sedangkan Ketua DPR, Marzuki Alie, menyatakan dengan tegas bahwa pembahasan kedua kitab tersebut harus diteruskan dengan alasan merupakan warisan kolonialisme dan terdapat banyak kekurangan dalam sistem hukum kita.
Sebenarnya dimana letak substansi dalam RUU KUHP dan KUHAP yang dianggap oleh beberapa kalangan menghambat penegakan hukum di Indonesia?
Di dalam RUU KUHP saat ini memasukkan kembali kejahatan korupsi dan kejahatan luar biasa lainnya ke dalam Buku II RUU KUHP, akibatnya maka delik korupsi tidak lagi menjadi kejahatan luar biasa dan disamakan dengan kejahatan umum lainnya seperti pencurian. 
Sedangkan beberapa pasal dalam RUU KUHAP yang berpotensi untuk melemahkan pemberantasan korupsi adalah pertama, hapusnya ketentuan penyelidikan. Kedua, adanya Hakim Pemeriksa Pendahuluan untuk memutus layak atau tidak layak untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan.Ketiga, Masa penahanan kepada tersangka lebih singkat. Masa Penahanan dalam RUU KUHAP lebih singkat dari UU KUHAP yang saat ini berlaku. Dalam Pasal 60 RUU KUHAP, masa penahanan ditingkat penyidikan hanya 5 hari dan dapat diperpanjang hingga 30 hari. Bandingkan dengan masa penahanan dalam Pasal 24 KUHAP yang saat ini berlaku yaitu selama 20 hari dan dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama 40 hari. Keempat, Hakim dapat menangguhkan Penahanan yang dilakukan penyidik. Dampaknya, jika tersangka atau terdakwa meminta, maka Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menangguhkan penahanan yang dilakukan oleh KPK.
Kelima, Penyitaan  harus diizinkan hakim. Keenam, Penyadapan harus mendapat izin hakim.Ketujuh, Penyadapan (dalam keadaan mendesak) dapat dibatalkan oleh hakim. Pasal 84 RUU KUHAP mengatur bahwa dalam keadaan mendesak, penyidik dapat menyadap tanpa surat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Dalam ketentuan lain, disebutkan jika Hakim Pemeriksa Pendahuluan tidak memberi persetujuan penyadapan, maka penyadapan KPK dapat dihentikan. Kedelapan, Putusan Bebas tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Kesembilan, Putusan Mahkamah Agung tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi. Kesepuluh, Ketentuan pembuktian terbalik tidak diatur. RUU KUHAP tidak mengakomodir pembalikan beban pembuktian untuk kejahatan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dalam Undang-undang TPPU yang sekarang berlaku, beban pembuktian terbalik sempurna, di mana seseorang harus menjelaskan asal-usul kekayaannya. Kesebelas, Kesebelas, KUHAP berlaku terhadap tindak pidana yang diatur dalamUU diluar KUHP. Pasal 3 ayat 2 RUU KUHAP mengatur tentang ketentuan dalam UU ini berlaku juga terhadap tindak pidana yang diatur dalam UU di luar KUHP, kecuali undang-undang tersebut menentukan lain. Ketentuan ini bisa meniadakan hukum acara khusus dalam penanganan kasus korupsi (sebagaimana diatur dalam UU KPK) yang saat ini digunakan KPK. Keduabelas, Tidak memiliki kewenangan perpanjangan penahanan pada tahap Penyidikan  Pasal 58 RUU KUHAP juga mengatur tentang persetujuan penahanan pada tahap penyidikan yang melebihi 5 x 24 (lima kali dua puluh empat).  KPK dapat dianggap tidak memiliki kewenangan. Sebab, RUU KUHAP hanya menyebutkan kepala kejaksaan negeri dalam hal penahanan dilakukan oleh kejaksaan negeri; kepala kejaksaan tinggi dalam hal penahanan dilakukan oleh kejaksaan tinggi; atau Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung dalam hal penahanan dilakukan oleh Kejaksaan Agung
Pembahasan kedua RUU ini juga tidak tepat dilakukan pada saat ini karena masa jabatan DPR kurang lebih hanya tinggal 100 hari masa kerja efektif sehingga tidak akan dapat melakukan pembahasan secara serius dan mendetail terhadap lebih dari 1000 pasal di kedua RUU tersebut. Sehingga ada baiknya di lakukan penundaan terlebih dahulu dalam pembahasan kedua RUU tersebut dan diserahkan kepada DPR periode 2014-2019. Koordinasi lebih lanjut antara pemerintah, DPR, akademisi, praktisi, dan aparat penegak hukum juga diperlukan untuk mematangkan kedua RUU tersebut mengingat perannya yang sangat fundamental dalam penegakan hukum pidana di Indonesia.
Pebri tuwanto
Read More..
Bagikan Artikel Ini :

Building Hope in Problems of Social Solidarity




Indonesia is one of the most complex countries in the world. Based on BPS census in 2010 this country has a population of 237.641.326 with 1.340 tribes. The Large number of terms is certainly comparable to the number of languages and sublanguages in Indonesia reacing 546 languages. Form of diversity is certainly more complex when talking about the number of sects in Indonesia. Just like a building, it will never stand up without any components of a unified and mutually reinforcing. The building will stand if there is integration between the foundation, pillars and roof, So will Indonesia. There will not be a comfortable life without the cooperation and mutual help among people. Multiculturalism in Indonesia is not only thing to be proud but also needs to be monitored and maintained. Multiculturalism is like a double-edged knife, one side gives a positive value as an asset of the nation, but on the other hand, if not used and maintained properly can be dangerous for this country.
Now, after more than 81 years we passed the Sumpah Pemuda, more than 68 years of our independence, and more than 15 years we exceeded reform movement, did it already actually provide independence and freedom of its people in multiculturalism? International agencies ”The Appeal of Conscience Foundation” has indeed been giving awards to President Susilo Bambang Yudhoyono as judged to be able to develop religious tolerance in Indonesia. Even Indonesia is the country with the highest level of democracy in ASEAN. However these are not indicators for a thorough look at the Indonesian interfaith solidarity, much remains to be studied, improved, and strengthened.
Intolerance in Indonesia
One time a child can not understand when watching with fear and angry why their house is burned? why were their family persecuted? And why do they live in refugee camps? Inconceivable to them that it could happen just because their father had a religion. In Sampang and Mataram the story was only part of melancholy story that we can see which is about the lack of respect for diversity in this country.
In a survey conducted by Lingkaran Survei Indonesia (LSI) in October 2012, the level of intolerance towards the presence of other people of different identities increased when compared with a similar survey conducted by the LSI in 2005. In 2005, LSI photographed religious behavior and discrimination with the same variables and indicators. At that time, the public felt uncomfortable to a different neighbor identity of only 8-65 %. The findings of the survey in 2005 showed that they were not comfortable with the coexistence of different religions rising 8.2 % , from 6.9 % to 15.1 % in the 2012 survey. Earlier discomfort with the Shiite neighbors was at 26.7 %. Now, it rose by 15.1 % to 41.8 % . Those who are not comfortable in coexistence with the Ahmadiyya rose by 7.5 % that it is previously only 39.1 % to 46.6 % in 2012. And those who are not comfortable with the Homosexual neighbors which in 2005 was only 64.7 %. Now it becomes 80.6 % . Intolerance in Indonesia varies much with the plural society in Western democracies that ranges between 2.0-25.0 %, depending on the issue. The survey results showed that our national solidarity is being torn apart. Social conflicts between tribes and ethnicities that are still often the case are bad news for Indonesia. The way of peace and compassion that has been built up is not yet strong stuck. The spirit of tolerance in a multicultural society is not yet realized together.
The way for realizing social solidarity
There are several ways that can be taken to foster solidarity among the people so as to prevent social conflicts between groups. First, improve the quality of education. Education is very important in shaping the human mind when taking an action. This can be evidenced by the proliferation of conflicts in areas with relatively low levels of education. Due to the low level of education, knowledge of diversity and respect for human rights will also be low. Education should also focus on aspects of emotional intelligence and moral intelligence is which have no longer ratios. Because education is focused on intelligence ratio, it will lead a student to become a smart person but doesn’t necessarily have a good moral. Second, Realize oriented economy by social economy. Because the Economy that’s oriented to the global market only benefits the owners of big capital and displaces the social economic actors. A big inequalities in income distribution and poverty is the major problems in Indonesia. Starting from the unequal distribution of income, then triggering income inequality as a result of poverty. This would be a very serious problem if both are allowed to drag on and getting worse, they will eventually lead to political and social consequences such as social jealousy which is a negative impact on the quality of inter-community harmony.
Third, the political elite should be capable of protecting the diversity and freedom in Indonesia. Until now, after the death of Gus Dur no figures can be a solidarity maker in social and political level. Most of the political elite even use the difference as a commodity or a political vehicle that is often compared to each others. For example, when there is a member of the elite that uses racism issue to attack one candidate in a DKI Jakarta election 2012. These attitude would not only provide bad political education for society, but also damage the sense of respect for differences. Fourth, the law must be enforced. Government should no longer fail in enforcing the constitution and showing ignorance on the conflicts that occur (government inaction). So far, the government failed to take adequate measures to counteract discrimination, restriction, and the attack on Ahmadiyya and other minorities. They also failed to stem the MUI fatwa on Secularism, Pluralism and Liberalism (2005), and isn’t able to hold local government initiative to prohibit and prevent and vandalism to facilities owned Ahmadiyya. The government has not taken any concrete steps to confirm the decision of the Supreme Court (December 2010) that legalizes reopening GKI Yasmin.
Optimism amid high levels of intolerance
Increased levels of intolerance in Indonesia is not the end to achieve social solidarity in this country. Among all the problems always tucked an optimism for those who want to make changes. The first optimism is the level of intolerance, discrimination can still be overcome , because basically no society is really tolerant of all things (absolute tolerance). Even in developed countries such as America and France it is still there. The world teaches, discrimination and intolerance can be overcome, even defeated. Apartheid regime of South Africa, lasted from 1948 can finally collaps in 1994. Nelson Mandela is a hero who is very instrumental in changing the face of South Africa. America had just declared school segregation constitutional not to race in 1954 . Then In 2009, a black, Barack Hussein Obama, was elected as the President of the United States.
Second optimism was arising from the election of Jakarta. The use of ethnic and religious issues isn’t always effective in influencing the democratic choice of the people of Jakarta. It is of capital importance for optimism. In a democracy, demagog not always useful. Region area which still apply discriminatory regulation, are probably only a matter of time for sued by common sense the people of Indonesia. Third optimism arises from the fact that the collective anxiety can hit religion-based on political parties. Religion nuanced action intolerance and violence can be bad implications for religion-based on parties. Collective anxiety arising from acts of intolerance and discrimination, especially the nuances of religion, could backfire for the popularity and electability of political parties based on religion. The last optimism exist in young people of Indonesia which are relatively open and tolerant. The younger generation generally tend to be more open to ethnic and cultural diversity. In young people always tuck expectations of change towards a more open society and tolerant.
Realizing social solidarity is not only the obligation of government, realization of harmony in this country is our responsibility as people of Indonesia. Through cooperation between the communities will be realized social solidarity that leads to peace and freedom. Social solidarity isn’t only realized when the nation is hit by disasters, bat also should strive more for social solidarity in everyday life. Ideally, a sense of solidarity and a sense of social solidarity does not appear to be through natural disasters. We do not victims to preceed of a newly emerging sense of social solidarity. Properly, the sense of social solidarity should grow really high in the minds of the public. Social solidarity is very important in facing increasingly complex national problems because, social solidarity is a means to learn, recognize the environment, and give a positive impact on society.
Read More..
Bagikan Artikel Ini :