Best Blogger Tips

Friday 22 January 2016

Pura-Pura Sustainable Development

Perhatian masalah lingkungan hidup yang terpadu dengan pembangunan industri khususnya industri tambang di era globalisasi adalah sesuatu yang tidak bisa dielakkan. Pada era ini kesadaran akan lingkungan hidup yang sehat sebagai suatu hal yang essensial bagi kehidupan manusia semakin meningkat dari hari ke hari. Di Indonesia, pasca disahkannya UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, industri tambang nasional mulai marak investasi dari pihak luar.
Perlu diakui bahwa kondisi Indonesia pada saat itu memang belum mampu mengelola SDA khususnya potensi di sektor tambang secara optimal, sehingga kehadiran pihak asing diharapkan mampu membantu pemerintah dalam mengelolanya. Setelah berpuluh-puluh tahun berjalan, perusahaan tambang yang berinvestasi di Indonesia kian marak. Keadaan ini disatu sisi menjadi angin segar bagi perekonomian nasional, tetapi disisi lain lama kelamaan mulai terkuak bahwa keuntungan di sektor ekonomi tidak sebanding dengan kerugian yang didapat, mulai dari kerusakan lingkungan hidup hingga konflik dengan masyarakat adat. Sejalan dengan perkembangan era globalisasi yang dipaparkan diawal tadi, kini masyarakat Indonesia bahkan dunia telah sepakat untuk menuntut kondisi lingkungan hidup yang lestari dalam prinsip pembangunan berkelanjutan.
Layaknya usaha pertambangan pada umumnya yang berjalan di Indonesia, penambangan yang dijalankan oleh berbagai perusahaan atau pertambangan rakyat sekalipun tidak pernah luput dari masalah. Beberapa masalah tersebut diantaranya adalah konflik dengan masyarakat adat sekitar lokasi penambangan, konflik terkait divestasi saham dan pembangunan smelter, hingga konflik seputar dana Corporrate Social Responsibility (CSR). Dari permasalahan-permasalahan tersebut keseimbangan ekonomi, lingkungan dan sosial dalam konsep sustainable development yang bias makna akan menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini.
WCED (World Comission on Environment Development) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development  sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Sebenarnya konsep ini bertujuan yang baik yakni untuk menjaga kelestarian alam bagi anak cucu. Hanya konsep ini juga dapat dibilang bias makna sehingga seringkali ditafsirkan beragam oleh negara maju dan negara dunia ketiga. Penafsiran sesuka hati ini menghasilkan suatu hal “kepura-puraan” dalam  implementasinya. Karena adanya “kepura-puraan” ini maka tujuan utama yakni terwujudnya kelestarian alam justru jauh panggang dari api. Ada beberapa dasar mengapa terjadi “kepura-puraan” khususnya di industri tambang.
Pertama, konsep pembangunan berkelanjutan atau sustainable development membingungkan. Bagaimana mungkin dapat melakukan pembangunan secara lancar terus menerus namun disisi lain membatasi kapasitas sumber daya alam yang dapat direservasi. Kalau sudah seperti ini tentu harus ada pilihan, berkelanjutan dari segi ekonomi atau dari segi lingkungan hidup. Terlebih ketika kita kerucutkan pada sektor tambang yang sebagian besar menggunakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui.
Kedua, apa yang dimaksud dengan “kebutuhan” dalam konsep sustainable development tidak jelas. Kebutuhan dari negara mana? Perlu dicermati bahwa kebutuhan bagi negara maju tentu berbeda dengan negara berkembang. Negara maju dengan kekuatan modal dan teknologinya jelas mereka butuh SDA untuk dikelola menjadi pundi-pundi uang. Berbeda dengan negara berkembang, selain modal dan teknologi minim, juga masih terdapat banyak masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya dari alam. Negara berkembang yang sebagian besar memiliki kekayaan alam yang melimpah masih berkutat untuk melakukan modernisasi dan pembayaran hutang. Bagi masyarakat adat, alam bukan hanya demi mengisi perut, tetapi lebih dari itu alam sudah menyatu dengan kehidupan sehari-hari mereka termasuk dalam berbagai ritual-ritual budaya dan keagamaan.
Ketiga, elaborasi dari kata kebutuhan yang dikerucutkan sebagai kebutuhan bagi generasi mendatang sulit dicerna. Tidak ada kebutuhan yang mutlak di dunia ini. Sulit tentunya memprediksi kebutuhan di masa yang akan datang apalagi teknologi semakin hari semakin berkembang. Apa yang menjadi kebutuhan di suatu era tentu berbeda-beda. Hal yang sekarang ini disia-siakan atau dibuang bisa saja berguna di masa yang akan datang, begitu pula sebaliknya.  Contohnya saja batu akik yang sebelumnya hanya menjadi konsumsi pribadi beberapa orang, tiba-tiba menjadi booming beberapa waktu lalu, dan kini tiba-tiba hilang juga.
Keempat, bagaimana jaminannya generasi mendatang dapat menikmati sumber daya alam dari generasi sekarang. Bila memang para pihak serius untuk menjaga kebutuhan bagi anak cucunya, maka perlu ada jaminan bahwa anak cucu mereka dapat mengaksesnya kelak. Misalnya saja sebuah perusahaan selama menjalankan aktivitas tambangnya mengklaim bahwa mereka telah menyiapkan SDA tersebut juga untuk dinikmati generasi mendatang, tetapi bagaimana apabila di masa mendatang SDA tersebut tidak dapat diakses atau sudah habis? Apakah anak cucu kita dapat melakukan tuntutan ganti rugi pada perusahaan tersebut?
Agaknya konsep sustainable development ini perlu diperjelas lagi maknanya. Konsep ini juga tidak tepat untuk usaha tambang. Perbedaan penafsiran dari berbagai stakeholder industri tambang jelas telah menghasilkan keterbatasan (limitation) dari kemampuan lingkungan hidup untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang. Momentum COP21 di Paris lalu seharusnya dapat meningkatkan kesadaran masyarakat internasional atas kondisi alam yang kian rusak khususnya akibat dampak dari berbagai industri pertambangan. 

Pebri Tuwanto
Mahasiswa Hukum, Konsentrasi Hukum Internasional
Universitas Diponegoro

Bagikan Artikel Ini :

0 comments:

Post a Comment