Ritual
Pergantian tahun selain identik dengan kembang api juga tidak bisa dilepaskan
dari terompet. Indonesia selaku negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia
juga tidak ingin ketinggalan merayakan momen tahun baru. Penggunaan terompet
sendiri hingga kini masih meninggalkan perdebatan di kalangan umat muslim. Konon
meniup terompet adalah budaya yang berasal dari bangsa Yahudi sehingga umat
Muslim dianjurkan untuk tidak meniru. Bila penggunaan terompet saja masih
menimbulkan pro kontra, lalu bagaimana ketika terompet tersebut terbuat bersampul
dari Al Quran.
Al Quran yang
diproduksi masal oleh Kementrian Agama RI pada tahun 2013 itu dijadikan sebagai
bahan dalam pembuatan terompet di beberapa tempat di Indonesia. Setidaknya
warga dari Kendal, Karanganyar, Banyumas, Bogor, Madura menemukan langsung
terompet-terompet tersebut. Ketua MUI Ma'ruf Amin menyatakan bahwa, terompet
bersampul Alquran merupakan bentuk penodaan terhadap agama Islam (liputan6.com
29/12). Sebenarnya apakah benar ini suatu bentuk penodaan? Pada kenyataannya
juga pihak kepolisian tidak menemukan adanya unsur kesengajaan dalam produksi
maupun penjualan terompet berbahan sampul Alquran. Yang terjadi sesungguhnya
justru kreativitas memanfaatkan limbah percetakan. Apabila ditilik dari
sejarahnya pula, Al Quran dahulu ditulis di kulit pohon, daun, kulit, tulang
hingga bebatuan. Pertanyaannya dimanakah semua itu setelah ditemukan kertas?
Apakah benar semua disimpan dengan baik, atau juga hilang dialihkan untuk
penggunaan yang tidak semestinya? Wallahualam.
Momentum ini
sudah sepatutnya menjadi bahan evaluasi semua kalangan. Bukan hanya Kementrian
Agama yang terbilang lalai karena tidak ada pengawasan atas program tersebut
hingga anggarannya terbuang percuma untuk terompet perayaan tahun baru. Umat
Muslim pun juga patut muhasabah/ introspeksi atas kejadian ini. Tidak sedikit
dari kita yang melayangkan protes atas kejadian ini, tetapi bukankah kerap juga
kita dapati buletin Jumat di masjid-masjid yang terbang terbawa angin hingga
terinjak-injak dan berakhir di tong sampah. Bukankah disana juga terdapat ayat-ayat
Al Quran yang sering dikutip.
Kini tengoklah di
masjid-masjid berjajar dengan gagah deretan Al Quran dalam suatu rak besar.
Bukalah rak tersebut dan amati, tak jarang debu tebal menempel di sampulnya,
bukti tidak pernah disentuh apalagi dibaca. Tengoklah pula Al Quran yang tertata
rapi tetapi hanya jadi pajangan di rumah-rumah. Sekedar kewajiban dan penanda
bahwa pemiliknya adalah seorang muslim. Al Quran yang katanya begitu dihormati nyatanya
jarang dipelajari oleh sebagian umatnya. Al Furqon yang katanya menjadi pedoman
manusia untuk membedakan antara yang haq dan yang bathil sayangnya jarang
diamalkan oleh umatnya. Namun, saat sampul Al Quran dijadikan bahan terompet
baru umat muslim tergerak, protes, dan kebingungan hingga menyebutnya sebagai
penodaan agama. Lalu apakah pengabaikan Al Quran hingga berdebu juga termasuk
penodaan agama?
Miris, Al Quran kini
dibuat seindah mungkin, dicetak juga sebanyak mungkin tapi tidak pernah dibaca.
Sama seperti masjid yang kian hari kian berjibun dan megah tapi juga kian sepi
pengunjung. Mari kita bermuhasabah bersama dan mengembalikan marwah Al Quran
sebagai pedoman hidup manusia. Bukan hanya dibaca tetapi lebih penting untuk
diamalkan.
0 comments:
Post a Comment