skip to main |
skip to sidebar
Mengejar Pembangunan Inklusif Tenaga Kerja
Memasuki tahun 2014 ASEAN Economic Community (AEC) menjadi topik yang semakin hangat diperbincangkan oleh hampir semua kalangan, khususnya bagi para tenaga kerja. Setiap negara yang tergabung dalam ASEAN akan memasuki babak baru dalam sejarah percaturan geopolitik dan geoekonomi global. Salah satu hal yang melatarbelakangi terbentuknya AEC adalah adanya presepsi dari negara-negara ASEAN apabila tidak tergabung dalam sebuah pasar besar yang terintegrasi, maka akan tergerus dalam persaingan global yang semakin meningkat. Pandangan akan sulitnya pembangunan dan penyediaan lapangan pekerjaan mendorong ASEAN untuk membuat sebuah kebijakan baru dalam kerjasama di bidang ekonomi. Pada akhirnya kesepakatan pembangunan integrasi ekonomi di kawasan ASEAN tertuang dalam sebuah kebijakan yang dinamakan AEC. Pembangunan adalah proses berkesinambungan yang harus ditempuh suatu negara untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Demi tercapainya tujuan tersebut diperlukan sebuah pembangunan yang bersifat inklusif khususnya bagi tenaga kerja.
Pembangunan inklusif adalah pembangunan yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat secara umum. Permasalahannya adalah pembangunan yang acap kali terjadi di negara berkembang adalah pembangunan eksklusif. Pembangunan eksklusif adalah pembangunan yang hanya memperhitungkan aspek pertumbuhan ekonomi tetapi kurang memperhitungkan penyerapan tenaga kerja, sehingga dampaknya pengangguran tinggi, kemiskinan meningkat, dan kerusakan lingkungan. Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang memiliki pertumbuhan ekonomi terbesar, yakni sebesar 5,9% dalam periode 2009-2013. Sebuah hal yang membanggakan, tetapi mengukur hasil pembangunan hanya dari pertumbuhan ekonomi akan membuat kita terlena dan mengabaikan masalah ketidakmerataan masyarakat yang menerima hasil pembangunan.
Persoalan tercipta atau tidaknya pembangunan inklusif tenaga kerja bukan hanya masalah orientasi pembangunan dari suatu negara, tetapi juga masalah siap atau tidaknya tenaga kerja Indonesia bersaing dalam lingkup global. Bung Karno dalam orasinya pernah berkata “Barang siapa ingin mutiara, ia harus berani terjun di lautan yang dalam”. Sepenggal kalimat yang terlontar dari Presiden Pertama Republik Indonesia tersebut dapat menjadi refleksi bagi para generasi muda Indonesia dalam menghadapi tantangan global. AEC adalah sebuah lautan yang dalam tetapi menawarkan mutiara yang melimpah. Mutiara memang bisa dibeli di pasar, tetapi dengan harga yang tidak murah. Keuntungan hanya akan didapat bagi mereka yang melakukan persiapan matang, memiliki kemampuan menyelam yang handal, dan berani menyelam ke hingga ke dasar lautan.
AEC adalah bentuk Integrasi Ekonomi ASEAN yang direncanakan akan tercapai pada Desember 2015. Pada saat itu ASEAN akan menjadi pasar tunggal yang berbasis produksi dimana terjadi arus barang, jasa, investasi, dan tenaga terampil yang bebas, serta arus modal yang bebas diantara negara ASEAN. Penerapan AEC 2015 dipastikan akan meningkatkan mobilitas tenaga kerja di ASEAN, sehingga mewajibkan setiap negara untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di ASEAN, Indonesia harus siap bersaing dengan tenaga kerja asing yang menjadikan Indonesia sebagai orientasi pengembangan kariernya. Melimpahnya sumber daya alam, budaya yang beragam, dan posisi geografis yang strategis adalah daya tarik yang ditawarkan Indonesia bagi para tenaga kerja asing. Kini kendali ada di tangan masyarakat Indonesia sendiri, apakah ingin menjadi pemain atau hanya penonton di AEC 2015. Momentum AEC juga menjadi pilihan bagi Pemerintah Indoensia untuk mengganti orientasi pembangunannya yang bersifat eksklusif menjadi inklusif. Terdapat beberapa faktor yang dapat menjanjikan pembangunan inklusif tenaga kerja dapat terlaksana di Indonesia, termasuk prediksi akan terciptanya bonus demografi.
Bonus Demografi dalam ASEAN Economic Community
Bonus Demografi adalah salah satu pilar peningkatan produktifitas suatu negara serta sumber pertumbuhan ekonomi melalui pemanfaatan SDM yang produktif. Di Indonesia fenomena ini diprediksi akan mencapai puncaknya pada 2020-2030 mendatang. Secara konseptual bonus demografi adalah masa dimana proporsi jumlah penduduk usia produktif mencapai 69% dari jumlah penduduk dan angka rasio ketergantungan mencapai titik terendah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) hasil sensus penduduk tahun 2010 angka rasio ketergantungan adalah 51,3%. Bonus demografi tertinggi biasanya didapatkan ketika angka ketergantungan berada dalam kisaran 40%-50%, yang berarti 100 orang usia produktif di Indonesia menanggung sekitar 40-50 orang usia tidak produktif. Bonus demografi akan menjadi sebuah jendela kesempatan ketika jumlah lapangan kerja seimbang dengan jumlah pencari kerja. Dibukanya pasar bebas di tingkat ASEAN tentu akan meningkatkan jumlah lapangan pekerjaaan. Selain menjadi sebuah potensi, bonus demografi apabila tidak dikelola dengan baik justru akan menjadi sebuah bencana. Ketika jumlah penduduk usia produktif yang tinggi tidak diimbangi dengan keterampilan dan pendidikan yang sesuai maka yang akan terjadi adalah sosial unrest dan meningkatnya angka kemiskinan. Kini bonus demografi adalah sebuah poin penting bagi Indonesia dalam menghadapi era perdagangan bebas di ASEAN. Disatu sisi AEC 2015 menawarkan lapangan kerja yang luas bagi para tenaga kerja usia produktif, namun disisi lain angka kemiskinan akan meningkat apabila bonus demografi yang terjadi kelak tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas tenaga kerja yang ada. Kesimpulan sederhananya optimalisasi potensi bonus demografi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah salah satu poin penting dalam pembangunan inklusif tenaga kerja.
Kendala dalam Pembangunan Inklusif Tenaga Kerja
Sejak ditandatangani oleh 10 Kepala Negara ASEAN di Singapura pada 20 November 2007, AEC Blueprint telah menetapkan beberapa tujuan integrasi ekonomi ASEAN. Salah satu tujuannya adalah memberikan jaminan kebebasan mobilitas bagi para tenaga kerja di kawasan. Komitmen Indonesia dalam liberalisasi jasa di tingkat ASEAN tercantum dalam Schedule of Specific Commitment pada pertemuan AFAS paket ke-6 2007 meliputi jasa bisnis, jasa komunikasi, jasa konstruksi, jasa pendidikan, jasa lingkungan, jasa distribusi, jasa kesehatan, jasa pariwisata dan perhotelan, jasa teknologi dan informasi, jasa energi, dan jasa periklanan. Setidaknya terdapat lima jenis kendala khususnya bagi pekerja Indonesia untuk berkembang dalam AEC kelak.
Pertama, minimnya tenaga kerja terampil. Dijaminnya mobilitas bagi para tenaga kerja di kawasan ASEAN akan menjadikan persaingan antara para pencari kerja semakin ketat. Permasalahannya adalah mobilitas tersebut hanya dijamin bagi para tenaga kerja terampil, padahal menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2014 jumlah tenaga kerja di Indonesia didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar (SD) kebawah sebanyak 55.300.000 jiwa (46,80%). Jumlah tersebut jauh lebih besar dibanding tenaga terampil dengan lulusan diploma sebanyak 3.100.000 jiwa (2,65%) dan universitas hanya sebanyak 8.800.000 jiwa (7,49%). Ketika AEC mulai berjalan kelak kualitas tenaga kerja terampil dari suatu negara akan menentukan bagaimana perjalananan negara tersebut dalam mengarungi derasnya persaingan ekonomi antarnegara. Dominasi lulusan SD yang sebesar 46,80% dari penduduk usia produktif akan menjadikan langkah Indonesia semakin berat. Sisi positifnya adalah angka perbaikan kualitas pendidikan penduduk usia produktif telah ditunjukkan dengan adanya peningkatan dalam setahun terakhir, yakni penduduk berpendidikan tinggi (diploma dan universitas) meningkat dari 11.300.000 (9,72%) pada Februari 2013 menjadi 12.000.000 (10,14%) pada Februari 2014. Kedepan salah satu tugas utama pemerintah adalah mempersiapkan sumber daya manusia unggul dan berdaya saing dengan memastikan pembangunan ekonomi berjalan linear dengan pembangunan manusia.
Kedua, infrastruktur tidak memadai. Sangat sulit berbicara peningkatan kualitas tenaga kerja tanpa diimbangi dengan kualitas infrastruktur yang ada. Infrastruktur adalah komponen vital dalam pembangunan sosial dan ekonomi suatu bangsa. Infrastruktur yang baik akan mendorong pembangunan manusia Indonesia berdaya saing unggul. Akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan fasilitas publik lainnya akan menentukan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Pembangunan infarstruktur di Indonesia masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya. Pada tahun 2013, alokasi untuk pembangunan infrastruktur hanya 3,8% dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Di tahun 2014, alokasi dana untuk infrastruktur hanya Rp 230 triliun atau 2,3%. Bandingkan dengan India yang memberikan porsi biaya infrastruktur 7%, atau bahkan Tiongkok yang mencapai 11%. Percepatan pembangunan infrastruktur dapat mendorong peningkatan kualitas SDM sehingga dapat menjadi salah satu jawaban akan ketatnya persaingan tenaga kerja kelak.
Ketiga, terjadi stigmanisasi rendahnya kualitas Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Berbagai kasus demi kasus yang menimpa TKI di dalam dan luar negri acap kali memberikan image bahwa tenaga kerja indonesia memiliki kompetensi rendah. Terbentuknya stigma rendahnya kualitas TKI tentu tidak tepat, karena apabila ditilik lebih jauh lagi banyak TKI yang mampu meraih berbagai posisi penting di mancanegara. Namun karena terciptanya judgement awal yang merugikan tadi, tidak jarang para TKI kerap dikesampingkan dalam persaingan dengan Tenaga Kerja Asing (TKA). Situasi ini tentu merugikan Indonesia karena para pekerjanya akan mengalami kesulitan dalam mengakses lapangan pekerjaan di lingkup ASEAN.
Keempat, terjadinya discriminative treatment terhadap TKI. Praktik discriminative treatment ini sebenarnya sudah dilarang dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan melanggar prinsip nondiscrimination dalam General Agreement on Trade and Services (GATS). Permasalahannya sudah menjadi rahasia umum di Indonesia bahwa banyak pekerja asing memiliki penghasilan diatas para pekerja lokal. Posisi dan tanggung jawab yang lebih besar tidak menjamin para TKI mendapat perlakuan lebih baik daripada para TKA. Disisi lain pengupahan yang lebih rendah memang menjadi daya tarik bagi para perusahaan untuk mempekerjakan para TKI. Namun sebagai bangsa yang bermartabat tentu akan sedih apabila para pekerjanya dipekerjakan bukan karena kompetensi yang dimiliki tetapi karena upah yang murah.
Kelima, kelangkaan pekerja dengan kualifikasi khusus. Ketika AEC berjalan kelak ada beberapa jenis formasi pekerjaan yang membutuhkan kualifikasi tertentu. Pekerjaan tersebut membutuhkan keahlian khusus yang sulit didapatkan dari para TKI sehingga mendorong penggunaan TKA. Misalnya saja di industri pengolahan produk perikanan, ahli penyakit ikan yang dipakai adalah tenaga kerja dari Thailand, India, dan Malaysia. Di Indonesia tenaga ahli ini masih terbilang langka.
Upaya Pembangunan Inklusif Tenaga Kerja
Dari kajian diatas dalam rangka menghadapi AEC 2015 perlu dilakukan reorientasi pembangunan di Indonesia, dari pembangunan eksklusif menjadi pembangunan inklusif khususnya bagi tenaga kerja. AEC 2015 akan menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi arus barang, jasa, investasi dan tenaga terampil. Aliran komoditi dan produktifitas di kawasan ASEAN diharapkan dapat mendorong ASEAN menjadi kawasan yang makmur dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga dapat menekan angka kemiskinan dan masalah sosial yang ada. Perlu dipahami bahwa untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan bekal berupa pembangunan inklusif bagi tenaga kerja. Langkah utama pembangunan inklusif tenaga kerja adalah mengarahkan pembangunan nasional menuju peningkatan modal manusia (human capital). Modal utama menghadapi AEC adalah sumber daya manusia yang berkualitas. Peningkatan modal manusia hanya dapat dicapai jika infrastruktur berupa pendidikan, transportasi, dan kesehatan terpenuhi di atas kebutuhan minimal. Kualitas SDM harus ditingkatkan baik dari segi pendidikan formal maupun keterampilannya. Pemberian pelatihan keterampilan juga harus memperhatikan potensi yang dimiliki oleh daerah-daerah di Indonesia. Misalnya saja di Klaten yang terkenal akan lumbung padinya, maka disana dapat diberikan pelatihan pengelolaan padi yang unggul. Mobilitas para tenaga kerja Indonesia juga harus dijamin ketika AEC mulai berjalan dengan memanfaatkan adanya nota saling pengakuan/ MRAs. Melalui MRA’s kualifikasi SDM Indonesia dapat diakui di luar negri. Ketika MRAs mengalami hambatan, jalan lainnya adalah melalui optimalisasi peran Badan Standardisasi Nasional (BSN) melalui jalinan kerjasama dengan negara lain atau organisasi internasional.
Kesimpulan
Sebagai bangsa yang sedang dalam proses pembangunan, Tenaga Kerja Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan yang luar biasa, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Dari dalam negri pembangunan yang selama ini dijalankan lebih berorientasi pada pembangunan eksklusif. Hal itu terbukti dengan tingginya angka pertumbuhan ekonomi, tetapi angka pengangguran, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan juga tinggi. Pembangunan eksklusif terjadi karena dorongan untuk mengejar ketertinggalan laju pertumbuhan ekonomi dari negara-negara maju. Demi mengejar ketertinggalan tersebut, Indonesia berlomba dengan negara berkembang lainnya menjalankan program pembangunan ekonomi dengan memprioritaskan pada sektor-sektor yang mampu mencapai nilai tambah yang lebih tinggi dan mengabaikan dampak negatif yang ditimbulkannya. Dari luar tantangan yang akan dihadapi Indonesia adalah kenyataan bahwa batas negara di era globalisasi ini semakin terlihat kabur khususnya dari aspek ekonomi. Dunia ini telah menjadi satu sistem yang terbuka, saling terkoneksi dan saling ketergantungan antarnegara. Dalam konsep new paradigm of international relations tidak ada negara manapun yang mampu menutup diri, semua saling berinteraksi dan berintegrasi dalam pergaulan global. Persaingan tenaga kerja kelak tidak dapat dihindari namun dapat dipersiapkan dengan pembangunan inklusif tenaga kerja.
Perlu di pahami bahwa pada akhirnya berhasil atau tidaknya seseorang dalam persaingan tenaga kerja akan kembali pada etos kerja orang tersebut. Seorang pelaut hebat tidak terlahir dari laut yang tenang, dibukanya pasar tunggal yang bebas di ASEAN adalah ombak besar yang akan menjadikan para tenaga kerja Indonesia berkembang menjadi lebih besar, menjadi aktor penting di kawasan ASEAN. Rasa minder atas masalah ketenagakerjaan sudah selayaknya dihapus. Bukan saatnya lagi untuk sekedar berdebat dan berwacana, kita harus bangkit membangun diri mengejar ketertinggalan kita dengan negara lain. Sudah saatnya para tenaga kerja Indonesia memainkan peran yang lebih besar di kawasan ASEAN.
Daftar Pustaka:
Badan Pusat Statistik. 2014. Berita Resmi Statistik No. 38/05/Th. XVII. http://www.bps.go.id/brs_file/naker_05mei14.pdf, diakses tanggal 5 September 2014
Pusat Litbang Ketenagakerjaan. 2013. Arah Kebijakan Ketenagakerjaan Indonesia. http://www.depnakertrans.go.id/uploads/doc/Arah%20Kebijakan%20Bidang%20Ketenagakerjaan%202014-2019.pdf, diakses tanggal 5 September 2014
World Bank. 2013. Targeting poor and vulnerable households in Indonesia. http://www.wds.worldbank.org/external/default/WDSContentServer/WDSP/IB/2012/03/01/000386194_20120301004533/Rendered/PDF/672180WP00PUBL0T00English000PUBLIC0.pdf, diakses tanggal 20 September 2014
belajar menulis dalam kesederhanaan, kemudahan, dan kejujuran.
Monday, 6 October 2014
Mengejar Pembangunan Inklusif Tenaga Kerja
Mengejar Pembangunan Inklusif Tenaga Kerja
Memasuki tahun 2014 ASEAN Economic Community (AEC) menjadi topik yang semakin hangat diperbincangkan oleh hampir semua kalangan, khususnya bagi para tenaga kerja. Setiap negara yang tergabung dalam ASEAN akan memasuki babak baru dalam sejarah percaturan geopolitik dan geoekonomi global. Salah satu hal yang melatarbelakangi terbentuknya AEC adalah adanya presepsi dari negara-negara ASEAN apabila tidak tergabung dalam sebuah pasar besar yang terintegrasi, maka akan tergerus dalam persaingan global yang semakin meningkat. Pandangan akan sulitnya pembangunan dan penyediaan lapangan pekerjaan mendorong ASEAN untuk membuat sebuah kebijakan baru dalam kerjasama di bidang ekonomi. Pada akhirnya kesepakatan pembangunan integrasi ekonomi di kawasan ASEAN tertuang dalam sebuah kebijakan yang dinamakan AEC. Pembangunan adalah proses berkesinambungan yang harus ditempuh suatu negara untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Demi tercapainya tujuan tersebut diperlukan sebuah pembangunan yang bersifat inklusif khususnya bagi tenaga kerja.
Pembangunan inklusif adalah pembangunan yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat secara umum. Permasalahannya adalah pembangunan yang acap kali terjadi di negara berkembang adalah pembangunan eksklusif. Pembangunan eksklusif adalah pembangunan yang hanya memperhitungkan aspek pertumbuhan ekonomi tetapi kurang memperhitungkan penyerapan tenaga kerja, sehingga dampaknya pengangguran tinggi, kemiskinan meningkat, dan kerusakan lingkungan. Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang memiliki pertumbuhan ekonomi terbesar, yakni sebesar 5,9% dalam periode 2009-2013. Sebuah hal yang membanggakan, tetapi mengukur hasil pembangunan hanya dari pertumbuhan ekonomi akan membuat kita terlena dan mengabaikan masalah ketidakmerataan masyarakat yang menerima hasil pembangunan.
Persoalan tercipta atau tidaknya pembangunan inklusif tenaga kerja bukan hanya masalah orientasi pembangunan dari suatu negara, tetapi juga masalah siap atau tidaknya tenaga kerja Indonesia bersaing dalam lingkup global. Bung Karno dalam orasinya pernah berkata “Barang siapa ingin mutiara, ia harus berani terjun di lautan yang dalam”. Sepenggal kalimat yang terlontar dari Presiden Pertama Republik Indonesia tersebut dapat menjadi refleksi bagi para generasi muda Indonesia dalam menghadapi tantangan global. AEC adalah sebuah lautan yang dalam tetapi menawarkan mutiara yang melimpah. Mutiara memang bisa dibeli di pasar, tetapi dengan harga yang tidak murah. Keuntungan hanya akan didapat bagi mereka yang melakukan persiapan matang, memiliki kemampuan menyelam yang handal, dan berani menyelam ke hingga ke dasar lautan.
AEC adalah bentuk Integrasi Ekonomi ASEAN yang direncanakan akan tercapai pada Desember 2015. Pada saat itu ASEAN akan menjadi pasar tunggal yang berbasis produksi dimana terjadi arus barang, jasa, investasi, dan tenaga terampil yang bebas, serta arus modal yang bebas diantara negara ASEAN. Penerapan AEC 2015 dipastikan akan meningkatkan mobilitas tenaga kerja di ASEAN, sehingga mewajibkan setiap negara untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di ASEAN, Indonesia harus siap bersaing dengan tenaga kerja asing yang menjadikan Indonesia sebagai orientasi pengembangan kariernya. Melimpahnya sumber daya alam, budaya yang beragam, dan posisi geografis yang strategis adalah daya tarik yang ditawarkan Indonesia bagi para tenaga kerja asing. Kini kendali ada di tangan masyarakat Indonesia sendiri, apakah ingin menjadi pemain atau hanya penonton di AEC 2015. Momentum AEC juga menjadi pilihan bagi Pemerintah Indoensia untuk mengganti orientasi pembangunannya yang bersifat eksklusif menjadi inklusif. Terdapat beberapa faktor yang dapat menjanjikan pembangunan inklusif tenaga kerja dapat terlaksana di Indonesia, termasuk prediksi akan terciptanya bonus demografi.
Bonus Demografi dalam ASEAN Economic Community
Bonus Demografi adalah salah satu pilar peningkatan produktifitas suatu negara serta sumber pertumbuhan ekonomi melalui pemanfaatan SDM yang produktif. Di Indonesia fenomena ini diprediksi akan mencapai puncaknya pada 2020-2030 mendatang. Secara konseptual bonus demografi adalah masa dimana proporsi jumlah penduduk usia produktif mencapai 69% dari jumlah penduduk dan angka rasio ketergantungan mencapai titik terendah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) hasil sensus penduduk tahun 2010 angka rasio ketergantungan adalah 51,3%. Bonus demografi tertinggi biasanya didapatkan ketika angka ketergantungan berada dalam kisaran 40%-50%, yang berarti 100 orang usia produktif di Indonesia menanggung sekitar 40-50 orang usia tidak produktif. Bonus demografi akan menjadi sebuah jendela kesempatan ketika jumlah lapangan kerja seimbang dengan jumlah pencari kerja. Dibukanya pasar bebas di tingkat ASEAN tentu akan meningkatkan jumlah lapangan pekerjaaan. Selain menjadi sebuah potensi, bonus demografi apabila tidak dikelola dengan baik justru akan menjadi sebuah bencana. Ketika jumlah penduduk usia produktif yang tinggi tidak diimbangi dengan keterampilan dan pendidikan yang sesuai maka yang akan terjadi adalah sosial unrest dan meningkatnya angka kemiskinan. Kini bonus demografi adalah sebuah poin penting bagi Indonesia dalam menghadapi era perdagangan bebas di ASEAN. Disatu sisi AEC 2015 menawarkan lapangan kerja yang luas bagi para tenaga kerja usia produktif, namun disisi lain angka kemiskinan akan meningkat apabila bonus demografi yang terjadi kelak tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas tenaga kerja yang ada. Kesimpulan sederhananya optimalisasi potensi bonus demografi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah salah satu poin penting dalam pembangunan inklusif tenaga kerja.
Kendala dalam Pembangunan Inklusif Tenaga Kerja
Sejak ditandatangani oleh 10 Kepala Negara ASEAN di Singapura pada 20 November 2007, AEC Blueprint telah menetapkan beberapa tujuan integrasi ekonomi ASEAN. Salah satu tujuannya adalah memberikan jaminan kebebasan mobilitas bagi para tenaga kerja di kawasan. Komitmen Indonesia dalam liberalisasi jasa di tingkat ASEAN tercantum dalam Schedule of Specific Commitment pada pertemuan AFAS paket ke-6 2007 meliputi jasa bisnis, jasa komunikasi, jasa konstruksi, jasa pendidikan, jasa lingkungan, jasa distribusi, jasa kesehatan, jasa pariwisata dan perhotelan, jasa teknologi dan informasi, jasa energi, dan jasa periklanan. Setidaknya terdapat lima jenis kendala khususnya bagi pekerja Indonesia untuk berkembang dalam AEC kelak.
Pertama, minimnya tenaga kerja terampil. Dijaminnya mobilitas bagi para tenaga kerja di kawasan ASEAN akan menjadikan persaingan antara para pencari kerja semakin ketat. Permasalahannya adalah mobilitas tersebut hanya dijamin bagi para tenaga kerja terampil, padahal menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2014 jumlah tenaga kerja di Indonesia didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar (SD) kebawah sebanyak 55.300.000 jiwa (46,80%). Jumlah tersebut jauh lebih besar dibanding tenaga terampil dengan lulusan diploma sebanyak 3.100.000 jiwa (2,65%) dan universitas hanya sebanyak 8.800.000 jiwa (7,49%). Ketika AEC mulai berjalan kelak kualitas tenaga kerja terampil dari suatu negara akan menentukan bagaimana perjalananan negara tersebut dalam mengarungi derasnya persaingan ekonomi antarnegara. Dominasi lulusan SD yang sebesar 46,80% dari penduduk usia produktif akan menjadikan langkah Indonesia semakin berat. Sisi positifnya adalah angka perbaikan kualitas pendidikan penduduk usia produktif telah ditunjukkan dengan adanya peningkatan dalam setahun terakhir, yakni penduduk berpendidikan tinggi (diploma dan universitas) meningkat dari 11.300.000 (9,72%) pada Februari 2013 menjadi 12.000.000 (10,14%) pada Februari 2014. Kedepan salah satu tugas utama pemerintah adalah mempersiapkan sumber daya manusia unggul dan berdaya saing dengan memastikan pembangunan ekonomi berjalan linear dengan pembangunan manusia.
Kedua, infrastruktur tidak memadai. Sangat sulit berbicara peningkatan kualitas tenaga kerja tanpa diimbangi dengan kualitas infrastruktur yang ada. Infrastruktur adalah komponen vital dalam pembangunan sosial dan ekonomi suatu bangsa. Infrastruktur yang baik akan mendorong pembangunan manusia Indonesia berdaya saing unggul. Akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan fasilitas publik lainnya akan menentukan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Pembangunan infarstruktur di Indonesia masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya. Pada tahun 2013, alokasi untuk pembangunan infrastruktur hanya 3,8% dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Di tahun 2014, alokasi dana untuk infrastruktur hanya Rp 230 triliun atau 2,3%. Bandingkan dengan India yang memberikan porsi biaya infrastruktur 7%, atau bahkan Tiongkok yang mencapai 11%. Percepatan pembangunan infrastruktur dapat mendorong peningkatan kualitas SDM sehingga dapat menjadi salah satu jawaban akan ketatnya persaingan tenaga kerja kelak.
Ketiga, terjadi stigmanisasi rendahnya kualitas Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Berbagai kasus demi kasus yang menimpa TKI di dalam dan luar negri acap kali memberikan image bahwa tenaga kerja indonesia memiliki kompetensi rendah. Terbentuknya stigma rendahnya kualitas TKI tentu tidak tepat, karena apabila ditilik lebih jauh lagi banyak TKI yang mampu meraih berbagai posisi penting di mancanegara. Namun karena terciptanya judgement awal yang merugikan tadi, tidak jarang para TKI kerap dikesampingkan dalam persaingan dengan Tenaga Kerja Asing (TKA). Situasi ini tentu merugikan Indonesia karena para pekerjanya akan mengalami kesulitan dalam mengakses lapangan pekerjaan di lingkup ASEAN.
Keempat, terjadinya discriminative treatment terhadap TKI. Praktik discriminative treatment ini sebenarnya sudah dilarang dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan melanggar prinsip nondiscrimination dalam General Agreement on Trade and Services (GATS). Permasalahannya sudah menjadi rahasia umum di Indonesia bahwa banyak pekerja asing memiliki penghasilan diatas para pekerja lokal. Posisi dan tanggung jawab yang lebih besar tidak menjamin para TKI mendapat perlakuan lebih baik daripada para TKA. Disisi lain pengupahan yang lebih rendah memang menjadi daya tarik bagi para perusahaan untuk mempekerjakan para TKI. Namun sebagai bangsa yang bermartabat tentu akan sedih apabila para pekerjanya dipekerjakan bukan karena kompetensi yang dimiliki tetapi karena upah yang murah.
Kelima, kelangkaan pekerja dengan kualifikasi khusus. Ketika AEC berjalan kelak ada beberapa jenis formasi pekerjaan yang membutuhkan kualifikasi tertentu. Pekerjaan tersebut membutuhkan keahlian khusus yang sulit didapatkan dari para TKI sehingga mendorong penggunaan TKA. Misalnya saja di industri pengolahan produk perikanan, ahli penyakit ikan yang dipakai adalah tenaga kerja dari Thailand, India, dan Malaysia. Di Indonesia tenaga ahli ini masih terbilang langka.
Upaya Pembangunan Inklusif Tenaga Kerja
Dari kajian diatas dalam rangka menghadapi AEC 2015 perlu dilakukan reorientasi pembangunan di Indonesia, dari pembangunan eksklusif menjadi pembangunan inklusif khususnya bagi tenaga kerja. AEC 2015 akan menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi arus barang, jasa, investasi dan tenaga terampil. Aliran komoditi dan produktifitas di kawasan ASEAN diharapkan dapat mendorong ASEAN menjadi kawasan yang makmur dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga dapat menekan angka kemiskinan dan masalah sosial yang ada. Perlu dipahami bahwa untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan bekal berupa pembangunan inklusif bagi tenaga kerja. Langkah utama pembangunan inklusif tenaga kerja adalah mengarahkan pembangunan nasional menuju peningkatan modal manusia (human capital). Modal utama menghadapi AEC adalah sumber daya manusia yang berkualitas. Peningkatan modal manusia hanya dapat dicapai jika infrastruktur berupa pendidikan, transportasi, dan kesehatan terpenuhi di atas kebutuhan minimal. Kualitas SDM harus ditingkatkan baik dari segi pendidikan formal maupun keterampilannya. Pemberian pelatihan keterampilan juga harus memperhatikan potensi yang dimiliki oleh daerah-daerah di Indonesia. Misalnya saja di Klaten yang terkenal akan lumbung padinya, maka disana dapat diberikan pelatihan pengelolaan padi yang unggul. Mobilitas para tenaga kerja Indonesia juga harus dijamin ketika AEC mulai berjalan dengan memanfaatkan adanya nota saling pengakuan/ MRAs. Melalui MRA’s kualifikasi SDM Indonesia dapat diakui di luar negri. Ketika MRAs mengalami hambatan, jalan lainnya adalah melalui optimalisasi peran Badan Standardisasi Nasional (BSN) melalui jalinan kerjasama dengan negara lain atau organisasi internasional.
Kesimpulan
Sebagai bangsa yang sedang dalam proses pembangunan, Tenaga Kerja Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan yang luar biasa, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Dari dalam negri pembangunan yang selama ini dijalankan lebih berorientasi pada pembangunan eksklusif. Hal itu terbukti dengan tingginya angka pertumbuhan ekonomi, tetapi angka pengangguran, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan juga tinggi. Pembangunan eksklusif terjadi karena dorongan untuk mengejar ketertinggalan laju pertumbuhan ekonomi dari negara-negara maju. Demi mengejar ketertinggalan tersebut, Indonesia berlomba dengan negara berkembang lainnya menjalankan program pembangunan ekonomi dengan memprioritaskan pada sektor-sektor yang mampu mencapai nilai tambah yang lebih tinggi dan mengabaikan dampak negatif yang ditimbulkannya. Dari luar tantangan yang akan dihadapi Indonesia adalah kenyataan bahwa batas negara di era globalisasi ini semakin terlihat kabur khususnya dari aspek ekonomi. Dunia ini telah menjadi satu sistem yang terbuka, saling terkoneksi dan saling ketergantungan antarnegara. Dalam konsep new paradigm of international relations tidak ada negara manapun yang mampu menutup diri, semua saling berinteraksi dan berintegrasi dalam pergaulan global. Persaingan tenaga kerja kelak tidak dapat dihindari namun dapat dipersiapkan dengan pembangunan inklusif tenaga kerja.
Perlu di pahami bahwa pada akhirnya berhasil atau tidaknya seseorang dalam persaingan tenaga kerja akan kembali pada etos kerja orang tersebut. Seorang pelaut hebat tidak terlahir dari laut yang tenang, dibukanya pasar tunggal yang bebas di ASEAN adalah ombak besar yang akan menjadikan para tenaga kerja Indonesia berkembang menjadi lebih besar, menjadi aktor penting di kawasan ASEAN. Rasa minder atas masalah ketenagakerjaan sudah selayaknya dihapus. Bukan saatnya lagi untuk sekedar berdebat dan berwacana, kita harus bangkit membangun diri mengejar ketertinggalan kita dengan negara lain. Sudah saatnya para tenaga kerja Indonesia memainkan peran yang lebih besar di kawasan ASEAN.
Daftar Pustaka:
Badan Pusat Statistik. 2014. Berita Resmi Statistik No. 38/05/Th. XVII. http://www.bps.go.id/brs_file/naker_05mei14.pdf, diakses tanggal 5 September 2014
Pusat Litbang Ketenagakerjaan. 2013. Arah Kebijakan Ketenagakerjaan Indonesia. http://www.depnakertrans.go.id/uploads/doc/Arah%20Kebijakan%20Bidang%20Ketenagakerjaan%202014-2019.pdf, diakses tanggal 5 September 2014
World Bank. 2013. Targeting poor and vulnerable households in Indonesia. http://www.wds.worldbank.org/external/default/WDSContentServer/WDSP/IB/2012/03/01/000386194_20120301004533/Rendered/PDF/672180WP00PUBL0T00English000PUBLIC0.pdf, diakses tanggal 20 September 2014
0 comments:
Post a Comment