skip to main |
skip to sidebar
(Kisah ini dikirim dari mimpi seseorang yang tak ingin disebutkan namanya)
Terik sinar matahari tidak menyurutkan niat kami untuk berkumpul, berbaris rapi, berangkulan pundak, di tengah arus lalu lintas dan suara klakson bersahut-sahutan.Teriakan-teriakan terus membahana, bercorongkan toa tua kami bergantian memantik semangat teman-teman demonstran. Demo ini telah kami rencanakan dengan matang sebelumnya, segala peralatan mulai dari spanduk dan masa sudah siap sejak pagi tadi
Orasi terus berjalan, tak jarang saling dorong terjadi antara masa dan blokade para tentara/brimob, sehingga sedikit demi sedikit emosi mulai tersulut
Secara bergantian kami satu persatu berorasi, berteriak mengatasnamakan rakyat,
“Hidup Mahasiswa, Hidup Rakyat Indonesia”
Mengatasnamakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme
Menuntut demokrasi,
Dan
REFORMASI ....
Sebuah kata yang sangat populer beberapa tahun ini, meskipun aku sendiri, tidak paham makna sebenarnya dari reformasi itu sendiri. Yang aku pahami dari reformasi adalah, turunkan dan basmi rezim Soeharto, ganti dengan yang baru, entah siapa dan bisa berbuat apa penggantinya, yang jelas kami hanya ingin menurunkan sebuah rezim yang telah berkuasa puluhan tahun. Aku sendiri masih bingung apakah hari itu aku ikut demonstrasi hanya mengikuti arus pergerakan sebagai mahasiswa, tidak ingin di cap apatis atau benar-benar ingin mewujudkan apa yang kita sebut “demokrasi” dan “reformasi”?
Seorang mahasiswa, dengan keringat bercucuran di sekujur tubuhnya. Wajahnya merah padam, terlihat lelah namun raut bangga dan puas sepintas terlihat dari wajahnya. Dia berorasi hampir satu jama lamanya, suaranya yang berat dan lantang telah membakar semangat kami, tidak kalah dengan panasnya matahari siang itu
Sambil berjalan ke arahku, pemuda dengan almamater lusuh warna merah tua itu menyerahkan toanya padaku sembari menepuk pundakku
Kupandang toa itu sejenak, dengan penuh keyakinan aku berjalan ke depan masa
kini giliranku dan beberapa wartawan mulai menyorotkan kameranya kearahku
***
Isak tangis terus mengalir dari mata istriku, tak kuat menahan rasa sedih yang mendalam, dipeluknya aku erat, dan itulah pelukan terakhir yang bisa aku rasakan
Anakku, yang masih berusia 5 tahun, dalam gendongan neneknya terlihat kebingungan tidak paham apa yang terjadi, kuhampiri dia dan kucium keningnya beberapa kali
Aku mencoba tegar, menahan kuat-kuat agar tidak ikut menangis sore ini, bertopengkan senyum aku peluk istri, anak, dan ibuku
Setelah bersalaman dengan para penasihat hukum yang selama ini telah mendampingi, aku berjalan masuk ke mobil hijau kejaksaan negri,
Sirine mobil pun mulai terdengar membahana, menyibak jalanan macet sore itu
***
“Glek” suara petugas sipir mengunci gembok ruang tahanan
Dengan kedua tangan memegang jeruji besi, kusandarkan kepalaku di balik jeruji besi
Kupandang dengan tatapan kosong ruang tahanan lain, yang terbayang justru anak-istriku
Malam mulai datang, hari pertama dalam hotel prodeo
Badan dan pikiran ini sungguh letih, hampir 2 tahun proses persidangan dan hari ini aku telah divonis 12 tahun penjara setelah terbukti melakukan korupsi
Kurebahkan tubuhku diatas matras tipis ruang tahanan nomor 71, dan mulai kupejamkan mata ini
***
Kulihat tiba-tiba datang siluet bayangan seorang laki-laki berjalan menghampiriku dari jauh, lalu ia duduk disebuah kursi tepat di depanku sambil menyalakan sebatang rokok
Terlihat asap rokok mengebul dari bayangan tersebut
Suasana beberapa saat hening dan angin berhembus pelan menelisik kedua daun telingaku,
“HAHAHAHA”
tiba-tiba terdengar suara berat dari bayangan laki-laki tersebut memecah keheningan ruang
“suara tersebut terasa sangat familiar di telingaku” gumamku
“inikah yang kau sebut dengan reformasi tujuh belas tahun yang lalu??” ucap laki-laki tersebut
“Saat kau teriakkan semangat pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme di depan kami semua? “
“Saat kau dengan toamu itu berteriak lantang, membakar semangat masa untuk menumbangkan sebuah rezim kau bilang busuk?”
“Inikah hasil sebuah proses panjang yang kau sebut dengan demokrasi?”
Aku hanya diam mendengar pertanyaan-pertanyaan tersebut, toh bukan aku saja yang aktivis 98 yang akhirnya di bui karena tersandung kasus korupsi.
“Kenapa kau hanya diam?”
“Bukankah kau pandai bersilat lidah?”
“Kulihat dua tahun yang lalu kau tampil di TV untuk berdebat panjang lebar masalah yang sering kau sebut sebagai kesejahteraan rakyat”
“Bukankah ketika itu kau beberapa kali menghujat kawanmu sebagai koruptor”
“Saat itu kau sebut dengan lantang bahwa kawan-kawanmu itu sebagai penghianat janji reformasi?”
“Kau sebut mereka penghianat lalu apa sebutan yang pantas untukmu saat ini?”
“Bahkan kau sendiri saat ini terkungkum dalam lubang yang lebih dalam dari kawanmu itu, wahai aktivis pergerakan yang dahulu sangat bersemangat menuntut reformasi”
“Kau, hanyalah satu diantara ribuan temanmu yang kini terbenam dan terperosok dalam lubang hitam korupsi. Segala aksi yang kau lakukan saat itu hanyalah aksi yang tak kau pahami sendiri arti dan maknanya, dan kau tidak jauh berbeda dengan tikus-tikus pengerat uang rakyat di rezim orde baru”
“TIDAKK!!!” spontan aku menjawab dan memotong omongan laki-laki itu
Aku sangat familiar dengan suara ini, suara ini ... entah terasa sangat dekat dan tidak asing ditelingaku
“Masih mengelak?” laki-laki itu melanjutkan lagi pembicaraanya
“Ingatkah kawanku, kau adalah hasil dari proses panjang yang kau buat sendiri”
“Kau telah melupakan apa yang selama ini kau dan kawan-kawanmu sebut semangat reformasi”
“Kau adalah hasil dari dendam panjang yang kau simpan sendiri, lalu turun ke hati, dan mengeras jadi batu”
“Maka dari itu selamanya kau akan mengelak, karena hatimu sendiri sudah menjadi batu”
“hentikan, kubilang hentikan!!” ku tutup kedua telingaku dengan kedua telapak tanganku, dan ku pejamkan mataku
Laki-laki itu kembali bicara, bahkan suaranya terdengar semakin jelas, aku bahkan tidak yakin dengan suara ini, suara ini...
“ya kau tahu siapa aku” tegas bayang siluet laki-laki itu
“Aku adalah pengingkaran janji manusia-manusia yang penuh kemunafikan reformasi”
“Mereka yang berteriak untuk pemberantasan korupsi namun kini terjerat dalam lubang korupsi itu sendiri”
“Mereka yang menghujat rezim orde baru namun ternyata lebih busuk dari rezim tersebut”
“Mereka yang tidak tahu malu, menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai topeng perbuatan kotor menghisap uang rakyat”
Tak tahan akan semua ini, aku berdiri dan menghampiri laki-laki itu, terlihat bayang siluet semakin pudar, dan semakin jelas kulihat wajah laki-laki itu
Kini ak berdiri tepat dihadapannya, kupandang laki-laki itu, dan kini terlihat jelas wajahnya
Seorang laki-laki, dengan wajah merah padam mengenakan almamater lusuh warna merah tua
***
“Glek” suara gembok yang kini di buka oleh sipir
aku terbangun dari tidurku, dengan rasa yang masih lelah aku coba bangkit dan saat ku mulai tersadar
aku merasa badan ini masih amat lemah dengan sejuta luka dan setumpuk beban,,
belajar menulis dalam kesederhanaan, kemudahan, dan kejujuran.
Saturday, 3 January 2015
Aku, salah satu generasi pasca reformasi (part I)
(Kisah ini dikirim dari mimpi seseorang yang tak ingin disebutkan namanya)
Terik sinar matahari tidak menyurutkan niat kami untuk berkumpul, berbaris rapi, berangkulan pundak, di tengah arus lalu lintas dan suara klakson bersahut-sahutan.Teriakan-teriakan terus membahana, bercorongkan toa tua kami bergantian memantik semangat teman-teman demonstran. Demo ini telah kami rencanakan dengan matang sebelumnya, segala peralatan mulai dari spanduk dan masa sudah siap sejak pagi tadi
Orasi terus berjalan, tak jarang saling dorong terjadi antara masa dan blokade para tentara/brimob, sehingga sedikit demi sedikit emosi mulai tersulut
Secara bergantian kami satu persatu berorasi, berteriak mengatasnamakan rakyat,
“Hidup Mahasiswa, Hidup Rakyat Indonesia”
Mengatasnamakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme
Menuntut demokrasi,
Dan
REFORMASI ....
Sebuah kata yang sangat populer beberapa tahun ini, meskipun aku sendiri, tidak paham makna sebenarnya dari reformasi itu sendiri. Yang aku pahami dari reformasi adalah, turunkan dan basmi rezim Soeharto, ganti dengan yang baru, entah siapa dan bisa berbuat apa penggantinya, yang jelas kami hanya ingin menurunkan sebuah rezim yang telah berkuasa puluhan tahun. Aku sendiri masih bingung apakah hari itu aku ikut demonstrasi hanya mengikuti arus pergerakan sebagai mahasiswa, tidak ingin di cap apatis atau benar-benar ingin mewujudkan apa yang kita sebut “demokrasi” dan “reformasi”?
Seorang mahasiswa, dengan keringat bercucuran di sekujur tubuhnya. Wajahnya merah padam, terlihat lelah namun raut bangga dan puas sepintas terlihat dari wajahnya. Dia berorasi hampir satu jama lamanya, suaranya yang berat dan lantang telah membakar semangat kami, tidak kalah dengan panasnya matahari siang itu
Sambil berjalan ke arahku, pemuda dengan almamater lusuh warna merah tua itu menyerahkan toanya padaku sembari menepuk pundakku
Kupandang toa itu sejenak, dengan penuh keyakinan aku berjalan ke depan masa
kini giliranku dan beberapa wartawan mulai menyorotkan kameranya kearahku
***
Isak tangis terus mengalir dari mata istriku, tak kuat menahan rasa sedih yang mendalam, dipeluknya aku erat, dan itulah pelukan terakhir yang bisa aku rasakan
Anakku, yang masih berusia 5 tahun, dalam gendongan neneknya terlihat kebingungan tidak paham apa yang terjadi, kuhampiri dia dan kucium keningnya beberapa kali
Aku mencoba tegar, menahan kuat-kuat agar tidak ikut menangis sore ini, bertopengkan senyum aku peluk istri, anak, dan ibuku
Setelah bersalaman dengan para penasihat hukum yang selama ini telah mendampingi, aku berjalan masuk ke mobil hijau kejaksaan negri,
Sirine mobil pun mulai terdengar membahana, menyibak jalanan macet sore itu
***
“Glek” suara petugas sipir mengunci gembok ruang tahanan
Dengan kedua tangan memegang jeruji besi, kusandarkan kepalaku di balik jeruji besi
Kupandang dengan tatapan kosong ruang tahanan lain, yang terbayang justru anak-istriku
Malam mulai datang, hari pertama dalam hotel prodeo
Badan dan pikiran ini sungguh letih, hampir 2 tahun proses persidangan dan hari ini aku telah divonis 12 tahun penjara setelah terbukti melakukan korupsi
Kurebahkan tubuhku diatas matras tipis ruang tahanan nomor 71, dan mulai kupejamkan mata ini
***
Kulihat tiba-tiba datang siluet bayangan seorang laki-laki berjalan menghampiriku dari jauh, lalu ia duduk disebuah kursi tepat di depanku sambil menyalakan sebatang rokok
Terlihat asap rokok mengebul dari bayangan tersebut
Suasana beberapa saat hening dan angin berhembus pelan menelisik kedua daun telingaku,
“HAHAHAHA”
tiba-tiba terdengar suara berat dari bayangan laki-laki tersebut memecah keheningan ruang
“suara tersebut terasa sangat familiar di telingaku” gumamku
“inikah yang kau sebut dengan reformasi tujuh belas tahun yang lalu??” ucap laki-laki tersebut
“Saat kau teriakkan semangat pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme di depan kami semua? “
“Saat kau dengan toamu itu berteriak lantang, membakar semangat masa untuk menumbangkan sebuah rezim kau bilang busuk?”
“Inikah hasil sebuah proses panjang yang kau sebut dengan demokrasi?”
Aku hanya diam mendengar pertanyaan-pertanyaan tersebut, toh bukan aku saja yang aktivis 98 yang akhirnya di bui karena tersandung kasus korupsi.
“Kenapa kau hanya diam?”
“Bukankah kau pandai bersilat lidah?”
“Kulihat dua tahun yang lalu kau tampil di TV untuk berdebat panjang lebar masalah yang sering kau sebut sebagai kesejahteraan rakyat”
“Bukankah ketika itu kau beberapa kali menghujat kawanmu sebagai koruptor”
“Saat itu kau sebut dengan lantang bahwa kawan-kawanmu itu sebagai penghianat janji reformasi?”
“Kau sebut mereka penghianat lalu apa sebutan yang pantas untukmu saat ini?”
“Bahkan kau sendiri saat ini terkungkum dalam lubang yang lebih dalam dari kawanmu itu, wahai aktivis pergerakan yang dahulu sangat bersemangat menuntut reformasi”
“Kau, hanyalah satu diantara ribuan temanmu yang kini terbenam dan terperosok dalam lubang hitam korupsi. Segala aksi yang kau lakukan saat itu hanyalah aksi yang tak kau pahami sendiri arti dan maknanya, dan kau tidak jauh berbeda dengan tikus-tikus pengerat uang rakyat di rezim orde baru”
“TIDAKK!!!” spontan aku menjawab dan memotong omongan laki-laki itu
Aku sangat familiar dengan suara ini, suara ini ... entah terasa sangat dekat dan tidak asing ditelingaku
“Masih mengelak?” laki-laki itu melanjutkan lagi pembicaraanya
“Ingatkah kawanku, kau adalah hasil dari proses panjang yang kau buat sendiri”
“Kau telah melupakan apa yang selama ini kau dan kawan-kawanmu sebut semangat reformasi”
“Kau adalah hasil dari dendam panjang yang kau simpan sendiri, lalu turun ke hati, dan mengeras jadi batu”
“Maka dari itu selamanya kau akan mengelak, karena hatimu sendiri sudah menjadi batu”
“hentikan, kubilang hentikan!!” ku tutup kedua telingaku dengan kedua telapak tanganku, dan ku pejamkan mataku
Laki-laki itu kembali bicara, bahkan suaranya terdengar semakin jelas, aku bahkan tidak yakin dengan suara ini, suara ini...
“ya kau tahu siapa aku” tegas bayang siluet laki-laki itu
“Aku adalah pengingkaran janji manusia-manusia yang penuh kemunafikan reformasi”
“Mereka yang berteriak untuk pemberantasan korupsi namun kini terjerat dalam lubang korupsi itu sendiri”
“Mereka yang menghujat rezim orde baru namun ternyata lebih busuk dari rezim tersebut”
“Mereka yang tidak tahu malu, menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai topeng perbuatan kotor menghisap uang rakyat”
Tak tahan akan semua ini, aku berdiri dan menghampiri laki-laki itu, terlihat bayang siluet semakin pudar, dan semakin jelas kulihat wajah laki-laki itu
Kini ak berdiri tepat dihadapannya, kupandang laki-laki itu, dan kini terlihat jelas wajahnya
Seorang laki-laki, dengan wajah merah padam mengenakan almamater lusuh warna merah tua
***
“Glek” suara gembok yang kini di buka oleh sipir
aku terbangun dari tidurku, dengan rasa yang masih lelah aku coba bangkit dan saat ku mulai tersadar
aku merasa badan ini masih amat lemah dengan sejuta luka dan setumpuk beban,,
0 comments:
Post a Comment