“Semoga LINE Indonesia dan
seluruh pemilik aplikasi di Playstore baik pengunduh maupun creator mau
menyaring konten dan membuat kebijakan yang memegang prinsip hak anak
(Convention on the Rights of the Child's)”
Kalimat tersebut terpampang dengan jelas dalam laman change.org, sebagai
bentuk protes dari Gioveny Astaning Permana, terhadap beberapa sticker line
yang dinilai melanggar hak anak dalam konvensi hak anak. Saat tulisan ini
dibuat (1/1/2016) petisi tersebut sudah ditandatangani oleh 6916 orang.
Ada
baiknya dipahami pula bahwa konvensi hak anak adalah perjanjian
internasional yang mengatur prinsip-prinsip dasar perlindungan anak di dunia sebagai
bagian integral dari hak asasi manusia. Konvensi ini sudah diratifikasi oleh
Indonesia dengan Keppres No.36 tahun 1990. Sebagai
konsekuensinya maka Indonesia harus melaksanakan isi perjanjian tersebut.
Memang dalam 'Popular
Creator Sticker LINE' terdapat beberapa sticker yang menampilkan gambar-gambar
yang sebenarnya tidak pantas untuk diakses anak dibawah umur. Misalnya saja
sticker so much love, short couple problem, him & her, Lily
& Marigold, romantic memories, love lasting forever, hugs and kisses yang sedikit berbau pornografi. Di sisi lain
aplikasi line sendiri tumbuh
pesat di Indonesia, data dari techinasia bulan September 2014 menyebutkan 30
juta orang Indonesia gunakan LINE dan tercatat sebagai nomor dua di dunia.
Sebelum membahas soal sticker perlu diingat
bahwa ketika akan menggunakan aplikasi ini calon pengguna akan di hadapkan pada
permintaan persetujuan atas LINE Terms
and Conditions of Use. Saat menyatakan setuju, maka itu berarti telah
tercapai kesepakatan antara perusahaan dan pengguna terhadap setiap syarat dan
ketentuan dari fitur yang ada dalam line.
Dalam konvensi hak anak yang dimaksud dengan
anak adalah setiap manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali diatur lain menurut
UU (misalnya saja menikah). Nah,
dalam LINE Terms and Conditions of Use
tersebut tidak ada larangan anak di
bawah 18 tahun untuk mendownload aplikasi ini. Sehingga pada dasarnya memang
aplikasi ini bebas digunakan untuk semua usia baik dewasa maupun anak-anak.
Hanya, pada poin 2.2 bab Agreement to Terms
and Conditions menyebutkan bahwa anak di bawah umur dapat
menggunakan layanan hanya
dengan persetujuan dari orang tua atau wali
hukum.
Pertanyaannya sekarang apakah para orangtua telah menjadi konsumen yang cerdas
dengan membaca prasyarat tersebut?
Ah, mungkin sebagian kalangan akan membantah argumen tersebut dengan
berkata bahwa ketentuan tersebut sifatnya bias dan mudah dimanipulasi oleh
anak. Lalu sekarang atas dasar apa juga memberikan anak sebuah smartphone mewah? Apakah benar anak-anak
sudah layak untuk mengelolanya? Pemberian smartphone
beserta pulsanya terhadap anak tentu artinya juga memberi kesempatan bagi anak
untuk menikmati konten dari smartphone tersebut. Hal ini tentunya juga harus diimbangi
dengan kesadaran atas risiko yang mungkin terjadi. Termasuk tindakan-tindakan
untuk mengantisipasi risiko tersebut, seperti pendampingan dalam penggunaan
gadget.
Tindakan membuat petisi atas sticker line
sebenarnya terbilang berlebihan dan justru akan akan menjadi bumerang bagi
anak. Kita perlu memahami bahwa anak semakin dilarang maka akan semakin
penasaran. Hal ini karena anak memiliki rasa keingintahuan yang tinggi tetapi
kontrol diri yang rendah. Bisa saja saat petisi tersebut sukses, maka anak akan
mulai mencari tahu mengapa sticker itu dilarang? Sebenarnya seperti apa sih bentuknya?
Bagaimana cara mendapatkannya?
Perlu dipahami bahwa LINE itu hanya satu dari
sekian banyak sosial media di Indonesia yang memberi peluang akses terhadap hal-hal
berbau pornografi. Masih banyak aplikasi lain yang beredar dengan gratis dan
dapat diakses dengan mudah. Apabila memang ingin mengantisipasi hal-hal berbau
pornografi ke anak, maka pertimbangkan lagi pemberian smartphone pada mereka?
Bukankah lucu ketika anak mengakses hal berbau pornografi tapi yang
disalahkan pertama adalah aplikasinya?
Ini seperti anak kecil yang berlarian di taman lalu terjatuh tersandung oleh
akar pohon, tiba-tiba orangtuanya datang dan memaki-maki akar tersebut. Bukabkah
anak tersebut juga terjatuh karena tidak diawasi oleh orangtuanya, yang
membiarkan dia berlarian diantara semak belukar?
Masalah-masalah lain seperti konten televisi
yang tidak mendidik rasa-rasanya lebih urgent dibanding menyalahkan aplikasi
yang diakses melalui smartphone pemberian orangtua mereka sendiri. Bila memang
tetap bersikeras ingin memberikan smartphone pada anak, maka jadilah konsumen
yang cerdas dan orangtua bijak. Teliti sebelum menginstal aplikasi dan dampingi
saat anak mengelola smartphone .
Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di mahasiswabicara.com
1 comments:
luar biasa bahasannya, mantap pengkajiannya yg sangat objektif
Post a Comment